ilustrasi: tir/ra

Oleh: Shella Carissa*

Alkisah, setelah menyelesaikan setoran muhafadzoh Alfiyahnya, Makshus Jannah bertanya pada temannya, Taat Beriman.

“At, menurutmu mitos jamak taksir itu benar atau tidak?” Keduanya terlihat duduk di beranda masjid pesantren sembari menunggu adzan Isya berkumandang.

“Ya, tergantung kepercayaanmu saja,” jawab Taat santai tanpa memandang Makshus. Matanya asyik memperhatikan para santri yang berlalu lalang atau yang berkerumun menuju kamar, jeding, koperasi, ke berbagai macam tempat.

“Sebenarnya, aku juga sudah mengalami,” ungkap Makshuh enteng. Matanya menerawang ke genteng Griya Kiai yang berada tepat di depan masjid.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Merasa tertarik, Taat menoleh, “Apa?” tanya Taat penasaran sembari memperhatikan wajah Makhshus, menunggu jawaban dari mulutnya.

“Perempuan,” terang Makshus. Terdengar bangga namun malu-malu Rona merah terlihat samar muncul di pipinya dan bibirnya tersenyum. Entah siapa perempuan itu, tetapi sepertinya berhasil membuat Makshus jatuh cinta. Tapi satu hal yang pasti, itu artinya hafalan Makshuh sudah sampai di bab Jamak Taksir atau di bait ke. Sedangkan Taat masih harus 200 nadzham lagi untuk sampai pada bab tersebut. Dengan begitu, maka Taat harus berusaha menyusul hafalan Makshus, karib sekaligus saingannya itu.

Taat manggut-manggut. Ia balikkan sedikit tubuhnya hingga berhadapan dengan Maksus, “Begini. Di bab itu memang agak seram. Sudah babnya paling banyak, lafadznya susah dan njlimet. Ada kata-kata mayyitunnya. Biasanya dikaitkan oleh kematian salah satu keluarga. Ada kata untsa, godaan perempuan, dan semacam penyakit-penyakit gitu, seperti yang biasanya kita dengar dari cerita-cerita orang. Silahkan, kamu pilih yang mana,“ katanya serius diiringi sedikit gurauan.

“Edan kau! Masa aku suruh milih. Allahumma Ba’idhna.”

“Yaaa, berdoa saja. Semoga kang mitos tidak berkunjung.”

Beberapa santri percaya bahwa jika sudah memasuki bab jamak taksir maka santri yang menghafalnya akan terkena ujian berupa kematian, entah keluarganya atau kerabatnya, terdampak penyakit, atau tergoda perempuan sehingga tidak lagi fokus pada target hafalan. Mereka kerapkali mendengar ada kang ini yang terkena bisul, paman kang ini yang meninggal dunia, juga ada kang ini yang padahal tinggal 100 nadzham lagi malah tidak mengkhatamkan hafalannya karena kesengsem berat dengan salah seorang santriwati. Yang lebih mainstream, ada seorang alumni yang mengalami ketiganya. Sungguh bikin merinding dan menakutkan.

Makshus telah jujur kepada Taat bahwa dia memang menyukai seorang gadis di desanya. Seorang gadis priangan bernama Ais. Ais memang bukan santri dan tengah menempuh pendidikan formal SLTA-nya di kabupaten. Seminggu lalu saat izin pulang lantaran bapaknya syukuran karena telah diterima bekerja jadi supir truk di kecamatan_setelah hampir setahun menganggur dan hanya mengikuti teman bekerja sebagai buruh bangunan_ Bapak Ais tidak datang sehingga Makshus diminta bapaknya untuk mengantarkan berkat ke rumah Ais.

Kata bapaknya, Bapak Ais cukup berperan dalam membantunya ketika mendaftar hingga kursus menyetir. Saat itu Ais yang muncul dari balik pintu dan menerima berkat. Begitu melihat sosok Ais yang bisa dibilang sudah beranjak dewasa, seketika Makhsus merasa pangling sebab terakhir kali dia melihat Ais sekitar 2 tahun lalu waktu gadis itu masih SMP. Ais saat itu, amat berbeda dengan Ais yang sekarang. Badannya berisi dan wajahnya terlihat menawan. Makshus ingin berlama-lama memandang namun dia sadar hal itu tidak sopan mengingat dirinya seorang santri. Maka, dengan rendah hati dia menyampaikan salam untuk Bapak Ais seraya berpamitan setelah Ais mengucapkan kata terima kasih.

Sekembalinya di pondok, wajah Ais tak pernah hilang dari bayangannya. Begitu menakjubkan perangai orang yang jatuh cinta, terlebih lagi penglihatan mereka yang agak absurd. Di kitab dalam bait-bait nadzham Alfiyah Ibnu Malik, yang terlihat adalah wajah Ais, saat setoran hafalan, yang dilihatnya bukanlah Ustadz Amar yang galak, hitam dan penuh bekas jerawat, melainkan wajah Ais yang lembut dan bersih. Semuanya seakan menjelma Ais. Bahkan yang lebih menggelikan, saat menerima telepon dari ibunya, yang disapa bukanlah, “Halo, Bu. Assalamualaikum, bagaimana kabarnya? Kabar Bapak? Adik-adik?” melainkan, “Halo, Ais. Bagaimana kabarmu? Sehat? Bagaimana sekolahnya?” padahal selama seminggu di rumah itu sama sekali mereka tak pernah bertemu lagi setelah mengantar berkat tersebut, terlebih untuk sekedar berbincang.

“Ais? Ais siapa?” pekik ibunya dari ujung telepon.

“Oh, astaghfirullah, maksudnya, Bu,” ralat Makshus segera.

“Aih, kamu ini. Siapa itu Ais? Pacarmu di Pondok?”

“Bukan, Bu. Bukan siapa-siapa. Sungguh.”

Dalam hati Makshus membatin apakah ibunya tidak mengenal Ais anaknya Pak Yusuf?

“Ada apa, Bu? Bapak sehat? Nur sama Syifa sehat?”

“Sehat. Semua sehat. Kamu juga sehat, to?”

“Alhamdulillah, sehat, Bu.”

“Begini, Ibu mau tanya, tapi, kamu jangan teruskan obrolan ini ke siapa pun, ya, termasuk Bapak.”

Makshus agak penasaran dengan gelagat ibunya yang tiba-tiba hendak membicarakan sesuatu dengannya tapi tidak mau diketahui bapaknya, dirasanya ibunya hendak menyembunyikan suatu hal dari bapak, meski di sisi lain juga khawatir dengan keadaan di rumah. Namun dia tak lantas berprasangka dan mencoba mendengarkan cerita Ibunya terlebih dahulu. Kata Ibunya, setelah tiga bulan jadi supir angkot Bapak jadi aneh. Setiap kali pulang mulutnya serasa bau sesuatu yang menyengat dan tidak enak. Kadang, Bapak yang tak pernah merokok tiba-tiba saja jadi sering merokok.

Seminggu lalu, Bapaknya pulang dengan badan terhuyung. Ibunya tahu bahwa Bapaknya itu mabuk. Saat itu Ibu berusaha menegur, “Bahaya, Pak menyetir dalam keadaan mabuk.” Tanggapan bapaknya, “Sedikit tidaklah masalah, Bu. Lagipula, Bapak, kan pulangnya sama Pak Yusuf.” Menyebut nama Pak Yusuf, atau bisa dibilang merupakan Bapaknya Ais, hati Makshus berdesir.

“Ibu takut, Mat. Setahu Ibu Bapak jadi begitu karena bergaul dengan Pak Yusuf.”

“Ah, Ibu. Janganlah berprasangka dulu.”

“Bukan begitu. Kamu tahu sendiri kalau Pak Yusuf sudah jadi supir angkot selama bertahun-tahun dan kalau kamu memang tidak mengerti, dunia supir tidak sesederhana yang kamu kira.”

Berbicara tentang dunia supir, pernah suatu ketika Makshus bersama Taat pergi ke kabupaten untuk membeli kitab. Saat itu mereka berdua duduk di depan karena memang di suruh supirnya, selama perjalanan supir itu bertanya ini-itu tentang pesantren, dan mereka berdua menjawab sesuai pertanyaan yang diajukan. Kadang juga supir itu berbicara tentang dirinya sendiri.

“Saya juga dulunya mesantren di Garut, tapi hanya sebulan saja. Saya tidak betah. Memang dasar bebal saya ini.” Itu kalimat pembukanya.

“Nih ya, Jang, saya, mah gak mau munafik, kan katanya kalau hidup manusia itu sudah ada yang atur terus sudah ada hukumnya masing-masing mengenai tingkah laku umat. Seperti di hadits Nabi; Rosuulun amamatun. Saya gak hafal haditsnya apa tapi setahu saya, mah artinya kalau semua perbuatan manusia itu ya sudah diatur sama Tuhan.”

Karena tidak mendengar begitu jelas, Makshus mencoba bertanya agar Pak Supir menyebutkan ulang haditsnya. Tapi si Bapak Supir malah meledek sinis, “Hiiih, gimana, sih, orang kalian yang mondok. Ya, saya, mah gak tau tapi pada intinya, ya, itu.”

Mendengar itu Makshus tahu bahwa Supir tersebut hanya asal menyitir Hadits, apalagi menafsir makna maupun shorofnya saja, Makshus tahu bahwa Bapak Supir ini jelas-jelas lupa total redaksi haditsnya dan terkesan mengarang. Namun, Makshus memaklumi lantaran si Bapak memang bukan berasal dari kalangan pesantren.

Pak Supir melanjutkan ceritanya. “Iya, pokoknya intinya gitu. Tapi bagaimana kalau kasusnya seperti saya ini. Nih saya mau cerita, ya, saya gak mau munafik kalau meskipun saya pernah mondok walau sebulan dan agama saya islam, sebagai supir saya pernah melakukan tiga larangan dari empat larangan. Yaitu ngombe, wadon, judi, kecuali yang keempat, yaitu membunuh.”

Sekilas Makshus ingat tentang nasihat Malima-nya Sunan Ampel; Emoh ngombe, Emoh main, emoh madat, emoh madon, tidak ada membunuh. Dari apa yang diakui Supir, Makshus jadi menduga bahwa sang supir pernah melakukan ketiganya di atas, terkecuali yang keempat, sebagaimana diakuinya. Hal tersebut mendorong Makshus jadi berburuk sangka namun segera ditepisnya karena tak mungkin bapaknya melakukan hal-hal terlarang tersebut. Mempercayai ucapan ibunya sendiri pun rasanya sulit, tetapi, bagaimanalah, masa dia hendak mengingkari cerita ibunya tentang bapaknya yang katanya suka mabuk.

“Mat, kamu pasti tak setuju kalau bapakmu begitu, bukan? Karena bagaimana pun kamu anak pesantren dan akan sangat memalukan kalau bapakmu tukang mabok! Itu haram!” teriakan Ibunya di ujung telepon menyadarkannya dan menghempasnya kembali dalam wartel pondok yang sempit.

Makshus tak menanggapi dengan begitu serius melainkan berpesan kepada Ibunya agar rajin shalat dan berdo’a kepada Allah. Dia tak ingin begitu saja melabeli seseorang telah berbuat buruk, apalagi orang tersebut adalah bapaknya sendiri dan bapak dari gadis yang disukainya, Pak Yusuf, meski di sisi lain juga tak mungkin menganggap ibunya berlebihan.

Singkat cerita, ketika Makshus hampir mengkhatamkan alfiyahnya, dan Taat telah berhasil menyusulnya, salah seorang ustadz kemanan memanggilnya dari speaker pondok, menyuruhnya datang ke kantor pusat.

“Makshus Jannah?” tanya Ustadz Keamanan.

Makshus mengangguk.

Ustadz itu terdiam sebentar sambil memandang Makshus sebelum kemudian berkata, “Ada kabar dari rumah. Katanya, Bapakmu kecelakaan.”

