Sumber gambar: https://pernikahan.asia

Oleh: Ustadz Muhammad Idris*

Pernikahan merupakan salah satu ajaran syariat Islam. Dengan pernikahan akan terjadi kesinambungan kehidupan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pernikahan bukanlah hanya sebagai sarana penyaluran nafsu seksual semata, melainkan lebih bertujuan untuk menjalin kasih sayang, serta mewujudkan kedamaian dan ketentraman bagi yang melaksanakannya. Apabila kehidupan keluarga damai, terciptalah masyarakat yang aman dan tenteram.

Pernikahan dirasa sebagai momentum yang sakral dan istimewa, karena pada umumnya pernikahan hanya sekali seumur hidup. Hal ini menandakan bahwa pernikahan bersifat kekal tanpa mengenal batas waktu. Tak heran jika sebagian besar orang mengadakan syukuran yang megah untuk prosesi pernikahannya, bahkan rela mengeluarkan biaya yang cukup mahal untuk prosesi yang hanya berlangsung dalam hitungan jam. Melihat realitas tersebut, pernikahan dianggap hal yang sangat penting dan bersejarah dalam fase perkembangan hidup manusia.

Kian hari kesakralan pernikahan semakin terkikis. Realita sosial dewasa ini menampakkan kuatnya kecenderungan manusia pada aktivitas kerja ekonomis dalam mencari kesenangan materialistik-konsumtif. Salah satu bentuknya adalah nikah mut’ah. Kebutuhan biologis dan tuntutan ekonomi yang semakin sulit dan tinggi disalurkan lewat jalan pintas yakni perkawinan kontrak waktu.

Nikah Mut‘ah adalah seorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan memberikan sejumlah harta tertentu dalam waktu tertentu, pernikahan ini akan berakhir sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan tanpa talak serta tanpa kewajiban memberi nafkah atau tempat tinggal dan tanpa adanya saling mewarisi antara keduanya ketika meninggal sebelum berakhirnya masa nikah mut’ah itu, semisalnya saya mengawini kamu untuk masa dua minggu atau sebulan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Pada awal perjalanan Islam, nikah mut’ah memang dihalalkan, sebagaimana yang tercantum dalam hadis pada kitab Shahih Bukhari:

حَدَّثَنَا عَلِيٌّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ عَمْرٌو عَنْ الْحَسَنِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ وَسَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ قَالَا كُنَّا فِي جَيْشٍ فَأَتَانَا رَسُولُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّهُ قَدْ أُذِنَ لَكُمْ أَنْ تَسْتَمْتِعُوا فَاسْتَمْتِعُوا.

“Dari Jabir bin Abdillah dan Salamah bin ‘Akwa berkata: Pernah kami dalam sebuah peperangan, lalu datang kepada kami Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan berkata: Telah diizinkan bagi kalian nikah mut’ah maka sekarang mut’ahlah”. (HR. Bukhari)

Namun hukum ini telah dimansukh (dihapus) dengan larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk nikah mut’ah, sebagaimana hadis yang terdapat dalam kitab Sunan At-Tirmidzi

حدثنا ابن أبي عمر حدثنا سفيان عن الزهري عن عبد الله و الحسن ابني محمد بن علي عن أبيهما عن علي بن أبي طالب : أن النبي صلى الله عليه و سلم نهى عن متعة النساء وعن لحوم الحمر الأهلية زمن خيبر.

“Dari Ali bin abi Thalib berkata: Sesungguhnya Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang nikah mut’ah dan memakan daging himar jinak pada perang khaibar”.

Dan telah dijelaskan dalam kitab Tukfatu Al-Ahwadzi bahwa Rasulullah memperbolehkan pada permulaan Islam, karena terdapat sebab, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud, (yaitu mereka dalam keadaan perang dan tidak membawa istri-istri mereka, sehingga kemudian Rasulullah memberikan keringanan pada mereka untuk menikahi wanita dengan mahar pakaian sampai batas waktu tertentu) dan mereka juga dalam keadaan bepergian yang berat seperti berperang.

Namun Rasulullah tidak menyampaikan bahwa hal ini diperbolehkan ketika para sahabat berada di rumah mereka, sehingga Rasulullah melarang mereka dan kemudian meperbolehkannya lagi dalam waktu yang berbeda-beda, dan sampai pada akhirnya Rasulullah mengharamkan nikah ini dalam haji wada sampai hari kiamat. Namun menurut pendapat yang rajih bahwa nikah mut’ah diharamkan saat fathu Makkah (penaklukan kota Makkah) tahun 8 hijriyyah.

Menurut mayoritas ulama bahwa nikah mu’tah ini termasuk nikah fasidah (nikah yang rusak/tidak sah). Oleh karena itu para ulama sepakat bahwa nikah Mut’ah ini haram dilakukan.

قال في العياب كان الرجل يشارط المرأة شرطا على شئ إلى أجل معلوم ويعطيها ذلك فيستحل بذلك فرجها ثم يخلى سبيلها من غير تزويج ولا طلاق، وقيل في قوله تعالى (فما استمتعتم به منهن فآتوهن أجورهن فريضة) المراد نكاح المتعة، والآية محكمة والجمهور على تحريم نكاح المتعة

Redaksi tersebut menerangkan bahwa seorang lelaki mensyaratkan/mengadakan perjanjian kepada wanita atas sesuatu dengan waktu tempo yang diketahui oleh kedua pihak. Kemudian lelaki memberikan sesuatu (upah) yang nantinya halal bagi (lelaki) atas farjinya, yang kemudian ia melepas wanita itu tanpa pernikahan sebelumnya dan tidak ditalak.

Begitupun penafsiran ulama dalam firman Allah, “maka isteri-isteri yang telah kamu campuri/nikmati di antara mereka, berikanlah kepada mereka biaya kontrak/upah sebagai suatu kewajiban.” Mayoritas Ulama memandang bahwa hal tersebut adalah nikah mu’tah, yang haram hukumnya.   

Dengan demikian, para ulama bersepekat bahwa nikah Mut’ah itu haram, dan hampir tidak ada perselisihan pendapat. Hanya Syiah Imamiyah saja yang memperbolehkan nikah tersebut dengan syarat menyebutkan mahar dan masa nikahnya. Nikah seperti ini tidak sah dan telah dihapus kebolehannya oleh kesepakatan ulama yang berpegang pada Hadis Nabi. Apalagi praktik nikah mut’ah sekarang ini hanya dimaksudkan untuk menghalalkan prostisusi.

Oleh karena itu, nikah ini jelas dijadikan sebagai alat pemuas seksual saja oleh para lelaki berduit dan hidung belang, yang banyak disalahgunakan dan mengundang madlarat baik dalam keluarga maupun masyarakat.  Wallahu ‘alam bisshowab.

*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.