sumber ilustrasi: IDN Times

Oleh:Latifatul Fajriyah*

Hembusan angin malam kembali menerpa tubuhku hingga menusuk pori-pori kulit yang melebar. Sekalipun tubuhku sudah dibalut oleh kaus panjang dan jaket tebal yang kebesaran, tetap saja dingin itu menusukku hingga menggigil. Di penghujung malam yang semakin mencekam, diamku hadirkan sesosok insan yang semakin hari semakin menciptakan lukisan rindu disetiap inci dinding hatiku.

Apakabar dirimu malam ini sahabat? Adakah selembar rindu yang kau simpan untukku? Adakah kau masih menganggapku sebagai sahabatmu?

Fikiranku berlayar dan kemudian berlabuh didermaga kenangan beberapa bulan yang lalu. Kenangan dimana aku baru menyadari betapa berartinya seorang sahabat bagiku.

***

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Malam itu, ponselku berdering berulangkali menunjukkan bahwa ada panggilan masuk. Saat kulihat layarnya, nama Beni tertera di sana. Tanpa menunggu lama aku langsung menggeser tombol hijau. Dia adalah sahabatku yang baik, sangat humoris, pandai membawa suasana, tapi terkadang bersikap sangat menyebalkan. Kami mengobrol via telepon dengan topik yang bermacam-macam. Dari yang menegangkan, menyebalkan, sampai yang membuat perut sakit karena gelak tawa yang tiada henti. Beberapa jam kami habiskan bersama. Sampai aku lupa bahwa aku memiliki janji pada Reno untuk menelponnya pada jam 11.00 WIB. Sekarang waktu sudah menunjukkan pukul 12.34. Setelah pamit, aku langsung memutuskan sambungan. Tanpa basa-basi aku langsung menelpon Reno. Tak lama suara Reno mulai terdengar. Bukan sapaan “Assalamualaikum,” yang biasa dia ucapkan sebagai pembuka obrolan kami, melainkan kata-kata dingin yang membuatku merasa sangat bersalah. Ya, dia marah. Karena berulang kali Reno menelponku, suara oprator selalu memberi pemberitahuan yang sama, sibuk. Berkali-kali aku meminta maaf. Tapi dengan egoisnya dia berucap, “Jangan hubungi dia lagi.” Yang dimaksud dia adalah Beni.

Mulai saat itu aku berhenti menghubungi Beni. Berkali-kali dia menghubungiku lewat telepon maupun akun sosmed, tapi berkali-kali juga aku mangabaikannya. Sebenarnya aku merasa sangat bersalah. Tapi ini yang harus aku lakukan, mengorbankan sahabat untuk orang yang sangat aku cintai. Hanya sekali aku menanggapi telepon darinya. Saat dia bertanya “kenapa hilang kabar?”, aku hanya menjawab “aku ganti nomer. Nomer yang biasa kamu hubungin dipakek sepupuku.” Tentunya aku berbohong. Saat dia akan angkat bicara lagi, aku langsung memutuskan sambungan. Aku malas berbohong. Aku benci berbohong. Dari itu aku tak lagi merespon telepon maupun chat darinya.

Beberapa bulan pun berlalu tanpa adalagi canda tawa dan percekcokan dengan Beni. Sampai saat itu pun tiba. Saat di mana aku benci janji, cinta, Reno bahkan diriku sendiri. Malam itu aku menangis karena sudah seminggu Reno tak ada kabar. Aku mencoba untuk menelponnya, tapi selama aku mencoba selama itu itu juga aku harus kecewa karena tak ada tanggapan. Nomernya aktif. Begitu pun akun sosmednya selalu online. Tapi kenapa saat aku hubungi tak pernah ada tanggapan? Tangisku tak mampu untuk menguras rasa kecewa yang meluap di hatiku. Sampai akhirnya  aku memutuskan untuk mencurahkan semua isi hatiku di status akun whatsAppku. Aku merasa sedikit lega saat statusku berhasil terkirim. Aku memejamkan mata mencoba untuk tidur. Berharap tidurku mampu menghapus semua kekesalan, kekecewaan, dan kebencianku pada Reno.

Drrrtt…

Tiba-tiba ponselku berdering. Menunjukkan bahwa ada panggilan masuk. Nama Beni tertera di sana. Dengan ragu aku menerima panggilan itu. Tak ada kata yang keluar dari melutku saat berulang kali Beni memanggil namaku. Yang ada hanya suara sesenggukan yang semakin lama semakin menyesakkan dada. Beberapa saat setelahnya Beni tak lagi memanggil namaku. Dia ikut diam. Kami sama-sama diam. Yang terdengar hanya suara tangisku dan hembusan nafas Beni yang menenangkan di seberang sana. Lama kami diam. Sampai akhirnya aku merasa bosan dengan sikap diam itu.

“Maaf,” aku mencoba memecahkan keheningan.

“Aku ngerti. Tanpa kamu jelasin aku udah ngerti. Mungkin kamu cinta banget sama dia. Sampai kamu rela ngelupain sahabat kamu buat dia yang egois,” ujarnya pelan namun mencambuk hati.

“Kamu marah?” tanyaku disela-sela tangis yang tertahan.

“Nggak. Aku gak marah. Aku cuma pengen ngingetin, kalo dia emang bener-bener sayang, dia gak bakal ngedepanin egonya dengan nyuruh kamu buat nggak lagi berhubungan sama sahabat kamu. Di waktu kamu udah ngorbanin sahabat kamu, dia malah ninggalin kamu dengan cara dia yang terkesan pengecut. Bukan aku ngerendahin, tapi itu emang dia bangetkan?” Kata-kata Beni bukan hanya mencambuk, tapi juga menusukku secara langsung. Tangisku kembali pecah. Aku malu dengan Beni. Aku malu dengan diriku sendiri. Aku malu. Sangat malu.

Betapa bodohnya aku yang dengan mudah menuruti perintah Reno untuk menjauhi Beni yang masih saja baik padaku walau sudah kusakiti dengan mengabaikannya berulang kali. Tangisku semakin menjadi. Di seberang sana Beni terus-terusan menenangkanku. Tentu saja dengan lelucon yang sudah menjadi ciri khasnya. Ciri khas itu yang membuatku menjadi semakin merasa bersalah. Aku ingin berkata, tapi kata-kata itu tercekat ditenggorokan. Menjelma menjadi segumpal debu yang mencakar dan mengakar.

“Maaf,” dengan suara serak aku hanya bisa mengucapkan itu.

“Gak usah minta maaf. Yang salah bukan kamu kok. Udah, yang penting kamu jangan nangis lagi,” Selalu begitu. Kebaikannya yang membuatku kembali tercambuk.

“Jangan pernah berubah Ben,” pintaku pelan.

“Siapa yang berubah? Aku apa kamu? Tenang aja, aku gak bakal pernah berubah. Cuma satu yang aku pinta dari kamu, jangan pernah hilang kabar lagi,” ucap Beni tenang.

“Maaf,” Berulang kali kata-kata itu yang aku lontarkan. Mungkin Beni sudah bosan mendengarnya. Tapi hanya ini yang bisa aku ucapkan. Tulus. Sangat tulus. Malam itu karma membantingku keras hingga membuatku remuk dengan penyesalan yang menyadarkanku betapa berartinya sahabat dibanding dia yang sudah menjadi penghianat.

***

Kau takkan pernah kulupakan dalam ingat dan benakku

Karena kau adalah sahabat yang tersimpan rapi di dalam hidupku

Kau takkan pernah terlewatkan dalam setiap canda gurauku

Dalam setiap balutan rindu

Dan dalam setiap diam termanguku

Mampukah aku melupakanmu?

Mampukah aku melewatimu?

Walau hanya sedetik dalam ingat takkan kumampu melakukannya

Karena kau sahabat terbaik yang kupunya

Aku juga tak ingin cerita diantara kita ada yang tertinggal

Karena kau dan aku satu sahabat dan saudara yang takkan pernah terpisah

                                                                                                          Salam Manis Untuk Beni