Foto penulis

Oleh: M. Rizki Syahrul Ramadhan

Belakangan ini terdapat dua kejadian hukum yang besar di Indonesia, yaitu keputusan hukuman bagi Ahok dan pembubaran HTI. Dua kejadian hukum tersebut merupakan keputusan para petinggi negara. Suatu keputusan yang tentunya tidak mudah ditentukan dan rawan dugaan negatif dari banyak pihak.

Sebagai warga negara dan orang Islam yang baik, tidaklah salah jika membicaran kejadian tersebut melalui refleksi perbandingan terhadap cara Islam menentukan suatu kebijakan. Tentunya pembahasan di sini terlepas dari kajian hukum positif atas dua kejadian di atas.

Dalam Islam, terdapat sebuah pembahasan menarik dalam sejarah pensyariatan hukum. Sebuah pembahasan komparatif antara pensyariatan hukum zina dan minum khamr. Lebih tepatnya lagi dilarangnya dua hal tersebut.

Sudah jamak diketahui bahwa Islam melarang zina dan minum khamr. Namun yang menarik dari hal itu adalah proses (tarikh) pelarangannya. Dalam zina, pelarangan ditetapkan begitu saja tanpa bertele-tele. Sedangkan dalam minum khamr, pelarangan ditetapkan melalui tiga tahap: statemen bahwa khamr memiliki manfaat dan madharat, pelarangan shalat ketika mabuk akibat minum khamr, dan yang terakhir pelarangan minum khamr secara umum dan mutlak.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Perbedaan tarikh tersebut menjadi menarik jika ditelusuri lebih lanjut penyebabnya. Zina dan minum memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya, keduanya merupakan kebiasaan masyarakat yang telah lepas dari objektifitas nilai. Maksudnya, masyarakat tidak menganggap perbuatan zina dan minum khamr sebagai sesuatu yang buruk. Hal itu disebabkan oleh lamanya kebiasaan tersebut diterapkan masyarakat dari generasi ke generasi.

Kedua kebiasaan tersebut juga memiliki perbedaan. Zina hanya dapat dilakukan dengan orang lain, sedangkan minum khamr bisa dilakukan sendirian karena tidak butuh objek berupa manusia. Perbedaan tersebut tentunya memiliki pengaruh terhadap tarikh yang kita bahas di atas.

Kholisuddin, Lc., M.Hi., dosen Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng berkata bahwa perbedaan tarikh dalam pengharaman zina dan minum khamr setidaknya disebabkan oleh satu hal, yaitu legalitas atas perbuatan yang diharamkan oleh Islam. Maksudnya, Islam mengharamkan zina secara langsung (tanpa tahapan) karena Islam memiliki solusi bagi para pecandu zina agar perbuatannya legal, yaitu menikah. Islam hanya mengganti aturan main sebelum mereka bersetubuh. Jika dalam zina mereka langsung bersetubuh, maka Islam mengaturnya dengan akad nikah terlebih dahulu.

Dalam redaksi Kholisuddin, solusi tersebut, disebut sebagai “dua perilaku yang sama namun hukumnya berbeda”. Dalam artian, tindakan yang dilakukan dalam zina dan nikah sebenarnya sama, yaitu bersetubuh. Hanya berbeda dalam aturan mainnya seperti yang tertulis di atas. Hal itu berbeda dengan pengharaman minum khamr. Yang terakhir ini tidak diberi legalitas oleh Islam. Islam mengharamkannya dan tidak memberi padanan perbuatan yang sama melalui perubahan aturan main seperti dalam zina.

Mengapa minum khamr tidak sekalian dilegalkan dengan membuat aturan main baru seperti dalam zina? Sayangnya jawaban tersebut tidak terdapat dalam pembahasan ilmu sejarah pensyariatan hukum Islam. Secara lugu kita dapat menjawabnya dengan berkata “Itu adalah hak mutlak Tuhan, terserah Tuhan mau bagaimana”. Namun dalam tinjauan hikmah (hikmah tidak berpengaruh terhadap produk hukum), alasan terkuat adalah karena khamr memang jelek secara dzat. Mau diberi aturan main apapun, meminum khamr tetap akan merusak akal manusia.

Maka kesimpulan dari perbandingan di atas adalah Islam sangat mempertimbangkan kebiasaan masyarakat dalam menentukan hukum. Mempertimbangkan bukan berarti melulu melegalkannya. Jika kebiasaan tersebut secara objektif tidak pantas diteruskan, maka Islam berusaha menghapusnya. Hanya saja yang perlu diperhatikan di sini adalah Islam menerapkan tahapan (marahil) dalam menghapus kebiasaan tersebut. Sebuah metode perubahan yang sangat elegan.

Tuhan dalam hal ini setidaknya telah memberi pengajaran bagi manusia dalam menentukan kebijakan, terutama manusia yang mempunyai kekuasaan, baik kekuasaan politik maupun yang lain, dalam lingkup luas maupun sempit. Seorang pemegang kebijakan harus mempertimbangkan kebiasaan yang berlaku di lingkungan sasaran ketika hendak menentukan kebijakan baru. Jika tidak, berarti dia belum beruntung mendapat ilmu Tuhan di atas.

Begitulah cara Islam menentukan suatu kebijakan. Maka, kembali ke permasalahan awal, para penentu kebijakan atas keputusan hukuman bagi Ahok dan pembubaran HTI jangan sampai lupa mempertimbangkan kebiasaan masyarakat Indonesia. (Sebagian) masyarakat Indonesia itu lebih suka kedamaian daripada kebenaran lho (Ayu Utami: 2008). Jadi, apakah kebijakan yang diambil sudah bener dan pener (benar dan tepat)?


*Penulis adalah mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari semester 4 dan mantan Pemimpin Redaksi Majalah MAHA Media.