Oleh: Al Fahrizal*

Di dunia ada banyak sekali agama, sehingga sangat sulit untuk menentukan jumlah pasti agama di dunia. Karena masih banyak penganut agama yang tidak akrab dengan doktrinnya sendiri dan dalam satu agama terdapat pula denominasi atau sektarian yang bermacam-macam. Contoh sederhananya, landasan teologi dan praktik peribadatan sekte sunni, syi’ah, salafi, dan lain-lain, masing-masing berbeda satu sama lain. Padahal, kesemuanya itu berada dalam satu atap yang sama, Islam.

Mengutip situs data demografis dunia, worldpopulationreview.com bahwa ada 8 populasi kepercayaan di dunia. Kristen, Islam, Hindu, Buddhisme, Agama Rakyat, Agama Lain[1], Atheis -secara urutan populasi terbesar. Di Indonesia sendiri terdapat enam agama yang resmi secara konstitusi: Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.

Tidak dapat dipungkiri bahwa agama itu ada banyak. Karena memang pada hakikatnya manusia diciptakan sebagai makhluk yang beragam, beragam etnis, suku, ras, agama, kebudayaan, adat, dan lain sebagainya. Hal ini sesuai dengan kalamNya di surat Al-Hujarat: 13.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Kenyataan akan banyaknya kepercayaan beragama merupakan sunnatullah, hukum alam yang pasti. Akan tetapi, majmuk tidak hanya dimaknai sebagai kaya akan keberagaman, di sisi lain keragaman juga menjadi masalah. Konflik antar perbedaan kepercayaan agama salah satunya. Maka, muncul satu paham untuk menyikapi konflik perbedaan tersebut, pluralisme.

Sejarah pluralisme muncul pada masa yang disebut masa pencerahan (enlightenment) Eropa, tepatnya pada abad 18 Masehi. Masa yang disebut sebagai titik permulaan bangkitnya gerakan pemikiran modern. Yaitu masa yang diwarnai dengan wacana-wacana baru pergolakan pemikiran manusia yang berorientasi pada superioritas akal (rasional). (Ahmad Zaki Nuhaiz, 2005: th)

Pluralisme berasal dari kata pluralis yang berarti jamak, lebih  dari  satu, atau pluralizing sama dengan jumlah yang menunjukkan lebih dari satu, atau lebih dari dua yang mempunyai dualis. Sedangkan pluralisme sama dengan keadaan atau paham dalam masyarakat yang majemuk bersangkutan dengan sistem sosial politiknya sebagai budaya yang berbeda-beda dalam satu masyarakat.[2]

Secara sederhana, pluralisme merupakan sebuah pemahaman keberagaman di masyarakat bertujuan untuk menciptakan kondisi sosial yang terbuka, menerima perbedaan, dan interaksi yang positif.

Beda cerita saat kata pluralisme disandingkan dengan agama, pluralisme beragama (religios pluralism). Inilah yang akan menjadi obrolan kita dalam tulisan ini, di mana lebih fokus lagi disorot pluralisme agama dalam pandangan Islam.

Pluralisme agama adalah sebuah atau cara pandang terhadap pluralitas agama yang paham ini memandang semua agama adalah sama atau setara dengan agama-agama lainnya.[3] Artinya, di Indonesia ada 6 agama yang diakui, maka antara Islam dan Kristen, Hindu, dan agama lainnya adalah sama. Sama dalam hal kebenarannya. Kristen sama benarnya dengan Hindu, atau Budha sama benarnya dengan Islam.

Dalam Islam sendiri, Allah Swt. menciptakan manusia dengan majmuk, pluralitas. Pluralitas adalah perbedaan dalam persoalan agama, etnik, budaya, atau lainnya. Maka dari itu hakikat penciptaan Ilahi itu sendiri adalah pluralitas. Pluralitas merupakan suatu keniscayaan, hukum alam yang tidak bisa ditentang. Fakta bahwa di dunia ada banyak sekali agama merupakan keniscayaan, pluralitas.

Namun saat Islam dipahami secara pluralisme adalah sebuah kecacatan beragama. Memandang bahwa Islam sama (dalam kebenarannya) seperti agama lainnya merupakan sifat kafir. Artinya Islam membenarkan peribadatan agama lain. Kasarnya, Islam membenarkan praktik kemusyrikan agama lain. Karena dalam Islam benar sudah bahwa Tuhan itu hanyalah Allah Swt dan Islam sebagai ajaran yang haq, tidak diperkenankan untuk melegitimasi, menyetujui, praktik penyembahan kepada selain Allah. Demikianlah yang tertera dalam surat yang masyhur di telinga kita.

قُلْ يٰٓاَيُّهَا الْكٰفِرُوْنَۙ (1) لَآ اَعْبُدُ مَا تَعْبُدُوْنَۙ (2) وَلَآ اَنْتُمْ عٰبِدُوْنَ مَآ اَعْبُدُۚ (3) وَلَآ اَنَا۠ عَابِدٌ مَّا عَبَدْتُّمْۙ (4) وَلَآ اَنْتُمْ عٰبِدُوْنَ مَآ اَعْبُدُۗ (5) لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ (6)

Katakanlah (Muhammad), “Wahai orang-orang kafir! (1) aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, (2) dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah, (3) dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah, (4) dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah. (5) Untukmu agamamu, dan untukku agamaku. (6) (QS. Al Kafirun: 1-6)

Beragama adalah berprinsip. Prinsip dalam berislam jelas bahwa tidak diperkenankan untuk mencari agama selain agama Islam. Karena tidak ada agama yang diterima kecuali agama Islam. Ini merupakan prinsip beragama, yang terpahat dalam Ali Imran ayat 85.

وَمَنْ يَّبْتَغِ غَيْرَ الْاِسْلَامِ دِيْنًا فَلَنْ يُّقْبَلَ مِنْهُۚ وَهُوَ فِى الْاٰخِرَةِ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ

Dan barangsiapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi.

Maka, pluralisme yang menghendaki bahwa semua agama itu sama merupakan paham yang tidak benar. Agama memang plural, karena hakikat penciptaan manusia adalah pluralitas, namun pluralitas agama tidak dipahami dengan pluralisme, karena pluralisme agama tidak dibenarkan dalam Islam. (Fatwa MUI no. 7 tahun 2005).


[1] Terdapat di beberapa negara, agama tradisional Tiongkok, termasuk Konfusianisme dan Taoisme, dipraktikkan

[2] Frithjof Schuon, The Preneal of Fhilosofi Muslim (Bandung: Mizan, 1993),76

[3] Ahmad Khaerurrozikin, Problem Sosiologis Pluralisme Agama di Indonesia, Kalimah (2015), Vol. 13, No. 1, hlm 88.


*Mahasantri Mahad Aly Haysim Asy’ari.