sumber ilustrasi: indonesiana.id

Oleh: Robi’ah Machtumah Malayati*

Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.”

Nasihat berharga Pramoedya Ananta Toer tersebut kiranya pas sekali jadi pegangan,terutama buat penulis yang melakukan proses kreatif. Sebab, apa yang ditulis nantinya bisa jadi lebih panjang umurnya dari umur penulisnya sendiri. Terlebih lagi perkembangan teknologi informasi menjadikan tulisan tersimpan dan menjadi jejak rekam digital bagi seorang penulis.

Menulis bisa mulai dari hal-hal yang sederhana di sekitar kita. Banyak hal yang bisa ditulis yang bisa jadi memunculkan kesadaran baru, yang tidak banyak ditemukan oleh orang lain. Semangat aware terhadap apa yang ada di sekitar kita kiranya akan membangkitkan daya kritis yang bisa dituangkan dalam tulisan.

Lalu bagaimana seorang penulis memiliki daya atau energi untuk menjalani proses kreatif dalam menulis? Sastrawan Jombang Aditya Ardy N dalam suatu forum diskusi sastra menyebutkan beberapa langkah sederhana dalam berproses kreatif, wabil khusus menulis.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Pertama, harus banyak membaca. Membaca bisa dipetakan menjadi dua, yaitu membaca tekstual. Artinya, membaca literatur buku-buku bacaan. Perbanyaklah membaca buku. Semua bacaan yang tercerap akan mengendap dalam pikiran. Dimana, dalam waktu yang tepat semua itu akan terpanggil untuk diungkapkan menjadi bahan dalam tulisan.

Kategori membaca yang kedua adalah pembacaan kontekstual, yaitu membaca kejadian. Membaca kejadian ini yang mengasah kita untuk bisa membaca apa yang tidak dibaca oleh banyak orang. Banyak peristiwa di sekitar kita yang bisa kita baca. Misalnya, mengapa seseorang yang di dalam lift cenderung diam dan kadang tidak nyaman jika berdekatan dengan orang-orang yang tidak dikenal? Atau, mengapa seseorang yang memiliki handphone merek tertentu terkesan lebih bergengsi dibanding yang lain dengan merk hp lainnya. Semua itu bisa menjadi pembacaan yang menarik, baik dari perspektif komunikasi, sastra, sosiologi, pendidikan dan perspektif lainnya.

Kedua, harus banyak berdiskusi. Diskusi bisa dilakukan dengan siapa saja dan tema apasaja. Diskusi akan sangat berharga untuk mengembangkan ide-ide kreatif dan mengasah ketajaman analisa pemikiran. Lakukan diskusi dengan berbagai orang dengan berbagai pemikiran.

Setelah menjalani proses membaca dan berdiskusi maka semua itu akan menjadi jalan ide atau gagasan. Hal yang tidak kalah penting selanjutnya adalah mengeksekusi ide atau gagasan tersebut.

Mengeksekusi gagasan bisa jadi mudah bisa jadi susah. Tidak sedikit bakal tulisan yang magak atau berakhir tanpa akhir. Penulis tidak mampu melanjutkan karena tiba-tiba mengalami kebuntuan. Tidak jarang pula penulis menghadapi masa-masa sulit menulis. Misalnya, ketika tulisan sudah selesai, tapi tidak menemukan judul yang pas. Atau, ketika sudah mendapatkan judul yang ‘ciamik bingit’ justru tidak juga tertuliskan isinya bahkan sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Itulah situasi kebuntuan menulis atau yang dikenal dengan istilah writer’s block.

Jika mendapati situasi writer’s block atau kebuntuan menulis, maka ada beberapa langkah yang bisa dilakukan. Pertama, berhentilah sejenak dan tidak perlu memaksakan diri untuk lanjutkan menulis. Lebih baik bacalah buku atau literatur sampai menemukan jawaban atas kebuntuan tersebut. Kalaupun tidak nemu juga, maka ada baiknya mencari udara segar, atau melakukan hal-hal lain yang digemari. Dan pada saat itu biasanya ketegangan dalam pikiran akan mencair dan –dari pengakuan beberapa penulis– sebuah ilham keluar dengan sendirinya yang merupakan jawaban atau solusi dari kebuntuan tersebut. Proses semacam itu menurut Aditya Ardy adalah perkara batin. Karena itu, disarankan, bagi penulis pemula harus melakukan proses latihan yang terus menerus dengan membaca (baik tekstual atau kontektual), dan ngobrol/berdiskusi secara konsisten.

Ada satu lagi tantangan menjadi seorang penulis. Yaitu persoalan ketahanan diri dalam menulis atau berkarya dalam segala kondisi. Lucia Priandarini, penulis novel adaptasi naskah film Dua Garis Biru mengatakan bahwa menulis itu adalah persoalan mental. Bahwa menulis membutuhkan mental dan keberanian untuk menyiapkan diri agar bisa menyelesaikan sekian ratus halaman dalam waktu yang sudah ditetapkan penulisnya sendiri.

Menurutnya, seorang penulis kalau tidak punya deadline, maka bisa molor. Bahkan, Lucia menyebutkan, kalau penulis menunda menulis sama artinya sudah membuka pintu kegagalan dalam manulis. Karena itu menjadi seorang penulis perlu memiliki ketahanan mental yang kokoh. Sehingga bisa menyelesaikan tulisannya dengan baik.

Untuk itu bagi yang ingin menulis, jangan menyerah, teruslah belajar, berkarya! Semoga bermanfaat.

*Dosen Pengajar Prodi Komunikasi & Penyiaran Islam (KPI) Unhasy.