sumber ilustrasi : dHeLya Zone – blogger

Oleh : Rihlana Ardhian Ghuvara*

 Solidaritas Bangsa Indonesia

Indonesia terkenal dengan negara yang heterogen, baik dari sisi budaya, bahasa, tradisi, etnis, dan masih banyak lagi, semua perbedaan itulah yang membuat Indonesia menjadi negara yang kuat. Dulu ketika Belanda datang untuk menjajah dan menguasai bumi Nusantara, penduduk di Indonesia berada di dalam keadaan yang sangat tersiksa.

Semua penduduk baik laki-laki atau perempuan, tua ataupun muda, semua merasakan hal yang serupa. Lalu mereka bersama-sama menyatukan tekad dan semangat untuk mengangkat bambu runcingnya masing-masing dan melawan para penjajah. Semangat inilah yang disebut dengan ‘solidaritas’ yang kemudian dapat menciptakan nasionalisme. Semangat ini muncul karena ada rasa senasib dan seperjuangan yang tumbuh dalam setiap hati warga Indonesia.

Dewasa ini, nilai solidaritas sosial bangsa ini dirasa sudah semakin memudar. Hal ini ditunjukkan dengan kurangnya rasa persatuan dan rasa kepedulian terhadap sesama. Sebagai contoh, sebut saja kegiatan gotong royong. Kegiatan gotong royong di lingkungan masyarakat bisa ditunjukkan dalam bentuk membersihkan lingkungan desa, memperbaiki jalan, dan masih banyak lagi macamnya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dulu saat penulis masih duduk di bangku SD, penulis sering menyaksikan warga beramai-ramai, saling bahu-membahu membersihkan kelurahannya masing-masing. Namun dewasa ini penulis sangat jarang menemukan kegiatan-kegiatan seperti ini lagi. Meski belum ada bukti atau data yang valid mengenai hal ini, penulis meyakini bahwa ada penurunan yang terjadi dalam kegiatan gotong royong, terutama di daerah perkotaan, ini juga menunjukkan bahwa nilai solidaritas sosial di masyarakat kita juga menurun.

Internet dan Media Sosial

Bisa jadi hal itu disebabkan oleh gaya hidup masyarakat yang dipengaruhi oleh teknologi dan informasi. Survei yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII) mengungkap bahwa lebih dari setengah penduduk Indonesia kini telah terhubung ke internet.

Survei yang dilakukan sepanjang 2016 itu menemukan bahwa 132,7 juta orang Indonesia telah terhubung ke internet. Adapun total penduduk Indonesia sendiri sebanyak 256,2 juta orang. Hal ini mengindikasikan kenaikan 51,8% dibandingkan jumlah pengguna internet pada 2014 lalu. Survei yang dilakukan APJII pada 2014 hanya ada 88 juta pengguna internet.

Disinyalir, mudahnya mendapatkan perangkat yang mendukung akses internet, menjadi penyebab utama kenaikan jumlah pengguna internet. Tak cukup di Internet, kita mengenal media sosial. Media sosial ini juga berkembang terus seiring berjalannya waktu. Tak cukup dengan facebook, kita dimanjakan dengan twitter, tak cukup lagi, kita diramaikan dengan instagram, telegram, bigo live, dan masih banyak lagi. Media sosial yang awalnya bertujuan untuk menyambung tali silaturahmi, berubah menjadi permainan gaya hidup yang semakin menuju ke arah individualis.

Bayangkan saja, 94,7% penduduk negeri ini membuka media sosial saat berselancar di dunia maya. Lalu berapa waktu kah yang dihabiskan untuk menunduk mengawasi jaring demi jaring media sosial, dibandingkan dengan berinteraksi secara nyata dengan keluarga, tetangga, atau saudara. Bahkan penulis temukan beberapa pengguna smartphone, ketika berkumpul dalam satu majelis, misalnya di kafe, food court atau warung, fokus menikmati konten internet dari pada berinteraksi dengan teman sesama majelis.

Tak dapat dipungkiri bahwa TI memberikan banyak manfaat, seperti mempermudah bisnis, komunikasi jarak jauh, efektifitas waktu, dan lain sebagainya. Namun, di sisi lain, penggunaan yang berlebihan telah membuat masyarakat kita lupa terhadap kultur sosial yang ada. Apalagi era ini, media sosial sering dipakai untuk hal-hal yang tidak baik, seperti saling mem-bully, ujaran kebencian, hoax, fitnah, penyebaran konten-konten radikal, dan pornogafi. Media sosial bahkan dapat mempermudah bisnis kotor sebagian orang dalam bahasa lama adalah prostitusi yang mangkal, kini tinggal klik dan chating sudah bisa booking, baik lawan jenis, maupun sesama jenis seperti yang terjadi di Bogor dan beberapa tempat lain.

Media sosial yang seharusnya bisa membuat suasana adem, malah menjadi panas karena tensi permusuhan. Maka terjadi disorientasi pengguna internet dari komunikasi dan informasi menjadi pusat pemusuhan. Lalu, kemanakah solidaritas dalam hal positif, yang dijunjung tinggi oleh bangsa ini sejak leluhur? Tentu ini pertanyaan yang akan sulit mendapatkan jawabannya.

