sumber gambar: tribunnews.com

Oleh: Silmi Adawiya *

Amalan sunnah memang bisa memenuhi kekurangan pada amalan yang wajib. Allah menganjurkan kita untuk menyelesaikan kekurangan yang ada pada amalan yang wajib dengan amalan sunnahnya. Oleh karena itu kita sangat tidak menolak untuk meremehkan hal-hal yang sunnah. Atau sangat cukup hanya karena sudah menunaikan amalan wajib.

Namun demikian kita juga tidak boleh mengutamakan amalan sunnah dan mengabaikan yang wajib.  Bagaimanapun kondisinya, amalan yang wajib lebih utama dari amalan yang sunnah. Hal ini berlaku pada amalan ibadah apapun.

Lantas bagaimanakah jika terjadi fenomena yang mana seseorang terjerat gejala lebih semangat  dan berambisi mengerjakan ibadah sunnah daripada yang sunnah? Dalam kitab Syarah Al Hikam disebutkan:

من علامة اتباع الهوى المسارعة الى نوافل الخيرات والتكاسل عن القيام بالواجبات

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Jika kau lebih semangat mengerjakan yang sunnah daripada yang wajib, maka itu adalah pertanda bahwa yang kau cari adalah kepuasan nafsumu (ingin dipuji), bukan keridaan Tuhanmu.”

Jika yang ada adalah semangat mengerjakan amalan sunnah jauh lebih besar atau lebih bersemangat pada amalan yang wajib, maka  sesungguhnya ia sedang menunaikan kepuasan nafsu belaka, atau hanya dipuji oleh orang lain.

Sebab jika mengerjakan amalan hanya karena mengharap rida Allah, maka ia mengerti mana yang harus diutamakan dan mana yang pelengkap. Karena itulah ia justru mengedepankan yang wajib sebelum melengkapi amalannya dengan yang bernilai sunnah. Ia mengerjakan amalan wajib dan sunnah tidak berfokus pada penilaian dan pujian orang, sebab yang demikian tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan ridha Allah.

Yang demikian juga disebutkan dalam kitab Fathul Bari, bahwa siapa yang tersibukkan dengan yang wajib dari yang sunnah dialah orang yang patut diberi udzur. Sedangkan siapa yang tersibukkan dengan yang sunnah sehingga melalaikan yang wajib, maka dialah orang yang benar-benar tertipu.

Alangkah indahnya jika tetap memprioritaskan yang wajib daripada amalan yang sunnah. Tidak hanya indah, melainkan sikap yang mengutamakan dan tetap menjaga semangat saat mengerjakan amalan wajib adalah satu langkah cerdas agar kita tidak menjadi orang tertipu.

Jika setiap amalan yang kerjakan hanya ingin dipuji atau menunaikan kepuasan belaka, maka kelezatan iman tak akan pernah dirasakan dalam hidupnya, karena yang diharapkan bukanlah ridha Allah.

Padahal dengan mengharap ridha Allah itulah yang menyebabkan kelezatan iman akan bisa dirasakan. Dari ‘Abbas bin ‘Abdil Muththalib, bahwa dia telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

((ذَاقَ طَعْمَ الإِيمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالإِسْلامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُوْلاً)

“Akan merasakan kelezatan/kemanisan iman orang yang ridha kepada Allah  sebagai Rabbnya dan Islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad sebagai rasulnya.” (HR Muslim)

*Alumnus Unhasy dan Pondok Pesantren Walisongo Jombang, saat ini melanjutkan pendidikan tinggi di UIN Jakarta.