Sebuah ilustrasi pemakaman. (sumber: sketsanusatara)

Mbah Uyut mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit, meramal nasib seseorang, sampai bisa berkomunikasi dengan makhluk gaib. Tidak hanya itu, pada suatu hari ada yang menyaksikan Mbah Uyut berbicara dengan seekor ular yang hendak mematuknya.

Semasa hidupnya, konon Mbah Uyut memiliki kesaktian yang luar biasa. Di antara kesaktiannya dia dapat menyebur, hingga ular tersebut pergi setelah bercakap-cakap dengan Mbah Uyut. Selain bahasa ular, bahasa binatang lain Mbah Uyut menguasai juga, kadang setiap hari Mbah Uyut ketahuan sering bercakap-cakap dengan semut, ulat, cicak, dan binatang lain di sekitarnya.

Kesaktian Mbah Uyut dikenal luas sampai ke luar kampung sehingga banyak orang yang datang ke rumah Mbah Uyut. Macam-macam orang yang datang mulai dari para pegawai, pengusaha, rakyat jelata, sampai para pejabat tinggi di kota besar. Persoalan mereka juga beraneka macam. Pejabat yang ingin naik pangkat, pengusaha yang ingin sukses, pegawai yang ingin disayangi bos, sampai pada masalah rumah tangga pun disampaikan kepada Mbah Uyut.

“Apa pun masalah Anda, Mbah Uyut solusinya,” begitulah tulisan yang dipampang besar-besar pada gapura Desa Karangsambung. Akibat banyaknya para pendatang yang ingin bertemu Mbah Uyut, kehidupan warga desa kecipratan berkahnya juga. Banyak warga yang buka warung kecil-kecilan, menyediakan makanan dan minuman sampai pada usaha jasa penyewaan tempat istirahat dan berbagai keperluan lainnya.

Cerita kesaktian Mbah Uyut seringkali kami dengar dari para tetua desa sampai guru di sekolah dan surau. Dia menjadi teladan yang harus diikuti dan panutan yang harus dihormati. Mbah Uyut sudah lama wafat, makamnya terletak di ujung kampung. Makam Mbah Uyut berada di bawah pohon beringin tua yang besar. Konon, pohon itu ditanam oleh buyutnya Mbah Uyut. Usianya sudah ratusan tahun. Makam Mbah Uyut terlihat sangat berbeda dibandingkan dengan makam lain di kompleks pemakaman Sirnaraga tersebut. Makam Mbah Uyut dikelilingi pagar besi dan dibuatkan taman bebungaan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Makam Mbah Uyut menjadi satu-satunya makam di bawah pohon beringin yang diberi cungkup. Cungkup ini difungsikan sebagai tempat para peziarah yang datang dari berbagai penjuru kampung. Di sekeliling cungkup makam dipasang keramik putih. Jirat makam pun diberi keramik senada dengan kelambu berwarna hijau yang menutupi jirat tersebut. Adapun nisan makam terbuat dari batu pualam yang indah dengan tulisan Arab yang konon tulisannya bukan dari bahasa Arab melainkan berbahasa Yunani. Tidak ada yang memahami tulisan itu. Tapi bagi warga desa hal itu tidaklah penting. Bagi mereka yang penting kekeramatan makam Mbah Uyut. Itu yang penting.

Kakek, yang mengaku sebagai generasi ketujuh Mbah Uyut, menjadi juru kunci makam keramat itu. Kakek jugalah yang selalu merawat makam, membersihkan cungkup, mengepel lantainya, dan memberikan wewangian, bebungaan, dan tentu saja sesaji serta dupa di makam tersebut “Kewajiban sebagai keturunan Mbah Uyut” ujarnya.

Kakek sangat disegani oleh para penduduk kampung. Sangat dihormati. Kakek bisa mengobati orang sakit. Dia memiliki kesaktian juga. Sebagai keturunan Mbah Uyut, tentu kesaktian dan kemuliaannya juga menurun kepada Kakek, walaupun kekuatannya berkurang 70 persen karena keturunan ketujuh. Begitu kira-kira yang diperbincangkan orang kampung tentang Mbah Uyut dan Kakek.

Aneh memang, orang-orang kampung tidak mengetahui keluarga Kakek. Mereka bilang banyak anak dan keturunan Mbah Uyut pindah kampung, ada juga yang mengatakan karena sesuatu peristiwa yang di luar nalar, keturunan Mbah Uyut sampai generasi keenam mengalami moksa. Ada juga rumor bahwa keturunan Mbah Uyut ditangkap penjajah dan diasingkan ke negeri antah berantah.