Orang akan lebih bangga dengan smartphone baru, dari pada ia harus membantu sesama. Orang akan lebih merasa asyik berfoto yang menampilkan gaya hidup, kecantikan, ketampanan, bukan mengabadikan momen indah bersama orang-orang terkasih. Atau, malah lebih suka menyendiri berjam-jam di kamar sambil meringis-ringis sendiri menghadap ponsel pintarnya, dari pada ngobrol santai bareng keluarga atau kelaur sebentar semrawung bersama keluarga.

Lebih berbahaya lagi, pertengkaran, konflik lebih suka diselesaikan di kolom komen media sosial hingga debat kusir, daripada bertatap muka, duduk bersama untuk membicarakan solusi yang tepat dalam menyelesaikan masalah.

Budaya Solid di Pesantren

Nilai solidaritas itu amatlah penting dipahami dan dijalankan oleh segala elemen masyarakat. Apalagi di negara multikultural seperti Indonesia, solidaritas sangat dibutuhkan agar tercipta kehidupan bermasyarakat yang harmonis. Bayangkan saja jika dulu saat masa dijajah, nilai solidaritas tidak hadir menyertai para penduduk Indonesia, bisa saja sekarang bangsa ini masih berada dalam belenggu penjajahan, atau minimal tidak dapat merdeka menjadi negara yang berdaulat.

Dari sudut lain, ada sebuah komunitas kecil di berbagai daerah yang masih sangat menjunjung tinggi nilai solidaritas, bilik-bilik kecil itu adalah pesantren. Sejarah membuktikan bahwa pesantren telah menanamkan kebersamaan dan solidaritas dalam bersosial. Makan bersama, tidur bersama, bahkan di beberapa tempat masih mandi bersama di empang atau sungai. Bagaimana bisa hal itu terjadi? Pada umumnya para santri berasal dari berbagai daerah, mempunyai latar belakang yang berbeda-beda, didikan yang berbeda dan yang pasti jauh dari orang tua. Lingkungan heterogen yang sedemikian rupa itu memaksa santri harus survive dalam menjalani kehidupan. Yang tidak solid akan tersisihkan dengan sendirinya. Yang solid akan dikenal dan mempunyai banyak teman. Hal itu seperti menjadi kultur yang terus ditularkan secara turun temurun.

Bayangkan saja santri sebanyak itu menghadapi persoalan dan problematika pondok pesantren yang sama, mulai dari kangen orang tua, kiriman yang belum kunjung datang ditambah wejangan guru yang harus sering-sering tirakat, mirip seperti Indonesia zaman baheula saat dijajah, seluruh masyarakat hidup di bawah tekanan.

Rasa senasib dan seperjuangan pasti menyertai setiap santri, lalu muncullah nilai solidaritas yang ahirnya menancap hati mereka dan mendasari setiap tindak tanduk mereka dalam berinteraksi, baik dengan teman sesama, kepada senior, kepada junior, kepada kiai, guru, ustad, dan masyarakat sekitar. Kita akan menjumpai santri banyak melakukan hal yang dilakukan secara bersama-sama, mulai dari berangkat sekolah, makan, bermain, mengaji, belajar bahkan tidur pun dilakukan secara bergerombol di kamar-kamar.

Apalagi penggunaan media sosial dan internet, bahkan teknologi non internet juga dibatasi dan dikontrol oleh pengelola pesantren. Telepon genggam saja tidak boleh, bagaimana dapat menggunakan internet secara masif seperti mereka yang di luar pesantren? Pengaruh-pengaruh yang telah penulis paparkan di atas bisa diminimalisir sedemikian rupa dengan adanya peraturan-peraturan yang mengikat, tidak pandang bulu, anak pejabat, anak konglomerat, anak petani, anak pedagang, anak presiden pun akan tetap sama di mata peraturan. Dalam bahasa hukum adalah Equality Before The Law. Nilai inilah yang menjadikan pondok pesantren sebagai tempat yang indah dan penuh dengan kehidupan yang harmonis.

Pendidikan di Era Modernisasi

Perlu adanya pendidikan yang mengajarkan tentang solidaritas sejak tingkat dasar dalam proses pendidikan di negeri ini, baik formal maupun non formal. Pelajaran tentang kewarganegaraan dan penghayatan nilai-nilai budi luhur negara ini, dari leluhur maupun pembawaan dari agama. Pelajaran akhlak harus ditanamkan dalam setiap diri peserta didik, baik secara teori maupun praktik dengan teladan-teladan dan contoh-contoh yang baik.

Nilai-nilai kognitif tak perlu menjadi acuan utama, harus diseimbangkan dengan nilai-nilai karakter dan moral etika, sehingga anak dapat membedakan mana dia sebagai diri sendiri, mana dia sebagai bagian dari masyarakat sosial. Bisa saja, di sekolah-sekola diadakan kerja bakti, dalam bahasa pesantren adalah roan, baik di lingkungan sekolah, maupun sekitarnya. Budaya minta maaf, budaya minta tolong, dan beterima kasih juga harus diajarkan sejak dini. Kalau bisa menumbuhkan jiwa kompetitif dalam kejar mengejar angka kognitif, maka harusnya bisa menumbuhkan jiwa kompetitif pula dalam hal etika, moral, dan akhlak. Bukan kah hajat besar pendidikan di mana pun berada adalah untuk memanusiakan manusia?


*Siswa kelas XI SMA A. Wahid Hasyim Tebuireng Jombang.

Publisher : Munawara, MS