sebuah ilustrasi: pasangan

Oleh: Ahsanu Nadiya Elfara*

“Dik.. mulai sekarang, kamu tanggung jawabku dunia akhirat.” Ucap lelaki yang memiliki senyum manis layaknya Adipati Dolken. Sang istri hanya menunduk dan tersenyum, penuh harap kehidupan selanjutnya secerah taman yang sedang mereka kunjungi saat ini. Pengantin baru? Ya, itulah sebutan yang masih melekat pada Dani dan Fia.

Mas rencana kita ke depannya bagaimana?”

“Untuk uang, masih ada sedikit tabungan. Namun, aku berencana menambahnya untuk modal usaha.”

“Usaha apa?”

“Ternak ayam potong. Sebelum aku melamarmu, aku sudah melakukan observasi pada beberapa peternak.”“Lalu, mengumpulkan modal tambahannya gimana?” tanya Fia, wajar saja Ia bertanya, karena Ia sama sekali tak tahu menahu tentang identitas calon suaminya. Mungkin saat ia karean Fia belum tamat dibangku sekolah. “Mungkin satpam pabrik.” Seketika Fia mengernyitkan dahi keheranan“Kenapa harus satpam pabrik?”“Karena selain gajinya yang lumayan, jadwalnya juga bisa dilobi dengan waktu sholat.” Jelas Dani.“Mungkin uang mahar bisa membantu.” usul Fia“simpan saja, itu hakmu Fia.”Tak tau dengan jalan pikir suaminya “ah kewajaran seorang lelaki, aku harus menghargai.” Gumam Fia.

8 bulan berlalu, semuanya berjalan dengan baik sesuai recana Dani

“Mass bekalnya.” suguh Fia meletakkan rantang makanan di atas meja teras. Memang sengaja tidak sarapan di rumah karena tuntutan jadwal kerja Dani yang mengharuskannya berangkat jam 5 pagi. Meski di dalam rantang hanya ada makanan seadanya, Dani tak pernah sekalipun mengeluh, menurutnya, makanan apaun sama saja, toh tujuannya sama, agar kita kuat melaksanakan pekerjaan.

Jaket dikenakannya, tak lupa bersalaman pada perempuan cantik pilihannya, bahkan mengecup kening perempuan itu dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, sampai-sampai Fia dapat merasakannya.

“Fia, terima kasih telah menemaniku sejauh ini, tidak usah terlalu memikirkan ekonomi, semuanya sudah diatur.” Ucap Dani sembari tersenyum lembut. Fia sedikit heran, tak biasanya ia menyelipkan pesan saat berpamitan. Ah, sudah lah mungkin ia hanya ingin membuat pembaruan suasana agar tidak terasa monoton.

“Iya… hati-hati mas.”

Dani mengambil helm mengenakannya dengan rapi, kaki kanannya melangkahi sadel motor. Pria itu berangkat sambil melambai ke arah Fia yang berdiri di depan pintu, tak lupa Ia juga  mengucapkan salam dan semburat senyum tipis membuat perempuan itu ikut tersenyum senang. Senyum balasan itu benar-benar membuat hati Dani tersentuh,  “tak pernah ku bosan dengan ciptaan tuhan satu ini, semoga aku bisa melihat senyumnya sampai nanti. Terima kasih Allah, kau hadirkan dia sebagai penyempurna kehidupanku.” Gumam Fia tanpa sadar sudah melamun cukup lama di depan pintu. Entah mengapa pagi ini terasa berbeda dari hari biasanya.

Rasa tak nyaman diperut yang sudah Ia tahan dari Subuh semakin terasa, ia mengingat-ingat kembali makanan apa saja kemarin yang masuk dalam perutnya, Dia rasa tidak ada yang salah, rasa panas dari perut mulai menjalar ke tenggorokan, Ia segera berlari dan menundukkan wajahnya di wastafel, namun tidak ada apapun yang keluar, memang mustahil, perut saja belum terisi apa yang mau dikeluarkan? Rasa berkunang-kunang dikepalanya mulai terasa.

Sejenak, pikirannya tertuju pada siklus haidnya, segera Ia buka buku siklus itu, benar saja, sudah 2 bulan tamu bulanan tak datang. Tak ingin gegabah menyimpulkan, pertama kali yang harus Ia lakukan adalah membeli test pack. Rasa dalam hatinya bercampur tak karuan. Terdiam sejenak, perempuan itu mengingat pekerjaan rumahnya belum selesai.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Sejalan dengan alur warung peracangan, Ia tak lupa membeli alat tes kehamilan tersebut. Tanpa menunggu lama, Ia langsung menggunakan alat tersebut dengan penuh harap. Nafasnya naik turun tak sabar menunggu kabar bahagia, namun ia tak boleh terlalu percaya diri, berbagai kemungkinan lainnya sangat mungkin terjadi. 10 detik berlalu, benar saja 2 garis biru terlihat jelas. Hatinya pecah, Ia buang nafas panjang, lega. Ia simpan test pack tersebut kedalam plastik zip lock.

ya Allah kupasrahkan semuanya kepadamu. Betapa bahagianya Mas Dani mendengar kabar baik ini

Tak sabar ingin segera mengabari suaminya, Fia bergegas mencari ponsel, segera dihubungilah Dani, sudah tersusun berbagai rangkaian kata dalam benaknya untuk memberitahu suaminya tentang hal ini.

Berdering… ponselnya tak kunjung dijawab, 2 kali Ia coba, hasilnya sama saja. “biaralah, mungkin aku salah  memilih waktu. Mungkin nanti saja sekalian Mas Dani pulang kerja, sekalian menjadi kejutan baginya.” Gumam Fia dengan hati berseri-seri. Setelahnya Ia kembali mengerjakan pekerjaan rumah.

Di tengah aktifitasnya, tiba-tiba saja sahabat karibnya, Dini mengampirinya

“Fia, kamu bisa ikut aku ngak?”

“Kemana Din? Tumben banget ajak-ajak, ngak ngabarin dulu.” Heran Fia,

“Ini gue juga dadakan Fi, gatau kenapa, pengen aja ada temennya. Mau ke rumah sakit.”

“Lah, ngapain ke rumah sakit?”

“Mau nebus resep obat…”

“Tunggu dulu ya, aku ambil dompet dulu.” Setuju Fia dengan keheranan yang berusaha Ia abaikan

Merekapun berjalan menyusuri bangunan demi bangunan, belokan demi belokan, tikungan demi tikungan. Tal terasa sudah 3 km Ia berada di atas motor, namun sebentar lagi mereka akan sampai. Setibanya di rumah sakit, Dini malah menggiring Fia pada suatu ruang

“Loh bukannya kalau nebus obat disana ya?”

“Aku ingin memberitahumu sesuatu.” Sambil meletakkan kedua tangannya pada bahu Fia. Menatapnya dengan pandangan iba.

“Maksud kamu?” kali ini Ia benar-benar tak tahan dengan kejanggalan yang sedari tadi tak kunjung ia temukan jawabannya, rasanya seperti dipermainkan.

Nyali Dini sekan diuji, tak Ia bayangkan bagaimana reaksi sahabatnya kala dirinya memberitahu hal yang sebenarnya terjadi. Sesekali Ia mengalihkan pandangan, tak tega melihat wajah sahabatnya yang tampak kebingungan dengan raut wajah khawatir yang tak pasti. Dini menarik nafas panjang, mencoba menjelaskannya dengan selembut mungkin.

“Suamimu telah tiada.” Untuk sejenak Fia mencerna kata-kata itu, mencoba menyadarkan diri seakan ini hanya mimpi. Seketika persendian Fia melemas seakan ikut tak terima atas kabar duka ini, seluruh tubuhnya dibakar gemetar hebat. Tanpa jawaban, Fia langsung mengibaskan tangan yang ada di atas pundaknya,

“Maksud kamu?” ucap Fia gemetar masih tak percaya,

“Dimana dia? Sekarang dimana?” nada histeris mulai terdengar. Dengan kelembutan, Dini menuntun sahabatnya pergi menuju kamar yang tepat berada di sampingnya. UGD, ya, di ruang itu.

Dengan perlahan Fia membuka pintu ruangan membuat suara pintu tampak terdengar di tengah keheningan. Termangu sejenak, ternyata di dalam sudah ada beberapa rekan kerja Dani. Hatinya benar benar hancur, kabar yang Ia harap hanya mimpi, kini benar benar nyata. Nafasnya sudah tak teratur, air mata sekuat mungkin Ia bendung, tubuhnya rasanya tak sanggup menopang sendi-sendi yang melemas itu, melihat jasad yang tertutup kain di depannya. Ya, jasad lelaki yang senyuman dan kecupannya Ia lihat tadi pagi untuk terakhir kalinya. Perlahan Fia mengambil posisi di samping jenazah suaminya, isak tangis mulai terdengar, tak kuat lagi Ia menahan linangan air matanya. Dini memberikan beberapa lembar tisu, digapailah tisu tersebut, dibukalah perlahan kain penutup, terlihat luka memar yang masih segar di kening suaminya.

“Dani menjadi korban kecelakaan bis, kejadian itu terjadi sepulang Dani dari sholat Jumat. Tubuhnya terpental kurang lebih 8 meter, dan kepalanya terbentur bahu jalan.” Jelas salah satu rekan kerja Dani. Terlihat bahu Fia tersentak kaget dengan tangan yang Ia letakan di mulutnya.

“Mas Dani mengapa kau tinggalkan aku dan bayi kita secepat ini? Kurasa takdir lebih dulu menjemputmu dari kabar bahagia ini. Terima kasih untuk semuanya.”

Dini yang mendengar ucapan sahabatnya mulai mendekat “kamu hamil Fi?” Fia hanya menjawabnya dengan anggukan.

Seakan-akan Fia lupa takdir di tangan tuhan, Ia ingin protes padanya, tapi bagaimana lagi? Segalanya hanyalah titipan, Ya titipan, itu yang harus Ia tancapkan erat-erat di benaknya. Ya Allah mengapa, mengapa kau ambil dia secepat ini?bagaimana kehidupanku selanjutnya? Bagaimana juga anakku yang nantinya lahir tanpanya? Kesedihan ini benar-benar menyayat hati Fia, bahkan matanya tak ingin berhenti mengeluarkan air mata.

Terus berlinang, sampai-sampai bantal pun ikut terkena tetesan air mata, ya benar, ternyata ini semua  hanyalah mimpi. Segera Tita menyadarinya. Ia segara terbangun. Linglung sejenak, sedang mencerna kejadian dalam mimpinya, seperti benar-benar nyata. Perempuan itu berajak dari tempat tidurnya dan  pergi ke kamar mandi untuk mandi dan mengambil wudhu. Mimpinya benar-benar membekas di benak dan pikiran Tita. Tak melulu tentang kesedihan dan kehilangan. Namun, apa yang harus dilakukan Tita jika Ia benar-benar bernasib seperti wanita yang ada di mimpinya. Menjanda? Tentu, menikah kembali? Entah, bekerja? Mungkin saja. Ah, entalah pikirannya semakin kemana-mana.

Mimpi tersebut seakan menjadi tamparan bagi Tita yang merupakan seorang mahasiswa yang bisa dibilang pemalas, Ia sadar, bahwa integritas bagi perempuan itu penting, meskipun sudah menjadi hak seorang wanita bahwa kebutuhannya dicukupi oleh lelaki, namun tidak menutup kemungkinan seseorang akan berada diposisi wanita dalam mimpi Tita tersebut. Menjadi wanita pekerja atupun tidak, Integelitas yang tinggi tetep penting bagi wanita.

Sejak saat itulah pikiran Tita mulai terbuka, Ia ingin merubah kehidupannya menjadi lebih baik ke depannya. Karena Ia rasa wanita tak harus melulu menggantungkan nasibnya pada lelaki.

*Mahasiswa di UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung.