Oleh: Yuniar Indra*

Masyhur diketahui, bahwasanya Al-Quran dan Hadis adalah pedoman kehidupan bermasyarakat, ritual, dan sebagainya. Ada nilai-nilai di dalamnya yang menjadi tolok ukur ketika melakukan sesuatu. Tak lain bermaksud agar membuat peradaban yang maju.

Tujuan tertingginya adalah menemukan keesaan Allah yang Maha Agung. Maksud daripada diturunkannya Al Quran dan Hadis tidak bisa dicapai tanpa melalui manusia yang berbudi luhur. Dalam sebuah hadis:

يحمل هذا العلم من كل خلف عدوله ينفون عنه تحريف الغالين وتأويل الجاهلين وانتحال المبطلين

Ilmu ini harus dalam naungan orang-orang yang bijak. Sebagai benteng atas orang yang berlebihan, penafsiran sembrono, dan pemaknaan kacau. Sehingga Al Quran dan Hadis ini harus dibawakan oleh ahlinya. Kalau tidak begitu, maka tujuan dari kedua sumber utama umat muslim sulit tercapai.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Lantaran tiga orang dalam hadis tersebut: 1. Tahrif al-Ghalin (penyimpangan berlebihan yang sifatnya buruk), 2. Ta’wil al-Jahilin (pemaknaan tanpa keilmuan), 3. Intihal al-Mubthilin (pelintiran makna yang ngawur).

Mereka itulah manusia yang mengalami krisis pendidikan. Krisis pendidikan itulah yang menyebabkan banyak penyelewengan dan penyalahgunaan teks agama.

Seperti pada kasus pertama, penyimpangan berlebihan ini dapat ditemukan pada orang yang melakukan teror. Mereka melakukan pembacaan hadis-hadis jihad tanpa adanya pemahaman yang pas. Hingga memberikan persepsi bahwa cara untuk membela Islam adalah dengan mengebom dan sebagainya.

Kasus kedua pun sama, lagi-lagi ketika memaknai hadis dan Quran tanpa menggunakan perangkatnya. Maka yang terjadi adalah kerancuan-kerancuan pada hukum.

Misal, beberapa tahun lalu ada sekelompok yang menganggap bahwa daging anjing itu halal. Sebab mereka tidak menemukan redaksi keharaman anjing dalam al Quran. Yang ada hanya babi dan khamr.

Kasus ketiga, misalkan, pelintiran makna Quran dan hadis agar menggiring persepsi publik sama dengan tujuan politik. Katakanlah ada seorang kampanye mengatakan, “Allah itu Ahad (satu), silakan pilih nomor satu”.

Penggunaan makna hadis yang kurang pas tempatnya ini menyebabkan adanya perpecahan. Meski hanya perbedaan politik. Padahal, salah satu maksud hadis atau sunah Rasul adalah membuat peradaban manusia yang toleran, damai dan maju (Yusuf Qardhawi, 1993).

Namun karena adanya krisis pemikiran umat muslim, hingga memberikan efek buruk pada peradaban muslim.

Oleh karena itu, pembacaan Quran/Hadis secara utuh beserta tafsir, takhrij, dan syarhnya. Apalagi hadis itu berjumlah puluhan ribu, sehingga butuh pembacaan yang banyak agar menciptakan keseimbangan.

*Mahasantri Mahad Aly Hasyim Asy’ari Jombang.