14409133_1097626560342063_1931024136_nOleh: Robert  El-Umam*

Bung Karno pernah berkata, “Beri aku seribu orang tua, maka akan aku cabut Semeru dari akarnya. Berikan aku sepuluh pemuda, maka akan aku guncang dunia.” Perkataan Soekarno yang populer itu dirasa kurang tepat bila diucapkan pada zaman sekarang. Sebab, sepuluh pemuda saat ini jika diajak untuk berjuang, terlebih dahulu mereka akan bertanya, “Saya dapat apa bila ikut berjuang?” atau dengan bahasa yang lain, “Wani piro?” Idealisme perjuangan politik pemuda zaman sekarang memang sedang mengalami degradasi.

Di samping karena perangkap kapitalisme yang berbentuk hedonisme telah berhasil mengalihkan perhatian mayoritas pemuda dari isu-isu politik yang krusial, para pemuda juga dikepung oleh senjata uang dan “bius” intelijen yang dapat meracuni nalar kritis dan idealisme para pemuda. Pemuda saat ini sedang mengalami yang namanya hedonisme materialisme sebagai produk dari modified capitalism (modifikasi kapitalisme). Kapitalisme memang mempunyai seribu satu cara agar tetap dapat berkuasa di dunia. Pada zaman sekarang, kebanggaan di kalangan pemuda bukan lagi bertumpu pada ketajaman intelektual, kekayaan gagasan, dan kesucian idealisme.

Rivalitas motor sport, iPhone (Apple), dan mobil baru adalah medan adu gengsi di kalangan kaula muda. Ber-selfie di tempat tongkrongan yang dianggap berkelas seperti Starbucks, mall, dan hotel yang kemudian diunggah di media sosial telah menjadi budaya yang lebih dipilih oleh generasi muda daripada nongkrong untuk diskusi filsafat, sejarah, politik, atau ekonomi di emperan kampus atau di warung kopi kaki lima.

Bila kita flashback sedikit sejarah Indonesia, maka kita akan menyadari bahwa pergerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia selalu dipelopori oleh para pemuda, seperti Tjipto Mangunkusumo, Ki Hadjar Dewantara, Ernest Douwes Dekker, Semaun, Marco Kartodikromo, Alimin, Tan Malaka, Soekarno, dan masih banyak lagi yang lainnya. Menariknya lagi, para pemuda pejuang kemerdekaan itu rata-rata berasal dari keluarga priyayi atau prangreh praja (pegewai Hindia Belanda), di mana mereka sangat berpeluang untuk hidup nyaman dan penuh hura-hura tanpa resiko disakiti atau dihukum oleh pemerintahan kolonial Belanda.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Namun nyatanya, mereka (justru) memilih jalan yang terjal dan penuh duri, melebur bersama penderitaan rakyat, berjuang demi kemerdekaan rakyat Indonesia yang tak mereka kenal satu-persatu namanya. Mereka menerima bayaran tak jelas, dinginnya penjara, pembuangan, penyiksaan, bahkan pembunuhan. Soekarno misalnya, sudah sejak muda ia aktif di organisasi dan menulis. Soekarno aktif di Jong Java (Pemuda Jawa) dan Serikat Islam saat ia menempuh pendidikan di Hogere Burger School (setingkat SMA) Surabaya, dan ia aktif menulis di harian Oetoesan Hindia. Ini menunjukkan bahwa Soekarno sangatlah produktif. Kemudian saat kuliah di Technische Hooge School (sekarang ITB) Bandung, ia sering mengikuti berbagai diskusi yang diselenggarakan di rumah Cipto Mangunkusumo.

Di sanalah ia banyak mengenal tokoh pergerakan yang lebih senior dan radikal, seperti Ki Hadjar Dewantara, Ernest Douwes Dekker, J.E Stokvis (tokoh sosial demokrat yang pro Indonesia), D.M.G. Koch (wartawan Indische Social Democratische), dan banyak tokoh lainnya. Konon, dari Koch inilah Soekarno sering meminjam buku-buku Marxisme dan sosialisme.

