(Sumber: mokzha.blogspot.com)
(Sumber foto: mokzha.blogspot.com)

Oleh: Uswatun Hasanah*

Bayu masih tertidur pulas di kamarnya. Bantal-bantal masih berserakan tak tahu arah tujuan. Dengkurannya cukup untuk mengusik cuitan burung-burung yang harusnya bertengger di ranting-ranting pohon depan kamarnya. Tak kalah heboh, entah apa yang membuatnya menjadi demikian, setelah bangun, Ia bahkan tak pernah melirik kekacauan yang ia buat di kamarnya itu sedikitpun, untuk diperbaiki.

“Bayu sudah siang nak, ayo bangun,” teriak ibu dari dapur. Bayu adalah anak semata wayang ia tinggal bersama ibunya, ayahnya sudah lama merantau dan tak kunjung datang. “Sudah ibu siapkan sarapan paginya, ibu tunggu di meja makan,” teriak ibu lagi, dengan nada semakin tinggi. Mungkin bukan karena marah, lebih karena Bayu molornya tak bisa diukur dengan ukuran manusia. Tak lama, suara hentakan kaki dari atas melewati tangga. Bayu melangkahkan kaki menuju meja makan dengan malas. Ia duduk di kursi depan Ibunya.

“Bu, ayah kapan pulang?,” tanyanya dengan mata masih menahan kantuk.

Ibunya tersenyum dan menjawab, “Sudah, makan dulu saja”. Bayu memasang wajah malas dan hanya memainkan sendok makan di atas piring. “Bu sudah tujuh tahun ayah gak pulang-pulang. Bayu aja nggak pernah liat ayah secara langsung, emang ayah sesibuk itu ya Bu?,” tanya anak yang masih lugu itu.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Do’akan ayah saja semoga pekerjaannya lancar Bayu harus belajar yang benar,” Ibu tersenyum sambil mengelus kepala putra tunggalnya dengan sentuhan alami ibu kepada anaknya.

Usia Bayu baru menginjak tujuh tahun. Ia duduk di bangku kelas 2 Sekolah Dasar. Bayu anak yang cerdas, ia sering mengikuti berbagai kompetisi dan tak jarang mendapatkan juara. Saking cerdasnya diusianya yang dini, ia bahkan sudah bisa membaca dan berhitung dengan rumus yang seharusnya dipelajari siswa kelas 3 atau 5 SD. Tak ayal, ihwal kecerdasannya, sering menjadi obrolan ibu-ibu wali murid yang biasa menunggu sang buah hati pulang di bawah pohon juwet samping sekolah.

#######

“Bayu, ini ada surat dari ayah, ayah akan pulang satu bulan lagi,” ucap ibu dengah wajah setengah terharu, sampai-sampai lupa menyodorkan cincangan bawang yang tertukar dengan makan siang Bayu.

“Asik ayah pulang, Bayu pengen beli mainan baru ya, Bu,” Ibu hanya memeluk Bayu dan tersenyum.

“Yaudah Bu Bayu sekolah dulu ya. Assalamualaikum!”.

“Waalaikumsalam, hati-hati di jalan nak,” ucap Ibu dengan lambaian tangan. Entah sang ibu tiba-tiba melepas kepergian Bayu ke sekolah seperti ada yang tertinggal, entah itu pa.

“Oke, Bu!” teriak Bayu sambil mengacungkan jempol dan berlari-lari kecil berangkat ke Sekolah.

Tak membutuhkan waktu lama, Bayu sudah sampai di depan gerbang sekolahnya. Saat hendak menyebrang jalan, sebuah sedan tengah melaju dengan kecepatan tinggi menuju arah Bayu.

“Bayu Awas!!,” teriak Anisa teman sekelas Bayu yang kebetulan melihat mobil tersebut. “Brakk!!” badan Bayu terlepar ke sisi jalan. Kepalanya mengeluarkan banyak darah dan bagian wajah mengenai batu di tepi jalan. Mobil yang menabrak Bayu tak sama sekali berhenti. Bahkan berjalan pelan sebentar, lalu menarik gas mobil sekencang-kencangnya. Bayu tak sadarkan diri.

######

“Dengan Ibu Arini?,” seorang polisi menghubungi ibu Bayu. Entah, sepertinya perasaannya semakin tidak menentu.

“Benar, dengan Saya sendiri”.

“Anak ibu sekarang dalam keadaan kritis, mohon Ibu segera datang ke rumah sakit Citra Kusuma.”

“Prak!!” telepon terjatuh. Sebentar ia tersungkur, tetapi langsung bangkit. Kecepatan respon seorang ibu ketika sang putra mengalami hal yang tak pernah ia inginkan. Ibu langsung menuju rumah sakit.

Sesampainya di rumah sakit, sudah ada Bu Heni kepala sekolah Bayu dan Anisa tampak cemas menunggu perkembangan keadaan Bayu. Ibu Bayu tak kuasa menahan tangis saat melihat putra semata wayangnya tak berdaya di ruangan sana. Ya, dari balik kaca, ia dapat melihat anaknya tergeletak lemah dengan infuse di tangan kanannya, dan masker nebulizer yang menutupi hidungnya mengalirkan oksigen dari tabung. Dari luar, dzikir dan doa ia ucapkan seperti dukun keok saat menyerang lawan.

Setelah setengah jam menunggu, dokter keluar dari ruangan Bayu. “Dokter bagaimana keadaan anak Saya?,” tangan mengepal, menarik-narik rok, dan sesekali mengusap air mata.

“Maaf, Ibu bisa ikut ke ruangan saya. Mari Bu,” ajak dr. Hendra. Ruangan itu tampak kecil rapi dengan tatanan alat-alat kedokteran yang ia tidak paham namanya. Ibu menunggu dr. Hendra berbicara. “Begini, Bu……,” kalimat dr. Hendra terputus, lalu melanjutkan, “Bayu mengalami luka parah pada bagian matanya. Kedua matanya sudah tidak bisa berfungsi. Kami harus melakukan operasi sebelum terlambat. Tapi kami harus menemukan donor mata yang pas”. Hati Ibu Bayu bagaikan tersambar petir mendengar penjelasan dr. Hendra.

“Dok, apakan tidak ada cara lain?,” ucapnya berharap dr. Hendra bilang “ada”.

“Tidak ada Bu, itu satu-satunya cara. Jika tidak, maka Bayu akan buta untuk selamanya”. Ibu Bayu keluar ruangan tak sanggup menerima kenyataan pahit itu. “Tuhan, mengapa Kau tidak mengambil mata saya saja?,” isaknya berkali-kali. Sesekali ia pukuli keningnya, menyesal, kenapa ia tak mengantar anaknya sampai sekolah saja, toh rumah tidak jauh. Sesekali pula ia bantah gumamannya itu, “Ah, tidak ada yang harus disesali. Ini takdir Tuhan. Aku harus menemukan pendonor mata itu”. Optimistis itu mulai tumbuh, tatkala ia melihat sang buah hati dari balik kaca. Dokter masih belum memperbolehkan siapapun masuk, karena Bayu belum sadarkan diri.

####

Sudah lima hari Bayu tak sadarkan diri. Perjuangan Ibu Bayu terjawab. Ia sudah menemukan donor untuk Bayu. “Dok, Saya sudah menemukan donor untuk Bayu, mohon selematkan anak Saya,” harapannya semakin dekat.

“Kami akan berusaha semaksimal mungkin Bu. Serahkan semuanya pada Tuhan”. Dua jam lamanya proses oprasi. Dokter keluar. Tak seperti saat pertama Bayu di rumah sakit dulu. Kali dokter lebih sumringah. “Alhamdulillah Bayu selamat. Berterima kasihlah, Bu pada pendonornya. Bayu nanti suatu saat, juga harus tahu,” ungkap dokter Hendra. Senyum Ibu Bayu mulai merekah, seperti mawar di taman tetangga. Maklum rumahnya tak seluas rumah tetangga yang bisa ditanami berbagai bebungahan.

Setelah 3 hari, kondisi bayu sudah membaik dan sudah sadar. “Bu, Bayu gak kenapa-napa kan? Kok mata Bayu diperban segala?,” tanya Bayu keheranan.

“Bayu nggak apa-apa kok. Mata Bayu Cuma terkena luka. Bentar lagi juga sembuh kok,” kata Ibu menenangkan Bayu.

Hari ketiga setelah operasi, dr. Hendra membuka perban mata Bayu. “Coba buka mata Bayu pelan-pelan!” pinta dokter.

“Tuh kan Bayu nggak apa-apa. Bu kita pulang sekarang ya. Bayu bosan di sini,” Bayu merengek. Ibu bayu menyelesaikan segala administrasi sebelum akhirnya mambawa Bayu pulang ke rumah.

######

Satu bulan telah berlalu, Bayu tak sabar karena Ayahnya sebentar lagi akan datang. Bayu mencoret tanggal 7 April sebagai pengingat kedatangan Sang Ayah. Hari yang tunggu sudah dating, Ayah belum juga datang.

“Bu katanya tanggal tujuh, Ayah pulang? Tapi mana? Ini udah tanggal 8 tapi Ayah belum datang juga. Bayu benci Ayah. Bayu gak mau punya Ayah kaya dia,” ia semakin kesal. Bahkan, Bayu lari ke kamar, menutup pintu sekencang-kencangnya. Ibu mencoba berbicara di luar daun pintu, sedang Bayu hanya melirik kosong kea rah jendela kamar, dengan tangis yang tak kunjung redah.

“Bayu dengar ibu, Bayu harus sabar. Ayah masih sibuk nak,” Ibu mencoba berbicara pelan, namun Bayu tak menjawabnya. Sejak saat itu, rasa bencinya pada Ayah tak kunjung padam. Malah semakin lama semakin ia melupakan nama “Ayah” dalam kamus kehidupannya. Ketika ditanya, dimana Ayah, ia hanya bisa menjawab, “Aku tak punya Ayah”.

#######

Kini Bayu telah menyelesaikan sarjananya. Ia ditemani ibunya saat wisuda. Bayu sudah bisa mandiri sejak masuk di perguruan tinggi dan kini Bayu diterima di perusahaan ternama di Indonesia. Sesampainya di rumah, Bayu merapikan pakaiannya. Ia harus tinggal di Jakarta karena tuntutan perusahannya. Saat mengambil pakaian di dalam lemari, tiba-tiba sepucuk kertas jatuh “Apaan nih? (sambil membukanya) Surat? Hah! Dari Ayah?,” batinnya.

“Nak, air hangatnya udah Ibu siapin. Mandi sana! Badan anak Ibu yang udah gede itu, bau banget,” teriak ibu dari lantai satu. Tak kunjug menerima jawaban, Ibu penasaran, apa yang dilakukan Bayu. Sesampainya di depan pintu kamar, bilik-bilik jantungnya berdetak kencang, Bayu memegang secarik kertas usang berwarna kecoklatan menunjukkan keartefakkannya. Bayu meneteskan mata, sedang Ibu perlahan mendekat.

“Nak, tolong baca surat itu dengan keras, agar kamu bisa memahami apa yang selama ini ayah lakukan. Maaf Ibu harus menyembunyikannya, karena Ayah yang meminta. Baca Nak! Baca dengan keras! Tak ada Ayah yang sesempurna itu di dunia ini, seolah begitu Nak!,”

Dengan berkaca-kaca dan tampak usahnya sia-sia mengeraskan suara, toh tangisnya menghalangi. Namun, ia tetap berusaha membacanya.

“Arini.. sebelum aku benar-benar meninggalkan dunia ini, aku mohon maaf karena belum bisa jadi ayah yang baik untuk Bayu. Masa depan Bayu masih panjang. Jangan sampai karena kebutaannya, masa depan itu hancur. Kutitipkan Bayu padamu. Jadikan dia orang besar. Sungguh aku ingin sekali berbicara dengannya. Tapi Tuhan berkata lain, mungkin ini pemberian terakhirku untuknya. Kuberikan sepasang mataku untuknya. Jangan berkata apapun tentang aku pada Bayu. Jangan sampai Bayu tahu bahwa aku telah tiada.

“Tidak-tidak.. Ibu dan Ayah bohong. Bagaimana donor mata, bisa membuat orang mati?,” tanyanya keheranan.

“Nak, dulu kamu tak hanya terancam buta. Namun benturan pada arah perutmu, membuat ginjalmu rusak satu. Itu butuh donor juga, Bayu. Ibu mencari siapa yang bisa mendonor selain Ayah. Ayah tetap nekat, mendonorkan satu ginjalnya padamu. Ia lebih memilih kamu hidup, dan ia mati, dari pada ia hidup melihat anak semata wayangnya tidak normal, bahkan terancam mati. Dua tahun Ayah bertahan dengan satu ginjal, tapi Ayah tak bisa bertahan lama, saat kamu kelas 5 Ayah yang tinggal di rumah temannya, menghembuskan nafas yang terakhir. Itu semua demi kamu,”

“Mengapa dari awal ibu tak berkata jujur bahwa ayah mendonorkan mata dan ginjalnya untuk Bayu? Biarkan saja Bayu buta Bu, biarkan Bayu hidup tanpa ginjal. Bayu rindu Ayah. Bayu sudah berburuk sangka pada ayah.”

Remaja berbadan atletis dan terbilang tinggi itu, mengingat semua ulah kebenciannya kepada Ayahnya. Bayu tak mampu menahan tangisnya. “Awalnya ibu tidak setuju nak, tapi ayahmu memaksa. Beliau tidak ingin melihatmu sedih”.

Di pusara sang Ayah Bayu berjanji, “Ayah, Bayu janji Bayu tidak akan pernah mengecewakan ayah. Bayu akan jadi orang besar. Bayu akan tunjukan pada dunia bahwa Bayu bisa menjadi manusia yang bermanfaat kepada sesama. Sifat kerelaan berkorban, ketulusan hati sang Ayah akan menjadi teladannya dalam menjalani hidup, karena ada bagian kehidupannya yang ia “rampas” dari sang Ayah. Superhero yang pernah dan akan selalu ia rindukan itu, seperti menjelma dalam mata dan ginjalnya.

“Ayah, izinkan Bayu menggunakan matamu, melihat bunga-bunga merekah di taman-taman tetangga, di pasar-pasar desa, di pelacuran-pelacuran wanita malam, dan kampung-kampung kumuh pinggir kota”

“Ayah, izinkan Bayu menggunakan matamu, menatap air mata kepedihan, berubah menjadi tatapan mantab menatab masa depan”

“Ayah, mata ini matamu, suwaktu-waktu lewat tuhan, Ayah ingin ambil lagi, maka ambillah, dengan itu, Bayu dapat bertemu Ayah”

“Ayah, lihatlah anakmu sudah tak semungil dulu terakhir engkau timang, sebelum engkau melesat jauh, tak pernah terlihat lagi. Lihatlah istrimu, Ibu, akan ku rekahkan apa yang dulu belum Ayah rekahkan. Aku penerusmu, bukan penggantimu”


*Santri Pondok Putri Tebuireng, siswa SMA A. Wahid Hasyim Tebuireng, dan masih belajar menulis di Komunitas Penulis Muda Tebuireng, Sanggar Kepoedang.