sumber ilustrasi: www.google.com

Oleh: Zulfikri*

Urwah Bin Zubair, lahir di Madinah, 644 M. Ayahnya bernama Zubair bin Awwam, salah satu sahabat Rasulullah SAW, dan orang pertama yang menghunus pedangnya dalam Islam serta termasuk salah satu diantara 10 orang yang dijamin masuk surga. Ibunya bernama Asma binti Abu Bakar as-Shidiq yang dijuluki dzatun nithaqain (pemilik dua ikat pinggang).

Urwah bin Zubair adalah salah satu generasi tabi’in yang merupakan tokoh ilmu Fikih di kota Madinah. Beliau mengkhatamkan seperempat Al-Quran setiap siang dengan membuka mushaf, lalu ketika shalat malam membaca ayat-ayat Al-Quran dengan hafalan. Rutinitas ini tak pernah beliau tinggalkan sejak masih remaja hingga beliau wafat, melainkan ada satu peristiwa yang terjadi padanya sehingga beliau harus melewatkan rutinitas tersebut.

Suatu ketika di zaman khalifah Al-Walid bin Abdul Malik, khalifah ke-6 Bani Umayyah. Allah menguji Urwah dengan cobaan yang tak seorang pun mampu melewatinya, kecuali hatinya telah penuh keimanan dan keyakinan. Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik mengundang Urwah ke Damaskus untuk menemuinya. Urwah memenuhi undangan tersebut dan mengajak putra tertuanya.

Khalifah pun menyambut Urwah bin Zubair dengan hangat. Namun saat di sana, Allah berkhendak lain. Ketika putra Urwah memasuki kendang kuda Walid untuk bermain dengan kuda-kuda yang ada di sana, salah satu kuda menendang putra Urwah hingga meninggal seketika. Belum berakhir kesedihan Urwah bin Zubair atas kepergian anaknya, salah satu kakinya terkena penyakit ganas seperti tumor yang dapat menjalar ke seluruh tubuhnya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Karena hal itu, Khalifah memanggil para dokter yang terbaik untuk menyembuhkan penyakit yang dialami oleh Urwah, tetapi para dokter sepakat bahwa tidak ada cara lain untuk menyembuhkannya selain dengan memotong kaki Urwah, sebelum penyakit itu menjalar ke seluruh tubuh Urwah, tidak ada lagi alasan untuk menolaknya.

Ketika dokter bedah datang membawa segala peralatan untuk memotong kakinya, dokter tersebut berkata pada urwah “Menurutku, engkau harus meminum sesuatu yang memabukkan supaya tidak merasa sakit ketika kaki dipotong.”

Urwah menolak, “Tidak! Itu tidak mungkin! aku tidak akan menggunakan sesuatu yang haram terhadap kesembuhan yang aku harapkan”. Dokter itu berkata lagi, “kalau begitu, aku akan membiusmu.”

Urwah berkata “Aku tidak ingin kalau ada satu dari anggota tubuhku yang diambil, sedangkan aku tidak merasakan sakitnya. Aku hanya mengharap pahala di sisi Allah atas hal ini.” Dokter bedah pun mulai memotong kaki Urwah, ketika sedang proses pembedahan, datanglah beberapa orang kepada Urwah. Urwah berkata “untuk apa mereka datang?”.

Ada yang menjawab “Mereka didatangkan untuk memegangmu, barangkali engkau merasakan sakit yang amat sangat, lalu menarik kaki dan  akhirnya akan membahayakan dirimu sendiri.”

Urwah menimpali “suruh mereka kembali, aku tidak membutuhkan mereka dan merasa cukup dengan dzikir dan tasbih yang aku ucapkan.” Kemudian dokter mendekatinya dan mulai memotong dagingnya dengan alat bedah, lalu sampai ke tulang, dokter menggunakan gergaji untuk memotongnya, sementara Urwah berkata, “La ilaha Illallah, wallahu Akbar”.

Dokter terus memotongnya, dan Urwah, bibirnya terus mengucapkan tahlil dan takbir hingga kaki Urwah terpotong, kemudian dipanaskan minyak dalam bejana besi. Kemudian kakinya dicelupkan ke dalamnya untuk menghentikan pendarahan dan menutup luka. Ketika itulah, Urwah pingsan sekian lama dan menghalanginya untuk membaca Al-Qur’an pada hari itu. Ketika sadar, Urwah meminta potongan kakinya lalu mengelus dan menimangnya seraya berkata:

“Sungguh, demi dzat yang mendorongku untuk mengajakmu berjalan di tengah malam menuju masjid, Dia Maha mengetahui bahwa aku tidak pernah sekali pun membuatmu berjalan kepada hal yang haram.”

 

*Mahasiswa Universitas Hasyim Asy’ari Jombang.

**Sumber tulisan: 101 Kisah Tabi’in (2006:681)