Oleh: Nurdiansyah Fikri Alfani*
Isu mengenai kesetaraan gender rasanya masih saja renyah untuk dibahas karena tokoh-tokoh yang berperan di dalamnya turut serta berkontribusi menyumbang pemikiran dan menyebabkan berkembangnya ilmu pengetahuan walaupun di sisi lain banyak kontroversi mengenai kesetaraan gender baik dari golongan yang keras menolak ataupun mereka yang ingin isu ini dikaji ulang.
Dalam ajaran islam sendiri memang seakan-akan ada dikotomi hak dan kewajiban antara kaum laki-laki dan perempuan, dalam ayat waris misalnya ada perbedaan pendapatan warisan antara laki-laki dan perempuan, contoh lainnya adalah dalam kasus persaksian pidana ada beberapa kasus pidana tertentu dalam aturan fikih yang saksinya harus seorang laki-laki tidak boleh jika seorang saksinya seorang perempuan.[1]
Dalam dunia kajan kesetaraan gender terkenal nama Amina Wadud Muhsin, beliau merupakan warga negara Amerika Serikat yang menjadi salah satu aktivis penggaung konsep kesetaraan gender dalam islam. Amina Menjadi sangat terkenal setelah ia menjadi Khotib dan Imam di sebuah gereja katedral di Sundram Tagore Galerry 137 Greene Street, bukan hanya sekali saja Amina Wadud membuat kontroversi ia juga pernah menjadi Imam di Pusat Pendidikan Muslim MEC (Muslim Educational Center) dan menjadi pembuka dalam acara Konfrensi Islam dan Feminisme yang digelar di Wolfson College Oxford.
Nama asli dari Amina Wadud adalah Maria Teasley dia dilahirkan di Bethesda Maryland Amerika Serikat pada 25 September 1952. Ayah Amina Wadud adalah seorang beragama Kristen Metodid sedangkan ibunya merupakan keturunan budak muslim arab Bar-bar di Afrika. Pada tahun 1972 Amina Wadud memutuskan untuk memeluk Islam di University of Pennsylvania tempat dia belajar dan resmi mengganti namanya menjadi Amina Wadud Muhsin yang sebelumnya dia juga pernah mempelajari agama Budha.
Banyak sekali pemikiran Amina Wadud yang dinilai mendekontruksi hasil penafsiran ulama dahulu pada ayat-ayat al-Qur’an khusunya pada ayat yang mana membahas tentang gender, misalnya saja pendapat Amina Wadud mengenai ayat waris yang mengatakan bahwa bagian satu orang laki-laki adalah sama dengan bagian dua orang perempuan, menurut Amina Wadud ini merupakan penafsiran yang salah karena hanya melihat seorang perempuan dari sudut pandang individual bukan dari perspektif keluarga yang mempunyai suami dan istri yang saling melengkap dan dikarenakan memahami ayat waris hanya sebatas secara parsial atau sepotong-potong.[2]
Amina wadud menganggap bahwa bukan teks Al-qur’an yang membatasi gerak wanita melainkan penafsiran terhadap teks itulah yang dianggap lebih penting daripada Al-qur’an itu sendiri.[3] Pada zaman dahulu para mufassir memang seing kali tidak obyektif dalam menafsirkan Al-qur’an karena terbelenggu oleh latar belakang keilmuan yang dimiliki, ideologi yang dianut bahkan terkadang mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an membawa kepentingan pribadi.[4] Jadi kemungkinan ada diskriminasi terhadap sosok perempuan dalam tafsir yang selama ini beredar sehingga ada asumsi kalau perempuan kurang mendapat perhatian dalam agama tidak seperti laki-laki yang dinilai mendapat banyak hak.
Menurut Amina wadud setidaknya ada tiga kategori teks al-Qur’an dan tafsirnya yang membahas tentang perempuan;
- Tafsir tradisional, dalam klasifikasi yang pertama ini Amina Wadud beranggapan kalau tafsir tradisionalis banyak ditulis oleh laki-laki hal ini tentunya pandangan dan perspektif seorang laki-laki sangatlah berpengaruh dalam hasil tafsirannya sementara perempuan dan pengalamannya ditiadakan atau ditafsirkan menurut visi, perspektif, kehendak, atau kebutuhan laki-laki.
- Tafsir isu perempuan, dalam tafsir model yang kedua banyak hal yang menyangkut soal perempuan terutama dari sarjana modern sehingga banyak yang menentang kuat pesan al-Qur’an (atau lebih tepatnya islam), kelemahan dari model tafsir ini adalah analisis mereka yang lemah dikarenakan tidak komprehensif sehingga mereka malah mendudukkan perempuan berdasarkan alsan yang sama sekali tidak sejalan dengan pandangan al-Qur’an.
- Tafsir ulang (reinterpretasi), klasifikasi tafsir yang nomer tiga menurut Amina Wadud ini seakan-akan mengulang kembali hasil penafsiran yang dinilai sudah mapan mulai dari bidang sosial, moral, ekonomi, politik modern, dan tetntunya soal perempuan.[5]
Amina Wadud beranggapan kalau patriarki dan marjinalisasi perempuan menjadi fenomena yang terjadi dalam masyarakat muslim inilah yang menyebabkan dia bertanya-tanya dan dia berpendapat kalau kehidupan seorang muslim harus berdiri dengan asas keadilan yang telah diajarkan al-Qur’an. Oleh karena itu dalam menafsirkan al-Qur’an Amina Wadud menggunakan menggunakan metode yang apabila ada kata dalam al-Qur’an yang sebelumnya dipercaya sebagai kata yang berkaitan dengan jenis kelamin maka menjadi suatu yang netral.[6]
Dari analisisnya berkesimpulan bahwa kemunduran wanita atau stigma yang menyebabkan posisi wanita berada dibawah laki-laki adalah disebabkan oleh faktor eksternal yang merujuk pada adat kebiasaan Arab klasik dan tidak ada kaitannya sama sekali dengan ajaran Islam baik dari al-Qur’an maupun Sunnah. Hal ini juga mengilhami Amina Wadud sehingga mengusung konsep Tauhidic Paradigm yaitu martabat laki-laki dan perempuan sama dihadapan tuhan.
Baginya tauhid membuka prinsip yang harmonis pada gender karena tidak ada kepentingan politik didalamnya, dengan ini Amina Wadud menawarkan paradigma yang berangkat dari ontologis antara laki-laki dan perempuan. Di tengah-tengah masyarakat yang masih terbawa stigma kalau “Derajat laki-laki tebih tinggi daripada perempuan” yang menurutnya ini adalah statement yang bias gender dan dihasilkan dari pembacaan tekstual al-Qur’an dan mengukuhkan sistem patriarki dan malah memarjinalisasi perempuan.
Dalam al-Qur’an sendiri menurut Amina Wadud tidak ada indikasi kalau menyatakan perbedaan primordial antara laki-laki dan perempuan berdasar potensi spiritual mereka. Dalam al-Qur’an dinyatakan kalau segala sesuatu itu berpasangan dan itu juga termasuk bentuk dari dualisme. Semua pasangan baik laki-laki dan perempuan tunduk dihadapan pencipta, olehkarena itu tidak ada makhluk apapun termasuk kaum laki-laki yang lebih tinggi daripada perempuan.[7]
Saat ini Amina Wadud lebih memilih tinggal di Indonesia daripada di Amerika Serikat, dia memilih Yogyakarta sebagai domisilinya dan mengajar di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga disana dia mengajar dan menyuarakan pemikirannya atas kesetaraan gender disana, dar sana beliau juga meluncurkan portal daring untuk memahami seksual dalam konteks Islam yang dinamakan QIST “ Queer Islamic Studies and Theology”.
*Santri Tebuireng.
[1]Nur Aisyah, ”Kesaksian Perempuan Perspektif Fikih” Al-Qadau: Jurnal Peradilan dan Hukum Keluarga Islam, Vol. 4, No. 1 (2017), hal 193.
[2] Ahmad Dhiya’ Udin, Skripsi: “Kritik Terhadap Konsep Keadilan Jender Dalam Penafsiran Amina Wadud”, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatulloh, 2016).
[3] Amina Wadud, Quran Menurut Perempuan: Membaca Kembali Kitab Suci dengan Semangat Keadilan, (Jakarta: Serambi, 2006), 13.
[4] Muhammad Ulinuha, Metode Kritik Ad-Dakhil fit-Tafsir: Cara Mendeteksi Infiltrasi dan Kontaminasi dalam Penafsiran Al-Qur’an, (Jakarta, Qaf Media, 2019), 44-46.
[5] Amina Wadud (16-18)
[6] Muhammad Fahrizal Amin, “AMINA WADUD: PENDEKATAN HERMENEUTIKA UNTUK GERAKAN GENDER” Al-Adyan: Jurnal Studi Lintas Agama, Al-Adyan: Jurnal Studi Lintas Agama, Vol 15, No 2 (2020), 238.
[7] M Rusydi, RELASI LAKI-LAKI dan PEREMPUAN DALAM AL-QUR’AN MENURUT AMINA WADUD, IAIN Antasari,278