Pesantren Tebuireng Jombang

Oleh:Ulil Absor*

Proses transformasi global yang dipicu oleh kekuatan sains dan teknologi secara tidak langsung telah memengaruhi konstalasi teologis masyarakat yang kini cenderung mengabaikan etika dan tatanan sosial. Sehingga terjadilah krisis nilai pendidikan, kemandirian serta disorientasi dalam beragama dan bernegara  yang memberikan  kesan bahwa bangsa kita penuh dengan dunia kekerasan, kebodohan, pola hidup hedonis, imperialis serta nilai-nilai moral  yang mulai kabur.

Fakta tersebut membuktikan bahwa agama saat ini hanya sebatas formalitas, ibadah ritual hanya untuk menggugurkan identitas diri sebagai seorang yang beragama juga mencari ketenangan sesaat ketika dilanda musibah atau kerisauan hati yang tak terbantah.

Sejatinya, ibadah ritual  harus dibarengi dengan ibadah sosial. Jika tidak, ibadah keagamaan hanyalah amalan kering,  mekanis semata dan hanya  sebatas candu bagi masyarakat (religion as the opium of the people) sebagaimana yang telah yang dikatakan oleh Karl Mark. Lantas, apa artinya pendidikan buat kita, terlebih pendidikan agama yang jelas-jelas dikatakan sebagai wujud nyata  sebuah jalan untuk mencari kebaikan dan kebenaran?

Belajar dari Pesantren

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Secara umum, akumulasi tata nilai, sopan santun, moral, sosial dan spiritual  ada di pondok pesantren. Karena pada dasarnya lembaga yang dibangun dengan sistem mukim ini adalah untuk meneruskan risalah Nabi Muhammad SAW sekaligus melestarikan ajaran Islam. Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang telah melekat kuat dalam sejarah bangsa Indonesia. Pesantren juga menjadi penyumbang pemikiran yang konstruktif dengan berprinsip “ngewongke wong  (memanusiakan manusia) dalam membangun bangsa dengan keanekaragaman agama dan budayanya.

Di tengah terjadinya krisis nilai pendidikan, kepemimpinan, sosial, kemandirian serta disorientasi beragama justru, santri menjadi teladan kejujuran, kesederhanaan, kemandirian dan kepemimpinan dalam hidup berbangsa dan bernegara. Hal ini tak lain karena di pesantren tidak hanya menjadi tempat untuk menimba ilmu pengetahuan, melainkan juga dalam penanaman dan pembentukan karakter, nilai-nilai dan norma, nasionalisme juga akhlak mulia sebagaimana yang diajarkan oleh nabi Muhammad SAW.

Dalam kaitannya dengan pesantren, ada empat hal mendasar yang menjadi spirit pembangunan kesalehan sosial. Pertama, Ruh Al Tadayun adalah semangat beragama yang dipahami, didalami, dan diamalkan. Kedua, Ruh Al Wathoniyyah adalah semangat cinta tanah air. Ketiga, Ruh At Ta’addudiyah adalah semangat menghormati perbedaan. Keempat, Ruh Al Insaniyyah adalah semangat kemanusiaan.

Dari keempat dasar ini diharapkan mampu menjadi inspirasi dan keteladanan bagi generasi  muda  zaman now. Oleh karena itu, pendidikan ala pesantren harus tetap dipertahankan dan dikembangkan sebagai lembaga nomer wahid dalam membangun kesalehan sosial.

Komitmen KH. Hasyim Asy’ari

Dalam hal ini, Kiai Hasyim yang juga sebagai pendiri dan pengasuh Pesantren Tebuireng pertama, menegaskan bahwa selain sebagai lembaga yang membangun kesalehan sosial,  pesantren juga sebagai wadah untuk meningkatkan kualitas pemahaman agama yang bertujuan untuk mewujudkan kebajikan. Pesantren mempunyai keunikan tersendiri karena sebagai lembaga keagamaan yang  secara konsisten menerapkan visi keilmuan Islam dengan harapan mampu menguasai ilmu-ilmu agama secara komprehensif, seperti linguistik, sejarah, tafsir, logika, dan hukum. Dengan demikian akan mampu membentuk sebuah pemahaman yang memadukan antara dimensi teologis dan sosiologis.

Sebagai wujud dari dimensi teologis dan sosiologis, Kiai Hasyim menulis beberapa hal penting perihal moralitas yang harus dijadikan pedoman oleh santri. Seorang santri harus membersihkan hati dari segala keburukan, dengki, dan akhlak yang buruk. Seorang santri harus mempunyai niat yang tulus dalam mencari ilmu guna mendapatkan ridho Allah SWT, mencerahkan hati, menghiasai batin, dan mendekatkan diri kepada Tuhan, selanjutnya seorang santri juga harus mengisi masa mudanya dengan memperbanyak ilmu.

Dulu, ketika masih muda, Kiai Hasyim adalah seorang pelajar yang rajin, ulet, dan giat dalam mencari ilmu. Dalam proses pencariannya, kata Beliau, seorang santri harus terbiasa dengan segala keterbatasan serta senantiasa bersabar dalam setiap menghadapi cobaan. Imam syafi’i pernah mengatakan, orang yang mencari ilmu dengan penuh keglamoran, berlebih-lebihan maka tidak akan mendapatkan kesuksesan atau kemanfaatan. Sebaliknya, ilmu yang dicari dengan penuh pengendalian diri, keprihatinan, kesungguhan, dan ketaatan pada ulama, maka ia akan mendapati keberhasilan.  Dan itu terbukti dari semangat beliau ketika menuntut ilmu dari pesantren satu ke pesantren lain dengan penuh keikhlasan yang diyakini menjadi bekal yang paling baik untuk merenggut keberhasilan masa depan.

Kiai Hasyim  juga memberikan pendasaran terhadap upaya untuk menjaga keadaban publik. Salah satunya yang dijelaskan dalam kitab al Tibyan yang menjelaskan tentang larangan memutus tali silaturrahim, persaudaraan, dan persahabatan. Dengan menumbuhkan rasa persaudaraan, kasih sayang dan persahabatan/kekeluargaan dalam pertemuan di sebuah lembaga agama yaitu pesantren merupakan contoh kecil untuk mengawali pembentukan karakter sosial yang akan menciptakan sebuah nilai pendidikan, relijiusitas, sopan santun, kepedulian, moral, dan sosial.


*Pembina OPPM (Organisasi Pelajar Pondok Modern) di PP. Modern Assyafi’iyyah, Madiun.