Banyak dongeng yang menyelimuti keluarga dan keturunan Mbah Uyut. Sekali lagi semua orang tidak peduli. Bagi mereka cukuplah dengan keramatnya makam Mbah Uyut dan banyaknya orang yang datang mengharap berkah atasnya itu sudah cukup karena dengan itu kehidupan ekonomi berputar. Mereka tidak memikirkan hal lain di luar itu. Sekali lagi tidak peduli dan tidak penting.

Kakek sebagai turunan Mbah Uyut generasi ketujuh memiliki kewajiban untuk melestarikan ajaran dan teladan dari Mbah Uyut. Penduduk kampung harus mengikuti tradisi leluhur, yakni menghormati Mbah Uyut sebagai pendiri kampung dan orang yang sangat berjasa untuk kampung. Kakek sangat bersemangat ketika ada orang yang ingin mengetahui sejarah Kampung Karangsambung ini. Muka Kakek sangat berbinar, bersemangat, dan berapi-api ketika menceritakan leluhurnya tersebut, Mbah Uyut.

Suatu hari di musim kemarau yang panjang, warga kampung dikejutkan dengan kedatangan Pak Darma, lelaki kaya dari kota yang sedang mencari makam leluhurnya. Pak Darma sebetulnya adalah warga kampung Karangsambung juga. Hanya saja, setelah ayahnya meninggal, Pak Darma dibawa oleh ibunya ke tempat asal ibunya dan lama tidak kembali. Pak Darma datang kembali ke kampung Karangsambung ini karena dia kehilangan sejarah keluarganya dan berharap mendapatkan pencerahan di kampung kelahirannya.

“Bapak mencari apa?” tanya Kakek yang sedang membersihkan pagar besi di makam Mbah Uyut.

“Apakah Kakek tahu di kompleks pemakaman ini ada makam dengan nama Durmadil,” ujar Pak Darma kepada Kakek. Sejenak Kakek mengernyitkan dahi, tanda berpikir keras. Selama dia menjadi juru kunci makam Mbah Uyut, tidak pernah mendengar makam dengan nama Durmadil.

“Kalau boleh tahu, siapakah Durmadil itu?” ujar Kakek. Pak Darma menjelaskan bahwa dia bermimpi bertemu dengan Kakek Buyutnya, Pak Durmadil. Dalam mimpinya, Pak Darma melihat bahwa Kakek Buyutnya sangat menderita, dia bersedih, dia menangis, dia merana. Dalam mimpinya, Kakek Buyut Pak Darma meminta agar makamnya segera diketemukan dan dibersihkan. Begitu cerita Pak Darma kepada Kakek.

Menurut Pak Darma, leluhurnya adalah pendiri kampung Karangsambung, Pak Durmadil. Pak Darma mengetahui hal itu dari catatan manuskrip keluarga yang diwariskan secara turun-temurun. Pak Darma adalah generasi kedelapan dari keluarga Pak Durmadil. Darma bin Durma bin Eman bin Usup bin Aca bin Jaen bin Tosin bin Durmadil.

Sebelum memutuskan untuk kembali ke kampung Karangsambung ini, Pak Darma mencari sebanyak mungkin manuskrip dan cerita tentang leluhurnya itu. Hasilnya, dia sangat yakin kalau Kakek Buyutnya, Pak Durmadil dimakamkan di kompleks pemakaman Sirnaraga, kampung Karangsambung.

Cerita Pak Darma membuat Kakek sedikit jengkel karena yang dia tahu, bahwa Mbah Uyutlah pendiri kampung ini. Dia yakin tidak mungkin ada orang lain yang lebih hebat dan lebih sakti dari Mbah Uyut. Bukan. Bukan Pak Durmadil yang dimakamkan di bawah pohon beringin ini. Pasti Mbah Uyut yang bersemayam di dalam cungkup yang indah itu. Tidak mungkin orang lain.

Pikiran Kakek berlayar ke mana-mana. Dia melihat Pak Darma yang sangat tenang dan begitu yakin dengan leluhurnya membuat Kakek makin sebal melihatnya. Dalam pikiran Kakek tersebersit juga keraguan “Apakah benar Mbah Uyut itu leluhurnya? Apakah benar yang dimakamkan di bawah pohon beringin itu adalah Mbah Uyut leluhurnya? Bukankah leluhurnya juga hanya diketahuinya dari kata ‘konon’?” Pikiran-pikiran liar Kakek makin membebani tubuh ringkihnya.

Sementara itu, Kakek mengamati Pak Darma sedang melihat selembar kertas lusuh dengan tulisan Arab yang tidak asing bagi Kakek. “Ya, tulisan itu sama persis dengan yang terpahat di nisan makam Mbah Uyut.”

“Jangan-Jangan.”



Bandung, 1 Januari 2025


Penulis: Heri Isnaini