Bukan lagi seperti tersambar petir di siang bolong, melainkan sekaligus ditembak 8 regu penembak jitu yang hendak membunuh seorang tahanan. Makshus serasa tumbang dan tak bisa menopang tubuhnya sendiri. Para ustadz di kantor pusat berusaha menolongnya. Ketika bangun, bukan langit-langit kamarnya di Pondok yang sudah kusam dan terkelupas di sana-sini menampakkan ketuaan usia bangunannya yang pertama kali ia lihat, melainkan asbes kamarnya yang berwarna biru. Di sampingnya, Nur dan Syifa menatapnya lega dengan mata bengkak. Di belakang, Taat bersama Ustadz Amar selaku wali kelasnya ikut berdiri menungguinya dengan wajah berbela sungkawa. Saat itu Makshus sadar bahwa dia telah dibawa ke rumah dan kabar Bapaknya yang mengalami kecelakaan berubah menjadi kabar duka; Bapaknya telah meninggal dunia.

Yang ia dengar dari Ibunya, bapaknya nekat membawa angkot pulang ke rumah dalam keadaan mabuk. Pak Yusuf ikut pulang bersama bapaknya, juga dalam keadaan mabuk. Jalanan yang gelap tanpa cahaya yang memadai dan koadaan diri yang kurang sadar sepenuhnya, menjadikan Bapaknya menabrak truk yang datang dari arah berlawanan.

Sehari setelah melaksanan kewajiban umat muslim terhadap mayit, Makshus Jannah menghadap Ibunya.

“Makshus ingin sudah saja mesantrennya, Bu.”

Ibunya tak menjawab. Melainkan mengalihkan pandangannya ke arah dapur. “Jangan, Nak. Tanggung. 2 tahun lagi. Eman mondokmu.”

“Tak apa, Bu. Makshus bisa sekolah di rumah sembari membantu Ibu.”

Ucapnya berusaha tegar. Meski terbayang dalam pikirannya mengenai penghargaan berupa dibebaskannya biaya bulanan selama setahun seandainya dia telah mengkhatamkan alfiyah sebelum maulid tiba, juga duduk di panggung Akhirussanah berdampingan dengan kawannya, Taat Beriman, dalam acara Khataman Alfiyah Ibnu Malik sembari mendendangkan nadzham-nadzham indah tersebut, tapi semuanya kandas dan mengabur bersama air yang tiba-tiba berlinang di matanya. Akhirnya, setelah diskusi panjang dengan ibunya dan memperoleh restu dari sosok yang telah melahirkannya tersebut, Makshus bersekolah di Kecamatan. Disela-sela sekolahnya, setiap sore Makshus ikut menjaga toko kelontong milik kerabat ibunya di pasar. Lantaran di rumah, akhir-akhir ini dia juga sering bertemu dengan Ais.

Suatu hari ibunya meminta Makshus menyerahkan sesuatu untuk diberikan kepada seseorang, “Sekalian Ibu titip, kasihkan ke Ibunya Aisyah, ya?” pinta Ibunya sambil menyerahkan sebuah bingkisan berisi nasi kebuli, sayur lodeh, ikan goreng, kerupuk, dan sambal kepada Makshus sebelum Makshus berangkat ke pasar.

“Siapa Aisyah, Bu?”

“Anaknya Pak Yusuf.”

Seperti setahun lalu, saat menyerahkan berkat untuk Pak Yusuf dan diterima oleh Aisyah, sekarang pun sama, bingkisan itu diterima Ais alias Aisyah.

“Terima kasih,” ucap Ais menerima bingkisan dari tangan Makshus. Gadis itu tersenyum, berbalik lalu menutup pintu. Makshus memandangnya hingga pintu rumah itu tertutup sepenuhnya seraya berangan, jika sudah besar nanti, dia ingin menebus kelalaian bapaknya dengan meringankan beban Ibu Aisyah, termasuk ingin menanggung kehidupan Aisyah.

______________________________________

*Mahasantri Ma’had Aly Kebon Jambu, Cirebon.