Tebuireng.online- Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA., Rektor PTIQ menghadiri acara Haul ke-11 Gus Dur yang berlangsung secara virtual dari 3 kota, Jakarta, Jogjakarta, dan Jombang pada Rabu (30/12/2020).

Prof. Nasaruddin mengawali pembicaraannya dengan menuturkan bahwa Gus Dur adalah sosok orang yang berani. Berani meninggalkan kepentingan subjektivitasnya, dan berjuang fi sabililillah. Sehingga sejatinya tidak wafat, namun hanya berpisah ruh dan jasadnya.

Seperti termaktub di surat al-Baqarah ayat 154, “Dan janganlah kamu mengatakan orang-orang yang yang terbunuh di jalan Allah (mereka) telah mati, Sebenarnya mereka hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya”.

Imam Besar Masjid Istiqlal ini bbercerita, Gus Dur sangat konsisten dalam mencapai tujuannya. Suatu ketika Gus Dur yang bermaksud menziarahi salah satu tokoh besar guru daripada walisongo, yaitu Syekh Jamaluddin yang tidak diketahui makamnya oleh masyarakat sekitar.

“Masyarakat Sulawesi Selatan tidak tahu siapa kuburan itu, hanya kuburan tua itu, Gus dur lah yang memberikan menjelaskan bahwa Syekh Jamaluddin adalah guru walisongo,” tuturnya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Pada akhirnya, atas seruan Gus Dur, makam dan tanah itu dibebaskan dan dijadikan tempat berziarah oleh masyarakat dari Indonesia dan mancanegara.

Pria kelahiran Ujung-Bone ini juga menjelaskan tentang beberapa pemikiran Gus Dur dalam banyak hal, termasuk pandangan Gus Dur mengenai kiamat, secara sufistik. Bahwa kiamat shugra adalah hidup dalam suasana al-jahl, al-ghofil yang banyak diartikan dengan lalai.

Lanjutnya, sedangkan kiamat kubra berarti adz-dakir, yang di dalamnya juga kiamat wustha berarti memahami dan mampu menyaksikan bahwa yang ada di dunia hanyalah alam, yaitu selain Allah.

Prof. Nasaruddin berpesan kepada para santri agar tidak belajar dari satu sumber saja, tetapi juga impersonal teach. “Alangkah miskinnya seorang santri apabila hanya belajar dari orang, namun juga denan impersonal teach,” katanya. Kemudian beliau menutup tausiyahnya dengan mengajak mengkaji dimensi spiritual Gus Dur yang belum banyak terbukukan.


Pewarta : Afifah