Sumber gambar: https://www.akhbarislam.com

Oleh: Silmi Adawiya*

Dalam logika manusia secara umum, semakin banyak yang didapat tentu semakin baik, tetapi tidak dalam Islam. Tamak adalah lawan dari qanaah (menerima, puas diri). Orang yang tamak memang tidak pernah kenal puas dengan yang namanya harta. Seperti seekor kera yang mendapati pisang berhamburan, kala kedua tangannya telah penuh, maka digunakannya pula kedua kaki dan mulutnya untuk menggenggam kuat makanan favoritnya itu.

Sifat tamak justru menjatuhkan seorang manusia pada kehinaan hakiki. Sifat tamak tersebut sejatinya hanya bisa merusak agamanya. Ketamakan manusia kepada harta dan kepemimpinan akan membawa kepada kezhaliman, kebohongan, dan perbuatan keji.  Hadis Nabi ini perlu kita renungkan:


رَوَي التِّرْمِذِيُّ عَنْ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ الأَنْصَارِيِّ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلاَ فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ

Al-Tirmidzi meriwayatkan dari Ka’ab ibn Malik al-Anshari radhiallahu anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Tidaklah dua ekor serigala yang lapar dikirimkan pada seekor kambing itu lebih berbahaya daripada tamaknya seseorang pada harta dan kedudukan dalam membahayakan agamanya.” (HR. al-Tirmidzi)

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Imam Ibnu Rajab al-Hambali menjelaskan bahwa ini adalah permisalan yang agung yang diumpamakan oleh Nabi Muhammad bagi kerusakan agama seorang muslim akibat rakus terhadap harta dan kedudukan dunia dan bahwa kerusakannya tidak lebih berat dari rusaknya kambing yang dimangsa oleh dua ekor serigala lapar.

Allah mengingatkan kita untuk tidak terlalu cinta akan dunia. Harta itu adalah ujian. Bisakah ia tetap menjaga shalatnya di saat uangnya berlimpah? Atau ia hanya rajin berdoa di saat penghujung bulan? Di saat tagihan-tagihan kredit mulai berdatangan? Peringatan Allah tersurat dalam QS At-Taghabun ayat 15:

إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ ۚ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ

“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.”

Fokus dan komitmen meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah adalah salah satu menyelamatkan iman kita dari sifat tamak. Menyadari bahwa dunia hanyalah bandara kehidupan, kita datang sejenak lantas pergi untuk tujuan yang lebih mulia. Tundukkan dirimu akan perihal duniawi dengan mencari akhirat. Dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu, ia mendengar Rasûlullâh bersabda :

مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ ، فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ ِ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ ، وَمَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ نِيَّـتَهُ ، جَمَعَ اللهُ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ غِنَاهُ فِيْ قَلْبِهِ ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ.

Barangsiapa tujuan hidupnya adalah dunia, maka Allâh akan mencerai-beraikan urusannya, menjadikan kefakiran di kedua pelupuk matanya, dan ia tidak mendapatkan dunia kecuali menurut ketentuan yang telah ditetapkan baginya. Barangsiapa yang niat (tujuan) hidupnya adalah negeri akhirat, Allâh akan mengumpulkan urusannya, menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina. ”

Dalam Risalah al-Qusyairiyah, Imam Abu Bakar al-Maraghi bernah bertutur kepada murid-muridnya: “Orang yang berakal sehat adalah orang yang mengatur urusan dunia dengan sikap qana’ah dan mengatur urusuan agama dengan ilmu dan ijtihad.” Dan  tentunya, orang yang berakal dan cerdas seperti itu adalah orang memahami siapa diri dan harus bagaimana diri ini.

Menurut Imam al-Ghazali, kemuliaan seorang hamba itu bermula dari qana’ah dan kehinaannya berawal dari sifat tamak. Oleh karena itu qana’ah adalah karakter utama mukmin sejati. “Qana’ah itu ibarat raja yang tidak mau bertempat tinggal kecuali di hati mukmin,” kata Imam al-Qusyairi. Sedangkan orang yang tamak selalu dikejar-kejar nafsu untuk menumpuk harta sebanyak-banyaknya, tanpa mempedulikan apakah harta tersebut diperoleh dengan cara yang halal ataukah haram. Untuk menjadi orang yang qana’ah, maka kita perlu memperbanyak syukur, bersikap wara’ dan menghindari gaya hidup yang berlebihan.


*Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana UIN Jakarta, alumnus Unhasy dan Pondok Pesantren Putri Walisongo Jombang.