Setelah beberapa waktu mengikuti diskusi di rumah Cipto Mangunkusumo, Soekarno kemudian mendirikan kelompok diskusi sendiri yang bernama Algemeene Studie Club (1926). Setahun kemudian kelompok diskusi ini berubah nama menjadi Perserikatan Nasional Indonesia, dan akhrinya melahirkan Partai Nasional Indonesia. Perlu diketahui bahwa pada saat Soekarno mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) baru berusia 26 tahun. Usia yang sangat belia untuk seorang pemimpin partai.

Sejak aktifitasnya di PNI, sejarah Soekarno adalah sejarah penderitaan, karena sejak 1929 sampai 1942 Soekarno mengalami banyak siksaan, penjara, dan pengasingan oleh pihak kolonial Belanda. Sebenarnya, Soekarno bukan tidak dapat untuk hidup normal, sejahtera, bebas dari tekanan hukuman Belanda karena setelah lulus kuliah dari Technische Hooge School ia ditawari oleh dosennya, Profesor Wolff Schoemaker, bekerja di Departemen Pekerjaan Umum (pemerintahan Belanda), namun ia menolaknya dan memilih mengabdikan diri berjuang bersama rakyat dan hanya menjadi guru matematika di sekolah Kesatrian Institute, milik Ernest Douwes Dekker, seniornya.

Selain aktif dalam pergerakan nasional, Soekarno juga seorang yang cukup produktif dalam karya tulis. Bahkan tidak sedikit dari tulisan-tulisannya yang membuat kesal lawan politiknya, baik pihak Belanda ataupun kelompok pergerakan lain yang dianggap kurang radikal dan revolusioner. Di dalam buku yang berjudul “Di Bawah Bendera Revolusi I” memuat tidak kurang dari 63 artikel Soekarno yang diambil dari berbagai macam media massa saat itu.

Menariknya, Soekarno tidak hanya menulis tentang propaganda politik saja, namun juga isu keislaman yang dianggap perlu diperbarui juga tidak luput dari tulisannya yang tajam. Seperti tulisannya yang berjudul “Surat-surat Islam dari Endeh”, “Islam Sontoloyo”, “Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara”. Soekarno pernah difatwakan “halal darahnya” oleh petinggi senior organisasi Muhammadiyah karena dianggap menyebarkan syu’ubiyah (fanatisme) yang dianggap haram oleh agama sebagaimana tertuang dalam tulisannya yang berjudul “Me-muda-kan Pengertian Islam”. Soekarno juga sering menerima kritikan pedas dari lawan politiknya bahkan mengarah kepada pembunuhan karakter (character assassination).

Serangan pedas itu disampaikan oleh golongan yang menyebut dirinya “nasionalis konstruktif.” Mereka mencela Soekarno dan kawan-kawannya dengan mengatakan, “Jangan banyak bicara, bekerjalah!” Cercaan itu mencaci Soekarno dan kawan-kawannya yang dianggap sering melakukan propaganda politik dan mengesampingkan kerja-kerja profesional yang mendatangkan hasil materil untuk mereka nikmati secara pribadi dan keluarga.

Mendengar serangan ini, Soekarno kemudian menjawabnya dengan keras sebagaimana yang termuat di media massa Fikiran Rakyat (1933) dengan judul,“Sekali Lagi: Bukan JANGAN BANYAK BICARA, BEKERJALAH!, tetapi BANYAK BICARA, BANYAK BEKERJA!”. Dalam tulisannya Soekarno mengatakan, “…Katanya kita terlalu banyak gembar-gembor di atas podium, telalu banyak berteriak di dalam surat kabar, tetapi kurang kerja (yang) konstruktif mendirikan ini dan itu. Ini dan itu, yaitu badan koperasi, badan penolong anak yatim, dan lain lain, maka saya di dalam S.I.M (Suluh Indonesia Muda) ada menulis: TIDAK! Dengan suatu masyarakat yang sembilan puluh lima persen terdiri dari kaum yang segala-galanya kecil itu, dengan suatu masyarakat yang Sembilan puluh lima persen terdiri dari kaum Marhaen itu, dengan (kondisi) masyarakat yang terutama sekali dicengkram oleh imperialisme bahan mentah dan imperialisme penanaman modal itu.”

Menurut pandangan Soekarno, dalam masyarakat yang mayoritas mengalami kemiskinan serta berada di bawah tekanan penjajahan (imperialisme), di mana sektor bahan mentah telah dimonopoli asing dan suburnya investasi modal asing sehingga semakin menjauhkan rakyat dari pencapaian untuk hidup makmur, sejahtera dan mandiri. Oleh karena itu, yang diperlukan bukanlah kerja-kerja yang konstruktif dengan semisal mendirikan koperasi usaha kecil menengah atau memperbanyak panti asuhan buat menampung anak yatim. Karena kerja konstruktif yang demikian menurut Soekarno hanyalah bersifat sementara (tambal) dan tidak akan benar-benar memberikan kesejahteraan kepada seluruh rakyat Indonesia secara jangka panjang. Sebagaimana tertuang dalam terusan tulisannya, “…. Dengan masyarakat dan imperialisme yang demikian itu, maka titik beratnya, pusatnya kita punya aksi haruslah terletak di dalam politik ‘bewustmakiri’” dan politik akasi, yakni di dalam menggunakan keinsafan politik daripada rakyat. … Dengan masyarakat dan imperialisme yang demikian itu kita tidak boleh menenggelamkan keinsafan (kesadaran rakyat) dan kegiatan politik itu di dalam aksi yang ‘konstruktif’ mendirikan warung ini dan mendirikan warung itu, aksi ‘konstruktif’ yang lahirnya hanya mempunyai harga ‘penambal’ belaka.”

Soekarno menganggap propaganda golongan yang mengaku sebagai “nasionalis konstruktif” itu tak ubahnya jampi-jampi, mantra-mantra, yang membuat lemah kaum pergerakan Indonesia. Soekarno juga mengkritik sempitnya pemikiran golongan “nasionalis konstruktif” itu yang hanya menafsirkan bahwa kerja yang konstruktif hanya pekerjaan yang membuahkan hasil materil saja, yang dapat dilihat keberadaannya saja. Padahal kata Bung Karno, pekerjaan yang konstruktif itu tidak hanya yang bersifat materil namun juga yang bersifat nonmateril.

Seperti kerja-kerja politik dengan memberikan kesadaran politik masyarakat, membangun semangat juang masyarakat, mendirikan harapan masyarakat, dan bahkan menumbuh suburkan ideologi nasionalisme kebangsaan kepada masyarakat. Soekarno berkata, “O, perkataan jampi-jampi, o, perkataan peneluh, o, perkataan mantra ‘konstruktif’ dan ‘destruktif’! Sebagian besar daripada pergerakan Indonesia kini seolah-olah (ter)kena dayanya mantra itu, sebagian besar daripada pergerakan Indonesia seolah-olah (ter)kena gendhamnya mantra itu! Sebagian besar daripada pergerakan Indonesia mengira, bahwa orang adalah (tergolong) “konstruktif’ hanya kalau orang mengadakan barang-barang yang boleh diraba saja, yakni hanya kalau orang mendirikan warung, mendirikan koperasi, mendirikan bank-bank (koperasi kecil) dan lain-lain sebagainya, pendek kata hanya kalau orang banyak mendirikan badan-badan sosial saja! Sedangkan kaum propagandis yang sehari-hari “cuma bicara saja” di atas podium atau di dalam surat kabar, yang barangkali sangat (membantu) sekali menggugah keinsafan politik daripada Rakyat-Jelata, dengan tiada ampun lagi dikasihnya cap ‘destruktif’ alias orang yang ‘merusak’ dan ‘tidak mendirikan suatu apa-apa!’ Dengan keras Soekarno menjawab, “Tidak sekejap mata masuk di dalam otak kaum itu, bahwa semboyan ‘jangan banyak bicara, bekerjalah!’ harus diartikan di dalam arti yang luas.”

Tidak sekejap mata masuk di dalam otak kaum itu, bahwa “bekerja” itu tidak hanya berarti mendirikan barang-barang yang boleh dilihat dan diraba saja, yakni barang-barang yang materiil. Tidak sekejap mata kaum itu mengerti bahwa perkataan “mendirikan” itu juga boleh dipakai untuk barang yang abstrak, yakni yang juga dapat berarti mendirikan semangat, mendirikan keinsafan (kesadaran), mendirikan harapan, mendirikan ideologi, atau gedung kejiwaan yang atau artileri kejiwaan yang menurut sejarah-dunia akhirnya adalah artileri yang satu-satunya yang dapat menggugurkan sesuatu stelsel.”

*)Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta