sumber ilustrasi: nu.online

Rubrik ini diasuh oleh KH. Muthohharun Afif, alumni Tebuireng yang saat ini mengasuh Pondok Pesantren Sabilul Muttaqin dan Al-Amin di Mojokerto. Ketika di Tebuireng, beliau menjadi salah satu murid KH. Idris Kamali dan KH. Shobari. Tulisan ini merupakan hasil serapan dari apa yang beliau sampaikan ketika ngaji kitab Nasaih al-‘Ibad.

Orang yang sudah menjadi kekasih Allah pasti akan diberi kelebihan, sebab dalam relung hatinya terdapat Nur Ilahiyyah (cahaya tuhan). Dan merekalah yang mampu mengobati penyakit-penyakit hati orang di sekitarnya. Dengan cara yang bermacam-macam, seperti membuat jamaah Tarekat, atau melalui kajian-kajian kitab ulama tasawuf. 

أَطِبَّاء القُلُوْبِ هُمُ الأَوْلِيَاءُ

Dokter hati adalah para wali Allah

Diceritakan ada seseorang yang duduk di teras masjid. Lalu ia didatangi oleh pengemis meminta sedikit uangnya. Seketika itu muncul sedikit cemooh dalam hati orang yang diminta, “masih kuat kerja kok minta-minta.” Malam harinya ia yang biasanya bangun shalat tahajud akhirnya tidak mampu bangun. Malam berikutnya ia mengalami hal yang sama. Sampai kejadian itu berlangsung tiga hari berturut-turut. Kelamaan ia sadar bahwa ia telah mencemooh pengemis beberapa hari lalu. 

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Esoknya ia mencari si pengemis, dan ia menemuinya berada di tempat pembuangan sampah. Ia coba menghampirinya. Tiba-tiba si pengemis bilang, “mau apa? mau mengulangi perbuatanmu lagi?” Sontak, perkataan pengemis mengagetkannya. Belum sempat minta maaf, ternyata sudah ketahuan. Setelah kejadian itu pria tersebut sudah bisa melanjutkan rutinitas bangun malamnya. Nah, itulah salah satu cara seorang wali mengobati penyakit hati hamba Allah. Seorang wali adalah manusia yang kenal dekat dengan Allah. 

مَنْ تَوَهَّمَ أَنَّهُ لَهُ وَلِيًّا  أَوْلَي مِنَ اللَّهِ قَلَّتْ مَعْرِفَتُهُ

Siapa yang menyangka punya kekasih/penolong yang lebih utama daripada Allah berarti kedekatannya dengan Allah masih sedikit. 

Makanya, seorang muslim diharuskan mempelajari tiga ilmu: 1) Ilmu Fiqih, 2) Ilmu Tauhid, 3) Ilmu Adab/Tasawuf. Dengan ketiga ilmu tersebut seorang muslim akan dituntun menuju Allah melalui rambu-rambu syariat. 

Suatu ketika Rasulullah mempunyai tawanan. Salah satu dari mereka merupakan seorang bocah. Lalu tiba-tiba anak itu menangis, dan tampak seorang wanita menghampirinya kemudian menyusuinya. Melihat kejadian itu Rasul berkata kepada salah seorang sahabat, “hai, lihat perempuan itu!” 

“Iya Nabi. Perempuan itu sayang sekali kepada anaknya. Meski dalam keadaan tertawan, ia tetap menyusui anaknya.” tanggapan sahabat. 

Lalu Nabi berkata, “Allah lebih sayang daripada orang itu.” 

Kisah tersebut menunjukkan bahwa kasih sayang Allah kepada kita melebihi apa pun. Bahkan melebihi kasih sayang ibu yang disimbolkan “sepanjang masa”. Toh, kalau kita masih beranggapan ada orang atau makhluk lain yang sangat sayang kepada kita, tapi melupakan Allah yang lebih sayang lagi. Itu karena kita belum mengenal Allah. 

Pengenalan kita terhadap Allah belum cukup. Kita harus lebih dekat lagi dengan-Nya, agar tahu bahwa nikmat-Nya memang benar-benar tak bisa dihitung, 

وَإِن تَعُدُّوا۟ نِعۡمَةَ ٱللَّهِ لَا تُحۡصُوهَاۤۗ

Jika kalian menghitung nikmat Allah, maka kalian tidak akan mampu. 

Contoh kecil, pernahkah kita dibatasi oleh Allah dalam bernafas? Pasti tidak. Setiap detik, jam dan hari, selama ruh masih tertancap dalam diri. Ya, masih menghembuskan nafas. Bahkan saat tidur pun nafas kita tidak dihentikan. 

Maka dari itu, sebesar apa pun pujian kita kepada Allah. Tak akan mampu membalas kasih sayang Allah kepada kita. Tak akan bisa menandingi keluasan Allah kepada kita. Dalam Al-Quran: 

وَمَا قَدَرُوا۟ ٱللَّهَ حَقَّ قَدۡرِهِ

Mereka tidak bisa mengagungkan Allah dengan sebenar-benar keagungannya. 

Bahkan Rasulullah dalam saru doanya mengucapkan kalimat begini;

لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ

Saya tidak bisa memberikan pujian yang sebenarnya kepada-Mu. Pokoknya, engkau adalah engkau yang memuji diri-Mu sendiri.

Itu adalah ungkapan Nabi yang menunjukkan bahwa, pujian apa pun yang diucapkan oleh seluruh makhluk tidak bisa mengimbangi jalla jalalah-Nya  Allah. 

Bicara soal nikmat, orang mati akan membawa tiga hal; kebaikannya, keburukannya, dan nikmat yang diberikan Allah kepadanya. Nah, setelah dihitung nikmat yang dikasih Allah sangat tidak tertandingi dengan nilai kebaikan yang sudah dilakukan olehnya. Lalu merasa pantaskah kita menuntut Allah memberikan surga-Nya? Sebab itu kata Nabi, orang masuk surga bukan karena amalnya, tapi karena anugerah Allah.

Pentingnya Tawasul

Jika doa Nabi tersebut diamati lagi, dapat ditemui bahwa begitu indahnya ungkapan seorang Rasul yang menghambakan dirinya melalui doa. Memang beliaulah insan paling top yang pernah ada. Sebab itu, kepopuleran Nabi Muhammad yang sudah terlanjur mengangkasa di hadapan Allah, sangat baik untuk dijadikan wasilah. Dalam Al-Quran dikatakan: 

 وَلَوۡ أَنَّهُمۡ إِذ ظَّلَمُوۤا أَنفُسَهُمۡ جَاۤءُوكَ فَٱسۡتَغۡفَرُوا۟ ٱللَّهَ وَٱسۡتَغۡفَرَ لَهُمُ ٱلرَّسُولُ لَوَجَدُوا۟ ٱللَّهَ تَوَّابࣰا رَّحِیمࣰا

Dan sungguh, sekiranya mereka setelah menzalimi dirinya datang kepadamu (Muhammad), lalu memohon ampunan kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampunan untuk mereka, niscaya mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang. (Surah An-Nisa’: 64)

Coba kita angan-angan redaksi ayat di atas. Salah satu kata menggunakan lafaz lawajadu (لَوَجَدُوْ). Dalam gramatika Arab  bentuknya berupa fiil madhi. Yang berarti ketika kita berbuat zalim, lalu datang kepada Rasul agar memintakan ampunan. Maka langsung diampuni tanpa melalui proses waktu. 

Berbeda halnya ketika kita berbuat zalim lalu meminta ampun tanpa mendatangi (wasilah) Rasul. Dalam sebuah ayat: 

وَمَن یَعۡمَلۡ سُوۤءًا أَوۡ یَظۡلِمۡ نَفۡسَهُۥ ثُمَّ یَسۡتَغۡفِرِ ٱللَّهَ یَجِدِ ٱللَّهَ غَفُورࣰا رَّحِیمࣰا

Dan barang siapa berbuat kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian dia memohon ampunan kepada Allah, niscaya dia akan mendapatkan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (Surah An-Nisa’: 110).

Penggunaan kata yajid (يَجِدِ) pada ayat tersebut mengindikasikan adanya proses pemberian ampunan Allah kepada hambanya yang meminta maaf tanpa wasilah Nabi. Sebab dalam gramatika Arab kata itu termasuk fiil mudhori’, kata kerja yang menunjukkan waktu akan datang. 

Jadi, sudah jelas perbedaan antara mana yang dengan wasilah dan mana yang tanpa wasilah. Jika ampunan tuhan ibarat tujuan kita pada sebuah tempat. Maka wasilah adalah jalan pintasnya. 

Unsur Diri Manusia

Manusia itu memiliki 10 unsur. 5 unsur di antaranya menempati alam al-khalqi. Yaitu, unsur tanah, air, api, udara, dan gabungan keempat unsur itu menjadi lathifah al-nafsi (nafsu).  Lima unsur yang berikutnya tidak bisa dilihat dengan kasat mata. Sifatnya imaterial. Di antaranya; lathifah al-qalbi (hati), lathifah al-rūh (roh), lathifah al-sirr (rahasia), lathifah al-khafa (samar), dan lathifah al-akhfa (lebih samar). Lima yang kedua ini menempati alam al-amri.

Semua unsur di atas diletakkan pada beberapa titik tubuh manusia. Dan antara manusia dan manusia lain memiliki kecondongan alam yang berbeda. Ada yang lebih dominan pada ‘alam al-khalqi. Ini yang rata-rata manusia tempati. Ada juga yang dominan pada ‘alam al-amri. Seseorang yang condong kepada ‘alam al-amri kebanyakan adalah para nabi, rasul, dan wali. Sebab ruang ini hanya bisa dijangkau oleh mereka yang memiliki tempat khusus di mata Allah. 

Dahulu ada seorang yang sudah memiliki kecondongan pada ‘alam al-amri. Hingga ia diangkat menjadi wali Allah. Ia punya amalan istimewa, tajdid al-wudhu’ (memperbaharui wudu) setiap akan shalat. Meskipun wudunya tidak batal. Suatu saat ia menempati daerah yang sulit air. Yang menyebabkannya tak bisa tajdid al-wudhu’. Namun ia tetap berusaha mencari air.

Di tempat yang lain pada wilayah yang sama, sudah ada pengumuman kepada penduduk setempat. Agar mereka tabarrukan kepada wali itu. Dengan cara membawakannya air untuk wudu. Tanpa basa-basi salah satu dari mereka berkesempatan untuk membawakan air itu. Akhirnya, sang wali dapat terus melaksanakan amalan tadjid al-wudhu-nya. Itulah gambaran bagaimana sikap Allah kepada orang-orang yang senantiasa memperhatikan Allah. Semua kebutuhannya pasti dicukupi, tanpa meminta. 

*Disusun oleh: Yuniar Indra (Mahasantri Mahad Aly Hasyim Asy’ari Jombang)