Oleh: Dimas Setyawan*
Pemberlakuan syariat Islam di Negara Indonesia seringkali mendapat kritik tajam dari berbagai kalangan, khususnya mengenai ragam budaya. Bagi pengiat budayawan, pemberlakuan syariat Islam yang terlalu kaku dapat menimbulkan potensi merusak nilai-nilai budaya yang telah diwariskan secara turun-menurun oleh nenek moyang. Pasalnya tindakan para pemuka agama (islam) khususnya masih sering ditemukan tidak menerima baik segala bentuk budaya yang dirasa bertentangan dengan agama.
Bila kita melihat dari sudut pandang lain, sejatinya agama adalah sesuatu hal yang bersifat absolut, maka kebenaran agama diterima dengan tiga hal; pertama, kepercayaan (al-yaqin), kedua, ketulusan (al-ikhlas) dan ketiga, kepasrahan (al-islam), sementara kebenaran dalam budaya diterima oleh pemahaman logika, kepatuhan, emosi, dan senantiasa berada dalam dinamika perubahan dari zaman ke zaman.
Agama Islam bukan hanya dapat dilihat sebagai realita sebuah agama belaka, melainkan juga sebagai realitas sejarah, budaya, dan peradaban, sebab Islam sebagai agama telah bergumul dengan rentang sejarah yang panjang. Sebagai agama, Islam diturunkan bukan dalam ruang yang kosong, tetapi dalam masyarakat yang berbudaya, memiliki tradisi, harapan-harapan, paradigma pemikiran dan budaya, konstruksi sosial dan sejarahnya sendiri.
Sebagai salah satu contoh ialah bahasa kitab suci agama, dalam hal ini ialah Al-Qur’an, adalah bahasa masyarakat, bahasa Arab. Bahkan dalam komposisinya bahasa Al-Qur’an tersusun dalam bentuk yang puitis disebutkan karena alasan i’jaz (inimitability) mengingat masyarakat Arab dahulu menempatkan kemampuan berpuisi seseorang pada status sosial yang tinggi atau bahkan tertinggi. Bahkan sampai kini pun puisi-puisi Arab kuno (disebut syi’ir/ al-jahili) masih terawat dengan sangat baik sebagai salah satu acuan realitas sastra Arab.
Dengan demikian, agama dan budaya adalah suatu realitas yang berbeda. Keduanya menempati ‘ruang’ sendiri-sendiri. Agama adalah kebenaran yang bersifat absolut dan permanen, sedangkan kebenaran dalam budaya bersifat relatif (nisbi), hipotesis (iftiradi) dan dinamik (yu allaq bi al-quwwa).
Jauh sebelum Al-Qur’an turun, umat manusia sudah berkreasi membangun pola hidupnya sendiri dan itulah budaya. Jadi budaya tidak lebih dari sebuah hasil kreasi hasil manusia itu sendiri.
Persoalannya adalah apakah budaya itu pasti baik atau apa pasti benar? Untuk dapat menilai apakah sebuah budaya dapat dikatakan benar atau tidak, baik dan tidak, maka dibutuhkan sebuah hakim pemutus yang berpacu dengan sebuah landasan kitab suci.
Lalu agama dengan kitab sucinya yang pada hal ini dibawa oleh para nabi memberi bimbingan sekaligus penilaian, yakni terdapat tiga pilihan antara lain;
Pertama, budaya yang notabenenya sebagai produk bumi itu, jika sudah cocok dengan kehendak kurikulum langit (agama) maka harus dilestarikan.
Kedua, budaya yang tidak sesuai dengan agam maka harus dikoreksi dan diganti. Ketiga, budaya yang kosong dan belum ada nilai-nilai agama, maka harus dapat diwarnai dengan nilai agama. Kemudian Al-Qur’an hadir sebagai penengah antar agama dan budaya, yang mana diharapkan agama dan budaya justru dapat berjalan bersamaan dalam membentuk tatanan kehidupan bermasyarakat. Sehingga agama dapat mengisi ruang kosong didalam budaya dan juga sebaliknya.
Salah satu contoh peranan penting agama dalam membela nilai-nilai kemanusiaan dapat dilihat dari sebuah kisah budaya masyarakat kaum jurhum yang sangat kental dengan tradisi korban anak manusia, maka agama yang diemban oleh Nabi Ibrahim As saat itu mengoreksi secara total, bahwa peribadatan tersebut terlalu mahal, dan tidak memiliki rasa manusiawi. Kemudian tradisi tersebut diganti dengan korban hewan ternak dan berlaku hingga kini. (Al-Shaffat:107)
Dari ayat tersebut, memberikan informasi kepada kita bahwa sejatinya agama hadir ditengah-tengah manusia, tidak selamanya menjadi sebuah produk tuhan yang kaku. Tetapi justru memberikan sebuah keniscayaan yang membawa pada kemaslahatan bersama, bahkan dapat memberikan ruang untuk menegakkan asa-asa hak asasi manusia.
*Mahasantri Mahad Aly Hasyim Asy’ari.