Nashaihul Ibad (6); Syahwat Membuat Raja menjadi Budak
Nashaihul Ibad (6); Syahwat Membuat Raja menjadi Budak

Rubrik ini diasuh oleh KH. Muthohharun Afif, alumni Tebuireng yang saat ini mengasuh Pondok Pesantren Sabilul Muttaqin dan Al-Amin di Mojokerto. Ketika di Tebuireng, beliau menjadi salah satu murid KH. Idris Kamali dan KH. Shobari. Tulisan ini merupakan hasil resapan dari apa yang beliau sampaikan ketika ngaji kitab Nasaih al-‘Ibad.

Sesungguhnya syahwat itu menyebabkan seorang menjadi budak. Orang yang menyenangi sesuatu akan diperbudak olehnya. Sebab orang itu butuh terhadap sesuatu itu. Apalagi orang itu berusaha memperolehnya dengan cara apapun. Misalkan, seseorang menyenangi orang yang nakal, maka akan dipermainkan oleh dia.

إِنَّ الشَّهْوَةَ تُصَيِّرُ المُلُوْكَ عَبِيْدًا

Syahwat akan menjadikan seorang raja menjadi budak.

Lain halnya ketika kita menjadi ‘Abdullah (hamba Allah)[1]. Ketika kita mencintai-Nya, Allah tidak akan mengecewakan dan memperbudak kita. Justru, Dia memberikan keistimewaan dan anugerah kepada hamba-Nya. Sebab Allah tidak butuh belas kasih kita. Allah hanya butuh penghambaan kita kepada-Nya. Tapi kalau kita memusuhi, maka ya siap-siap untuk dimusuhi oleh Allah juga.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Walhasil, jika kita mencintai dunia maka akan diperbudak olehnya. Namun jika kita mencintai Allah maka akan dimuliakan olehNya.

Permasalahannya, kita ini hidup dunia dan tidak mungkin dapat menghindar dari cinta dunia. Solusinya, sebisa mungkin mendasari cinta kita dengan cinta kepada Allah. Tanpa melibatkan syahwat. Sebab, jika kita melibatkan syahwat maka akal tidak bisa diatur dan tidak mampu menuntun ke arah yang dikehendaki-Nya.

Untuk mengendalikan syahwat kita perlu memupuk kesabaran. Dengan sifat sabar orang akan tahan uji, bisa menilai segala sesuatu dengan cermat. Kesabaran juga menjadikan seseorang berkedudukan seperti raja. Hingga lambat laun akan tambah naik derajatnya. Melalui sifat sabar pula seseorang akan mendapatkan apa yang diinginkan.

Ada sebuah cerita. Pada dahulu kala terdapat seseorang yang ingin mencari ilmu. Namun niatan tersebut tidak pernah tersampaikan. Hingga keinginannya baru terwujud setelah menikah. Suatu hari orang itu pamit kepada istrinya.

“Saya mau mencari ilmu,” kata Fulan kepada istrinya.

“Kapan?” istrinya bertanya.

“Ya sekarang,” jawab Si Fulan.

“Pulangnya?” istrinya bertanya lagi.

“Pulangnya ya kalau sudah dapat ilmu,” jawab suaminya.

Karena kuatnya keinginan lelaki tersebut. Sang istri mengizinkannya, meskipun kepergiannya tidak terbatas waktu.

Di suatu tempat Fulan bertemu dengan seseorang yang kemudian menjadi gurunya. Lantas Fulan ditanya olehnya. Dan terjadilah percakapan antara keduanya.

Guru: “Kamu mau mencari ilmu?”

Fulan: “Iya.”

Guru: “Sudah seperti ini mau mencari ilmu?”

Fulan: “Iya.”

Guru: “Ya tidak bisa. Kecuali kamu memberi sekian uang!”

Fulan: “Loh saya harus memberi uang?”

Guru: “Iya.”

Fulan: “Ya sudah saya mau kerja.”

Lalu Fulan bekerja dengan waktu yang sangat lama, karena uang yang diminta cukup banyak. Setelah dirasa cukup ia kembali pada orang yang menjanjikan ilmu kepadanya.

“Kamu saya beri ilmu. Syaratnya kamu harus hafal dan bisa mengamalkan,” kata orang itu.

Apa yang diberikan?, Isbir[2].

“Kalau sudah hafal amalkan!” pinta gurunya.

Sekian lama waktu berlalu. Fulan sanggup memenuhi tuntutan tersebut. Suatu saat menemui gurunya lagi.

Insya Allah saya sudah hafal dan sudah mengamalkan perintah Anda. Saya ingin ilmu saya ditambah,” kata Fulan. 

“Oh mau tambah?” tanya gurunya.

“Iya,” jawab Fulan.

Akhirnya, Sang guru memberikan satu ilmu lagi. Wasbir. Persis dengan yang pertama kali diberikan. Dengan syarat serupa.

Lagi-lagi Fulan merasa mampu mengamalkan ilmunya. Kemudian ia meminta untuk ketiga kalinya. Dan dikasih oleh Sang guru. Tsumma isbir. Dengan syarat yang sama pula. Lalu gurunya memerintah Fulan agar pulang.

Ia pulang. Berjalan kaki pada malam hari. Kemudian masuk kamar dan terkejut. Karena melihat istrinya tidur dengan seorang lelaki. Akibatnya, emosi Fulan melonjak. Ia menarik pedang dari sarungnya[3]. Hendak membunuh istri dan lelaki itu. Namun niat digagalkan oleh kesabaran Fulan.

Lalu ia duduk dan mengucap, Astaghfirullah berkali-kali. Ucapan Fulan membuat istrinya terbangun.

“Kamu siapa?” tanya sang istri yang sedikit heran melihat perubahan suaminya.

“Aku suamimu!” jawab Fulan dengan lantang.

“Masya Allah, Mas,”  kata istrinya.

“Siapa yang tidur sama kamu itu?” bentak Fulan lagi.

“Itu anakmu, Mas,” jawab istrinya.

Alhamdulillah,  ujar Fulan yang lega hatinya.

“Ada apa kok Alhamdulillah?” tanya istrinya.

“Hampir saja kalian meninggal. Untung saja saya sudah dikasih ilmu oleh Allah. Isbir wasbir tsummasbir,” jawab Fulan.

Sejak itu Fulan paham bahwa maksud dari ketiga ilmu tersebut adalah terus menerusnya melatih kesabaran diri. Karena kesabaran itu tidak terbatas sampai kapanpun.

Diceritakan pula kisah nabi Yusuf al-Siddiq ibn Ya’kub al-Sabbur ibn Ishaq al-Khalim ibn Ibrahim al-Khalil dengan Zulaikha dan Zulaikha.

Dahulu Zulaikha pernah memasukkan nabi Yusuf ke penjara. Tetapi ia tetap sabar. Karena sabarnya oleh Allah diangkat menjadi pengatur ekonomi di daerah itu.

Diceritakan, ada seorang raja yang memerintah di daerah Nabi Yusuf berada. Raja itu bermimpi melihat ada sapi kurus memakan sapi-sapi gemuk. Kemudian sang raja bertanya kepada pegawai kerajaan. Lalu pegawai itu memberitahu bahwa ada ahli tafsir mimpi di penjara kerajaan. Namanya Yusuf. Akhirnya ia diperintah untuk menanyakan kepada Yusuf perihal mimpi sang raja.

Setelah tugasnya selesai, pegawai itu menyampaikan hasilnya kepada raja. Bahwa sapi yang gemuk merupakan panen melimpah, sedangkan sapi kurus adalah paceklik berkepanjangan. Maksudnya, tujuh tahun mendatang akan terjadi kelimpahan panen di kerajaan. Namun, tujuh tahun lagi akan terjadi paceklik.Nabi Yusuf meminta sang raja untuk menyimpan hasil panen agar menjadi persediaan pada tahun paceklik.

Akhirnya Yusuf disuruh keluar dari penjara. Akan tetapi, ia menolak tawaran tersebut sebelum sang raja mengetahui kebohongan dituduhkan Zulaikha dan rekan-rekannya.

Kemudian raja memanggil Zulaikha dan meminta klarifikasi mengenai tuduhannya kepada Yusuf. Zulaikha pun mengakui kesalahannya. Dan Yusuf pun keluar. Ia meminta agar raja mau menjadikan dirinya sebagai menteri keuangan di kerajaannya. Sang raja mengabulkan permintaan itu.

Melalui kisah-kisah di atas,  kita paham bahwa sabar itu miftah al-sa’adah (kunci kebahagiaan) dan jalan menuju kemuliaan.


[1] Abdullah merupakan martabat kita sekarang ini. Baik kita senang ataupun tidak terhadap jabatan tersebut.

[2] Kalimat perintah bahasa Arab. Dalam bahasa Indonesia berarti “Sabarlah!”.

[3] Kebiasaan orang zaman dahulu ke mana pun  pergi pasti membawa pedang.


*Ditulis oleh Yuniar Indra, mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari