
Beraktivitas di dunia maya saat ini bukanlah hal yang baru lagi bagi kita. Semua kalangan baik anak-anak, dewasa, hingga usia tua pun bisa dikatakan sudah familiar berselancar di media sosial. Kemudahan akses membuat mereka menjadi terfasilitasi. Tidak jarang menemukan banyak anak-anak mulai akrab dengan gadget dan bahkan menghabiskan sebagian besar waktu keseharian berselancar dengan gawai masing-masing. Melihat fenomena ini, kiranya apakah termasuk suatu gejala yang berdampak bagus atau sebaliknya?
Bila merujuk pada pemaparan data We Are Social pada Januari 2024 lalu, terdapat platform media sosial yang paling diminati oleh sebagian besar orang di dunia, di antaranya platform Instagram (16,5%), disusul WhatsApp (16,1%), Facebook (12,8%), dan berbagai platform lainnya.
Data tersebut menandakan bahwa sebagian besar orang berselancar di media sosial memiliki tujuan tertentu, semisal untuk menemukan informasi baru dengan persentase 60,9%, berkomunikasi dengan keluarga jauh atau teman di tingkat 56,6%, dan lainnya. Negara Indonesia berada di urutan ke-9 yang menunjukkan sebagian besar penduduknya banyak menggunakan media sosial di umur 16-64 tahun.
Mengonsumsi media sosial di masa sekarang seakan menjadi bagian kebutuhan urgen yang tidak boleh terlewatkan, sehingga tidak jarang banyak muda-mudi sudah familiar dengan berbagai aplikasi jejaring sosial yang merupakan hasil dari perkembangan teknologi.
Senyatanya, media online diciptakan oleh pencetusnya bukan tanpa tujuan. Mereka memiliki goal atau biasanya berdampak positif. Seperti halnya, memudahkan para penggunanya dalam berinteraksi atau berkomunikasi secara online serta mudah dalam membagikan informasi apapun yang ingin dibagikan. Perkembangan ini cukup terasa pada perubahan relasi sosial masyarakat.
Namun, di samping itu tidak bisa kita pungkiri, bahwa perkembangan platform digital ini juga memainkan peran melahirkan dampak negatif di lingkungan masyarakat. Semisal, gejala brain rot merupakan salah satu dampak yang harus diantisipasi.
Fenomena Brain Rot
Jejaring sosial menyajikan ragam konten yang bisa dikonsumsi oleh para penggunanya, mulai dari informasi yang serius hingga konten yang receh. Akses media sosial memudahkan setiap penggunanya mengakses konten-konten tersebut. Sajian konten meski berisi entertain, marketing, dan lainnya rupanya berdampak baik dan buruk, seperti brain rot.
Baca Juga: Memahami 4 Kaidah Fiqih Bermedia Sosial
Istilah brain rot akhir-akhir ini cukup populer, sebenarnya istilah ini telah lama muncul sekitar tahun 1854 dalam buku Walden yang ditulis oleh Henry David Thoreau. Dalam buku tersebut, Thoreau mengkritik kecenderungan masyarakat yang saat itu lebih memilih langkah mudah atau sederhana dibandingkan ide-ide yang lebih kompleks dan mendalam atau yang membutuhkan langkah berpikir serius. Sederhananya, istilah brain rot dipahami sebagai ‘kemalasan intelektual’.
Seseorang yang mengalami brain rot biasanya diketahui melalui aktivitasnya yang sering di layar gadget atau scroll konten-konten di media sosial, tanpa tersadar mereka menghabiskan banyak waktu. Kebiasaan berlebihan di dunia maya ini akhirnya menimbulkan dampak negatif bagi diri seseorang.
Resiko yang biasa dialami penderita brain rot, seperti kesulitan mengingat hal-hal baru atau sulit berpikir jernih, rentan mengalami depresi dan stress karena sulit mengelola emosi, mudah mengalami perubahan mood dan emosi, penurunan kemampuan berpikir yang menyebabkan seseorang kesulitan dalam memecahkan masalah sehingga berdampak pada sulitnya membuat keputusan.
Kebiasaan scroll konten-konten media sosial menyebabkan orang mudah mengalami stress. Hal itu karena aktivitas scroll tayangan media sosial menyerang kognitif atau melemahkan kesehatan mental seseorang. Durasi normal mengonsumsi media sosial sekitar 2 jam dalam sehari, khususnya bagi anak-anak dan remaja di mana kondisi otaknya menunjukkan kondisi yang cukup pesat.
Baca Juga: Menyelamatkan Masa Depan Anak, Tidak di Tangan Teknologi
Literasi Digital Solusi Strategis
Bayang-bayang brain rot saat ini menjadi tantangan serius bagi semua kalangan masyarakat. Gejala ini bisa menyerang siapa saja, baik tua maupun usia muda. Masing-masing dari kita perlu memiliki detoksifikasi digital dan mengurangi paparan layar gadget. Istilah digital detox cukup membantu otak beristirahat dari penerimaan informasi yang tidak berguna bagi otak. Kita perlu memiliki kemampuan kontrol diri yang kuat dan berlatih agar bisa fokus dalam membaca buku (mindfulness).
Fenomena brain rot merupakan ancaman multidimensional yang berdampak pada kesehatan otak dan mental seseorang. Bisa kita bayangkan bila generasi muda terpapar gejala brain rot ini. Bagaimana masa depan mereka dalam menghadapi perubahan zaman?
Bagaimana kualitas generasi emas Indonesia bila mereka terkena gejala brain rot. Ini adalah tantangan kita semua agar memiliki kontrol diri yang kuat dan membatasi terhadap konsumsi konten di media sosial. Salah satu penelitian yang dikaji oleh Ika Rahayu Setyaningrum, dkk., (2023) menemukan bahwa remaja yang menggunakan media sosial cenderung mengalami kecemasan, stress, dan kesedihan yang tinggi.
Menghadapi tantangan masa kini perlu meningkatkan literasi digital sebagai penyeimbang. Brain rot merupakan dampak dari budaya konsumsi digital secara berlebihan. Kita perlu memiliki kompetensi filter konten yang berkualitas dengan yang hanya menjadi sampah.
Setidaknya melek digital atau literasi digital dapat menyelamatkan generasi muda dari konsumsi informasi hoax atau konten yang tidak bermutu. Untuk mengubah pola perilaku ini memang tidak mudah, apalagi konsumsi konten media sosial yang nyaris menjadi bagian dari aktivitas seseorang di masa sekarang.
Baca Juga: Kedekatan Santri dengan Media Sosial
Menerapkan literasi digital dengan melakukan edukasi kepada generasi muda atau masyarakat agar bijak bersosial media. Tidak sepenuhnya mempercayai berbagai informasi baru, karena bisa jadi informasi tersebut tidak benar adanya. Kita perlu memahami digital culture dalam mengoperasikan teknologi informasi.
Literasi digital mendukung kemampuan seseorang dalam memilah informasi dari berbagai konten-konten di media sosial. Gejala brain rot secara tidak langsung dapat diatasi bila seseorang menjadi literatif. Ia akan berpikir kritis, selektif, analitis dalam menerima berbagai informasi baru. Bahkan seseorang yang literatif mudah menemukan informasi baru yang mendukung skill diri atau mampu menemukan peluang.
Penulis: Herlina, Peneliti dan alumnus Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Daftar Pustaka
We Are Social. (Januari 2024). Digital 2024: 5 Billion Social Media Users. https://wearesocial.com/id/blog/2024/01/digital-2024-5-billion-social-media-users/.
Henry David Thoreau. (1854). Walden; or, Life in the Woods. London J.M. Dent & Sons 19.
Ika Rahayu Satyaninrum, Falimu, Prasetio Rumondor, Hartin Kurniawati, Adit Mohammad Aziz. (2023). Promoting Mental Health in The Digital Age: Exploring the Effects of Social Media use on Psychological Well-Being. West Science Interdisciplinary Studies, 1, 6. 248-256.