Sumber foto: muhammadiyah.or.id

Oleh: Nurdiansyah*

Umat muslim pasti tidak asing dengan istilah kiblat. Ketika disebut ‘kiblat’, pikiran kita langsung tertuju kepada sebuah bangunan kubus yang berada persis di tengah Masjidil Haram di kota Makkah Saudi Arabia, bangunan tersebut dikenal dengan nama Ka’bah. Sebuah bangunan yang telah dibangun sejak zaman nabi Ibrahim a.s. dan disucikan oleh umat muslim dari dulu sampai sekarang.

Sebab betapa sucinya Ka’bah sebagai kiblat umat muslim ketika shalat dan menjadi pusat tawaf ketika haji, sampai-sampai nabi Muhammad SAW pernah berpesan andaikan kita sedang buang hajat maka kita dilarang untuk menghadap atau membelakangi arah kiblat, ini berlaku di mana pun posisi orang tersebut berada, baik di dalam kota Makkah ataupun di negeri yang sangat jauh.

Larangan nabi ini diriwayatkan oleh salah satu imam pemilik kutub as-Sittah, yaitu imam an-Nasai, seperti berikut teks hadisnya:

أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَنْصُورٍ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ أَبِي أَيُّوبَ

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ وَلَا تَسْتَدْبِرُوهَا لِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا

Artinya: Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Manshur dia berkata; telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Az Zuhri dari ‘Atha bin Yazid dari Abu Ayyub Al Anshari bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Jangan kalian menghadap kiblat dan jangan membelakanginya ketika buang air besar atau buang air kecil, tetapi menghadaplah ke timur atau barat.[1]

Jika hadis di atas dipahami secara lafadznya saja, maka pemahaman yang termaktub ‘jika kita akan buang hajat maka kita dilarang menghadap dan membelakangi dua arah saja, yaitu Utara dan Selatan. Kemudian diberi solusi agar menghadap ke arah Timur atau Barat’. Lantas apakah hadis ini relevan apabila diaplikasikan di Indonesia? Bagaimana caranya? Lalu fakta apa yang selama ini terjadi di lapangan?.

Jika dilihat dari dari hadis Rasulullah SAW tadi, para ulama mempunyai asumsi bahwa ketika nabi melarang untuk menghadap atau membelakangi kiblat, beliau sedang berada di daerah yang posisinya di sebelah Utara atau Selatan sehingga memerintahkan umat muslim apabila buang hajat untuk menghadap ke arah Timur atau Barat.

Hal ini selaras dengan pendapat KH Ali Musthafa Ya’qub, kalau nabi mengatakan hadis tadi ketika beliau berada di Madinah, dengan adanya qorinah hadis lain mengenai hal tersebut yaitu:

عَنْ وَاسِعِ بْنِ حَبَّانَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ

ارْتَقَيْتُ فَوْقَ بَيْتِ حَفْصَةَ فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْضِي حَاجَتَهُ مُسْتَدْبِرَ الْقِبْلَةِ مُسْتَقْبِلَ الشَّأْمِ

Artinya : dari Wasi’ bin Habban dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiallahu’anhuma berkata, “Aku memanjat ke atas rumah Hafshah maka aku lihat Nabi ﷺ sedang membuang hajat dengan membelakangi kiblat dan menghadap ke arah negeri Syam“.[2]

Dalam hadis ini ada sebuah qorinah yang menunjukkan bahwa hadis nabi yang pertama tadi diucapkan di Madinah, dikarenakan Hafsah, beliau adalah saudara perempuan Abdulloh bin Umar dan istri Rasulullah, Hafsah dinikahi Rasulullah setelah hijrah ke Madinah dan menetap di sana, maka dapat disimpulkan bahwa ketika mengatakan hadis tadi Rasulullah berada di Madinah yang letaknya di Utara Makkah.

Sekarang, jika hadis tadi diamalkan secara lafadz/teks saja di Indonesia maka akan ada sebuah masalah karena jika kita buang hajat menghadap Barat atau Timur yang jadi malah kita buang hajat menghadap atau membelakangi kiblat. Lantas bagaimana seharusnya kita memahami dan mengamalkan hadis ini? Dalam kitab hasyiyah Qolyubi wa Umairoh ada sebuah penjelasan mengenai hadis ini:

قَوْلُهُ: (وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا) أَيْ مِيلُوا عَنْ عَيْنِ الْكَعْبَةِ إلَى جِهَةِ الْمَشْرِقِ أَوْ إلَى جِهَةِ الْمَغْرِبِ، وَهُوَ خِطَابٌ خَاصٌّ بِمَنْ قِبْلَتُهُمْ الْجَنُوبُ كَأَهْلِ الْمَدِينَةِ الشَّرِيفَةِ أَوْ الشَّمَالُ كَأَهْلِ عَدَنٍ لِأَنَّ هَؤُلَاءِ لَا يَخْرُجُونَ عَنْ عَيْنِ الْقِبْلَةِ لَوْ شَرَّقُوا أَوْ غَرَّبُوا بِخِلَافِ نَحْوِ أَهْلِ مِصْرَ مِمَّنْ قِبْلَتُهُمْ الْمَشْرِقُ، أَوْ أَهْلِ السِّنْدِ مِمَّنْ قِبْلَتُهُمْ الْمَغْرِبُ،

[القليوبي ,حاشيتا قليوبي وعميرة ,1/44]

Dari ibarot diatas dapat disimpulkan bahwa perkataan Rasulullah وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا adalah perintah berpaling (ketika buang hajat) dari a’in kiblat menuju arah Timur atau Barat, dan perkataan ini ditujukan kepada orang yang kiblatnya di arah Selatan seperti penduduk Madinah atau utara seperti penduduk Adn, karena mereka apabila buang hajat menghadap Timur atau Barat tidak sampai menghadap atau membelakangi kiblat.

Hal ini berbeda dengan penduduk Mesir yang kiblatnya di Timur dan penduduk Sindi yang kiblatnya di Barat, yang apabila mereka mengamalkan hadis ini secara tekstual maka yang terjadi malah mereka membelakangi bahkan menghadap arah kiblat.

Dalam pandangan fikih, hadis pertama tadi hanya berlaku bagi mereka yang buang hajat di tanah lapang, bukan di semua tempat, misalnya dalam wc yang terdapat dalam sebuah bangunan. Lalu juga ada yang berpendapat boleh menghadap/membelakangi kiblat asalkan adanya sebuah penghalang yang jaraknya tidak lebih dari satu dziro’ dari orang yang sedang buang hajat.

Inilah pentingnya salah satu mengkontekstualkan hadis nabi, karena tidak semua hadis yang berasal dari nabi bisa diamalkan langsung. Karena sebuah hadis terkadang bisa diibaratkan sebagai barang mentah yang masih butuh pengolahan, dan juga terkadang nabi berbicara pada waktu itu sesuai kontekstual di mana nabi berada.

Dari para ulamalah kita dapat memahami hadis-hadis nabi seperti ini, tidak mungkin kita berdiri sendiri dalam memahami hadis nabi tanpa adanya bantuan referensi dari para ulama karena terlampau jauhnya zaman kita sekarang dengan zaman waktu nabi masih hidup.


[1] Sunan an-Nasai, Kitab Thaharah, Hadis No. 21 cet. DKI Ilmiah

[2] Sahih Bukhori, Kitab Wudhu, No. 148, cet. DKI Ilmiah


*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari