Ma’asyiral muslimin, jamaah Jumat rahimakumullah.

Melalui khotbah Jumat ini, saya mengajak para jamaah untuk bermuhasabah, yakni mengevaluasi diri. Marilah kita kembali melakukan evaluasi diri, melakukan muhasabah, menghitung kembali terhadap apa yang sudah kita lakukan. Dengan kesadaran melakukan muhasabah, maka akan memunculkan dorongan agar kita senantiasa bisa berusaha untuk menyempurnakan, memperbaiki, dan menambah amal ibadah dan kebaikan yang sudah kita lakukan.

Setiap kali disampaikan khotbah seperti ini, yang harus senantiasa kita evaluasi adalah sejauh mana kita bertakwa kepada Allah. Dalam arti lain, sejauh mana kesungguhan kita dalam menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Pada dasarnya, kunci dan modal utama mendapatkan kebahagiaan yang hakiki adalah imtitsalu awaamirihi wa ijtinabu nawahihi. Itulah yang disebut ketakwaan, melakukan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya.

Sebaliknya, bahwa mengabaikan terhadap apa yang diperintahkan oleh Allah, tidak memedulikan perintah Allah, dan justru melakukan apa yang dilarang oleh Allah, adalah awal dari malapetaka dalam kehidupan kita ini. Maka dari itu, mengevaluasi diri terhadap segala hal yang telah kita lakukan adalah menjadi bagian yang penting dalam kehidupan kita ini.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dalam hidup ini, sesungguhnya panduan yang diberikan Allah itu sudah betul lengkap. Kita diharuskan oleh Allah untuk memahami kehidupan ini dengan benar, mempunyai paradigma kebenaran yang kukuh, dan mempunyai pemahaman hakikat dalam kehidupan ini dengan benar dalam segala halnya. Kesalahan paradigma akan menjadi sesuatu yang fatal di dalam menjalani kehidupan ini. Ketika orang bertanya, “Sesungguhnya kehidupan ini apa? Dunia ini apa?”, maka hendaknya diikuti dengan pencarian jawabannya untuk menemukan paradigma yang benar dalam kehidupan. Pertanyaan yang paling mendasar ini harus dipahami oleh setiap orang dengan pemahaman yang betul-betul benar. Ketika orang salah memahami dan salah memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang sangat mendasar ini, maka tentu akan menjadi kesalahan-kesalahan runtut berikutnya.

Al-Quran memberikan konsep “ad-dunya” sebagai sesuatu yang bisa dikatakan dan dipahami mazroah al-akhirah, yaitu sesuatu yang dekat, yang hina, yang adna, yang rendah. Artinya, ada sesuatu yang lebih tinggi dari kehidupan yang kita lakoni di dunia sekarang ini. Ketika orang memahami bahwa kehidupan ini adalah sesuatu yang digunakan sekadar untuk bersenang-senang, maka tentu dia akan memfilosofikan hidup bahwa kehidupan itu adalah kesenangan. Sungguh, itu adalah paradigma yang tidak sempurna bahkan bisa jadi melenceng jauh.

Agama Islam telah memberikan penataan pada kehidupan bahwa kehidupan ini adalah sebuah perjalanan yang pada akhirnya akan sampai pada titik akhir. Pada titik akhir itulah yang akan menjadi penentu, yang seseorang itu akan mendapatkan prestasi dalam hidup ini atau justru malah kenistaan. Prestasi adalah kebahagiaan dan kenistaan adalah hal yang mencelakakan.

Jadi, hidup adalah proses perjalanan untuk menuju sebuah pilihan dan pada akhirnya kita akan dihadapkan pada dua pilihan yang ekstrem, yaitu kita akan menjadi orang yang bahagia atau kita akan menjadi orang yang celaka. Ketika kita memahami hidup seperti ini, maka insyaallah kita akan menjalani kehidupan dengan cara yang benar jika kita benar-benar menerapkannya dalam kehidupan ini. Cara yang benar itu tidak harus dengan cara yang sengsara, tidak harus kemudian menjadi tidak nikmat, tidak harus kemudain menjadi tidak menyenangkan, lalu kemudian tidak menggembirakan. Justru ketika kita melakukan hidup ini dengan cara yang benar, maka cara yang benar itulah yang akan menjadikan kenikmatan.

Orang yang di dalam kehidupan ini tidak menjalani hidup dengan benar, tidak sesuai dengan norma, tidak sesuai dengan kehidupan yang digariskan dalam Al-Quran, bisa jadi pada tingkat awalnya dia menempuh  perasaan yang hebat, perasaan yang benar, dan perasaan yang nikmat. Akan tetapi, sesungguhnya itu adalah sesuatu yang sangat tidak hakiki. Pada akhirnya, dia akan mendapatkan dan menemukan kesengsaraan, kegelisahan, serta ketidaktenangan. Setiap bentuk pelanggaran pasti akan menjadi seperti itu. Maka, oleh karena itulah yang harus kita lakukan adalah muhasabah. Barangkali memang harus ada peristiwa dalam diri kita untuk merenung guna mengevaluasi diri, menghitung-hitung kembali; apakah saya sudah benar memahami kehidupan ini?

Begitu pula dalam segala hal. Ketika orang sedang bekerja, terjadi pergolakan paradigma dalam pikirannya tentang pertanyaan untuk apa kerja itu. Tentu saja, orang yang bekerja untuk ibadah akan melakukan pekerjaannya dengan sungguh-sungguh dan dengan cara yang baik. Kalau dia melakukan segala hal disandarkan sebagian dari proses kehidupan yang menjadi tugasnya sebagai khalifah di muka bumi dan sebagai seorang hamba Allah, maka tentu dia melakukan aktivitas apapun, dia akan melakukan itu dengan sebaik-baiknya.

Sementara itu, jika terjadi kesalahan paradigma dalam memahami untuk apa dia bekerja, maka akan terjadi kesalahan-kesalahan pada dirinya. Dia cenderung melakukan penyimpangan. Dia pun akan melakukan perbuatan yang cenderung bersifat rekayasa. Dalam bahasa Al-Quran, rekayasa itu disebut iftira’. Rekayasa adalah melakukan sesuatu dengan tidak sungguh-sungguh. Orang yang melakukan rekayasa itu adalah orang yang membuat skenario dalam kehidupannya secara tidak benar dan penuh kebohongan serta kepura-puraan. Dia hidup dengan pura-pura, tidak dengan kesungguhan. Akhirnya, dia pun merekayasa sesuatu dalam pekerjaannya sehingga terjadilah ketimpangan-ketimpangan yang juga bisa berakibat fatal bagi orang lain, bukan hanya bagi dirinya.

Sebagaimana seseorang itu harus merekayasa sebuah jabatan. Kalau perlu, dia melakukan kriminalisasi terhadap orang lain supaya dia eksis, supaya dia hebat, sementara orang lain dihinakan padahal tidak demikian adanya. Kalau perlu, dia menciptakan orang lain menjadi jahat. Padahal, orang lain yang dituduh jahat itu hanyalah korban dari orang yang merekayasa itu. Sesungguhnya, kehidupan seperti ini akan menjadikan orang itu lelah karena dia akan hidup senantiasa dalam situasi yang di dalamnya dia harus mengikuti apa yang menjadi perhatian orang dan apa yang dikatakan orang.

Hadirin jamaah Jumat rahimakumullah.

Marilah kita melakukan muhasabah, kita melakukan evaluasi diri! Dengan begitu, kita bisa memahami secara sesungguhnya tentang hakikat kehidupan ini dan kemudian dari pemahaman atau paradigma yang benar itu akan menuntun kita pada cara-cara yang benar serta perbuatan-perbuatan yang bernilai kebaikan. Dengan itu pula, kita bisa memahami kehidupan dan segala hal yang kita lakukan untuk menuju suatu kebahagiaan, kehidupan yang bahagia.

Oleh karena itu, muhasabah merupakan suatu sarana bagi kita untuk menuju kebahagiaan dalam kehidupan. Kita akan mengetahui hakikat kehidupan yang kita jalani ini dengan muhasabah. Hakikat kehidupan itu pada dasarnya sulit kita terka. Akan tetapi, kehidupan ini merupakan rencana Allah. Allah mengajarkan kepada kita agar kita melakukan muhasabah dalam berbagai sendi kehidupan kita dan dari segala hal yang kita lakukan. Tidak lain bahwa muhasabah itu adalah agar kita mau berpikir tentang kehidupan. Dengan begitu, kita akan mempunyai paradigma sehingga kita mampu menerjemahkan kehidupan ini agar kita senantiasa hidup dalam rahmat-Nya serta penuh berkah.

*Oleh : KH. A. Junaidi Hidayat, S.H., S.Ag.

Pengasuh Pondok Pesantren al-Aqobah Kwaron Diwek Jombang