Oleh: Muh Sutan*
Ngopeni Warisan Ilmu
Di Pesantren Tebuireng, Hadratussyekh Hasyim Asy’ari adalah sosok yang berpengetahuan luas dan hobi menulis. Terbukti, buah karya beliau masih bisa kita pelajari di waktu sekarang. KH. Muhammad Ishomuddin Hadziq adalah sosok dibalik layar pengkodifikasian karya-karya Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari.
Biografi singkat, beliau adalah cucu Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, putra dari pasangan Khadijah binti Hasyim Asy’ari dan Kiai Hadziq Mahbub dari Ketanggungan, Brebes. Beliau lahir bertepatan tanggal 18 Juli 1965 di Kediri, Jawa Timur.
Sekilas keterangan biografi Gus Ishom pada kitab Irsyadu as-Sari disebutkan, sejak masa kelahirannya, Gus Ishom telah mendapat sentuhan barakah dari al-Maghfurlah KH. Mahrus Aly Lirboyo dan al-Maghfurlah KH. Abd Majid Ma’ruf Kedunglo Kediri. Ketika proses kelahiran yang sedikit mengalami kesulitan, sang ayah M. Hadziq Mahbub sowan ke KH. Abd Majid Ma’ruf agar berkenan memberikan barakah doa supaya kelahiran puteranya berlangsung lancar dan normal.
Dengan segelas air putih pemberian Kiai Abd. Majid Kedunglo yang diminumkan kepada istrinya, akhirnya proses kelahiran yang tadinya mengalami kesulitan menjadi lancar. Ketika sang jabang bayi lahir, KH. Mahrus Aly Lirboyo datang menjenguknya dan memberinya nama Muhammad Ishomuddin.
Kami berkesempatan menggali informasi mengenai kodifikasi awal karya KH. M. Hasyim Asy’ari oleh Gus Ishom, dari Gus Zaki Hadziq, adik beliau. “Gus Ishom pulang dari mondok di Lirboyo tahun 1991 M. Sejak pulang, beliau banyak berhubungan dengan para kiai. Termasuk salah satunya adalah KH. Abdul Nashir Fattah, Tambak Beras. Kiai Abdul Nashir yang memberikan beberapa kitab karya KH. M. Hasyim Asy’ari kepada Gus Ishom. Sejak saat itu, terus bermunculan karya-karya KH. M. Hasyim Asy’ari”, ungkap Pengasuh PP. al-Masruriyyah Tebuireng, ini.
Kalau kita telisik lagi, dahulu ayah KH. Abdul Nashir Fattah yakni KH. Abdul Fattah Hasyim (w. 1997 M) adalah santri dari Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari. Menurut satu keterangan, Kiai Abdul Fattah memilih berguru kepada Kiai Hasyim setelah mondok di Pesantren Siwalan Panji. Ada anggapan tersendiri mengapa Kiai Abdul Fattah ingin berguru kepada Hadratussyaikh, yakni karena sosok Kiai Hasyim yang alim, wira’i, zuhud, dan tawadlu’.
Pada saat nyantri di pesantren Mbah Hasyim ini kemampuan intlektual Kyai Fattah semakin tampak, sehingga di mata Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asyari, beliau termasuk santri istimewa. Bahkan menurut KH. Ilham Perak Jombang bahwasanya KH. M. Hasyim Asyari tidak akan memulai mbalah (membaca) kitab untuk para santri sebelum Kyai Fattah berada di sampingnya.
Dan karena kealiman Kyai Fattah yang tidak diragukan lagi hingga Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asyari memberi amanat untuk ikut membantu mengajar kepada para santri di Pesantren Tebuireng serta sering menjadi badal (pengganti) Hadratussyaikh ketika beliau berhalangan hadir dalam pengajian di masyarakat. Dari keterangan ini, terlihat bahwa Kiai Abdul Fattah punya kedekatan pribadi dan keilmuan dengan Hadratussyaikh. Maka tidak mengherankan kalau KH. Abdul Nashir Fattah (anaknya) mempunyai beberapa kitab KH. M. Hasyim Asy’ari, yang nantinya akan diteliti dan dikodifikasi oleh Gus Ishom Hadziq
Dipandang secara ilmu agama, Gus Ishom adalah sosok yang dipercayai bisa ngopeni karya Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari. Menurut Gus Zaki, ngopeni kitab itu membutuhkan keahlian khususnya seperti ilmu alat dan kemampuan lainnya. “Saya melihat kemampuan itu terdapat dalam diri Gus Ishom yang memang sejak kecil memiliki bakat dan ketertarikan kepada ilmu alat gramatika bahasa Arab dan memang dari awal belum ada yang memulai ngopeni kitab-kitab karya Kiai Hasyim Asy’ari”, kenang Gus Zaki Hadziq.
Dalam perbincangan lain, Gus Zaki menambahkan bahwa dulu sebelum Gus Ishom wafat, beliau sering mendapati naskah atau mahtuthat kitab-kitab Kiai Hasyim Asy’ari. Tapi setelah Gus Ishom wafat, hanya beberapa saja yang bisa Gus Zaki selamatkan. Selain Kiai Nashir Fattah Tambak Beras, Gus Ishom tidak pernah menceritakan dari mana beliau mendapat naskah-naskah kitab tersebut. Tapi, ada sebagian yang didapat dari perpustakaan Tebuireng. Hingga waktu sekarang, Gus Zaki masih berburu beberapa kitab yang menurut Gus Ishom dulu ada, tapi sampai saat ini belum ditemukan. Salah satu kendala yang dihadapi Gus Zaki, adalah ketika mendapat naskah yang tulisannya susah dibaca karena faktor usia (naskah) sudah lama.
Dalam salah satu esai (Penafsiran Kembali Ajaran Agama), Abdurrahman Wahid menulis, pada dasarnya setiap agama memiliki watak transformatif, yaitu berusaha menanamkan nilai-nilai yang baru dan menggantikan nilai-nilai yang lama yang dianggap bertentangan dengan ajaran-ajaran agama. Semisal, konsep barokah dengan ziarah kubur, yang dulu dianggap diperoleh dari orang yang berada dalam lubang kubur itu, dengan pemahaman baru menjadi diperoleh langsung dari Tuhan dengan jalan mengambil hikmah dari siklus kehidupan dan kematian yang direnungkan dalam upacara ziarah kubur tersebut.
Kalau kita menjadi santri zaman sekarang (now), yang nyantri dan mengharap barakah dari para kiai dan ulama’. Maka dari paparan di atas, bisa kita membaca bahwa santri tidak boleh hanya berdiam diri. Karena estafet keilmuan juga harus terus kita kawal dan jaga dengan baik. Belajar dan terus belajar. Kita melihat bagaimana KH. M. Hasyim Asy’ari, saat dari menjadi santri sampai menjadi guru besar para ulama, juga Gus Ishom yang menggali barokah dari Kiai Hasyim melalui penelitian dan kodifikasi karya milik Hadratussyaikh. Semua itu berdasar semangat dan ketekunan yang murni karena ilmu. Mari, kita kirim doa kepada para kiai dan guru-guru kita. Al-Fatihah.
*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari