Tebuireng.online— Dalam rangka KONFERWIL (Konferensi Wilayah) XVIII PWNU Jatim, panitia mengadakan kajian Ahlussunnah wal Jama’ah atau yang disingkat menjadi Kiswah. Acara ini diadakan pada Sabtu (3/8/2024), yang bertempat di masjid Ulil Albab Tebuireng, Jombang.
Dalam kesempatan ini, disajikan beberapa tema kajian dengan pemateri yang berbeda. Salah satu dari tema dalam acara Kiswah ini adalah Ikhtisar Tafsir Hidayatul Qur’an yang disampaikan oleh Katib PBNU, yakni K.H. M. Afifudin Dimyati yang kerap disapa Kiai Awis.
Kiai Afifudin merupakan seorang ulama asli Indonesia yang menulis kitab tafsir Hidayatul Qur’an fi Tafsiril Qur’an bil Qur’an. Tafsir tersebut bahkan diterbitkan di Kairo, Mesir, pada akhir tahun 2023 dalam bahasa Arab.
Menurut penuturan Kiai Awis, alasan menulis kitab tafsir ini adalah karena kuatnya keinginan Kiai Awis sejak duduk di bangku Aliyah. Kiai Awis sangat menyukai kitab-kitab tafsir sejak dulu. Keinginan itulah yang membuat Kiai Awis tergerak untuk menulis kitab tafsir.
“Etika seorang mufassir diantaranya adalah mendahulukan orang yang lebih mampu dibidang tafsir,” terangnya. Dalam menulis kitab tafsir, Kiai Awis kerap merasa segan untuk memulai karena selalu terlintas di kepala bahwa di Indonesia ini masih banyak pakar-pakar tafsir.
Hingga saat Kiai Awis dilantik menjadi Katib PBNU di Balikpapan, PBNU membunyikan syiar ‘merawat jagad, membangun peradaban’. Hal itu membuat Kiai Awis merasa bahwa sudah waktunya untuk menulis kitab tafsir.
“Saya harus membatasi tafsir saya ini tafsir yang bisa dianggap akhir dari sebuah tafsir, tapi awal dari sebuah tafsir,” lanjutnya. Karena itulah Kiai Awis memulai dengan Tafsiril Qur’an bil Qur’an.
Kiai Awis menganggap bahwa belum ada model tafsir seperti yang ditulisnya. Ada beberapa tafsir yang menggunakan judul Qur’an bil Qur’an, seperti Adhwa’ul Bayan fi Idhoil Qur’an bil Qur’an.
Baca Juga: Semarak Konferwil XVIII, Kajian Aswaja Bersama Santri Tebuireng
“Tetapi tafsir ini (Hidayatul Qur’an fi Tafsiril Qur’an bil Qur’an) menggabungkan antara Tafsiril Qur’an bil Qur’an dengan Tafsir bil Ahkam, Tafsir Fiqih, jadi beda lagi,”
Kitab Adhwa’ul Bayan, menurut Kiai Awis, didalamnya tercampur dengan kajian-kajian ilmu Fiqih. Hal itu tidak mengherankan karena pengarangnya, Syaikh Al-Amin Asy-Syinqithi adalah ahli bidang Fiqih sehingga akan mempengaruhi tafsirnya. Sehingga Kiai Awis bertekad untuk memulai mengumpulkan tafsir yang hanya Qur’an bil Qur’an saja. Baik dari Al-Qur’an, hadits nabi, sahabat, tabi’ut tabi’in, atau pun dari perkataan para ulama tafsir.
“Ketika proses menulis kitab berjalan dengan mudah, kesimpulan saya adalah kitab ini memang sudah waktunya hadir di tengah-tengah umat,” ungkap Kiai Awis. Proses penulisan kitab Hidayatul Qur’an fi Tafsiril Qur’an bil Qur’an berjalan dengan sangat mudah. Karena kemudahan itu juga Kiai Awis tidak membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikan kitab ini dengan empat jilid.
Baca Juga: Mencetak Kader Ulama Bermutu dari Pesantren
“Tentu saja saya tidak menafsirkan semua ayat, tetapi saya menafsirkan sebagian besar ayat,” jelas Kiai Awis. Di dalam Al-Qur’an ada beberapa ayat yang tidak ada kaitannya dengan ayat lain. Ada ayat lain yang tidak ditemukan tafsirnya dari ayat lainnya, atau ayat yang berdiri sendiri seperti kisah nabi Yusuf.
Manfaat dari adanya tafsir Qur’an bil Qur’an, menurut Kiai Awis, akan sangat berguna dan menyenangkan bagi para penghafal Al-Quran atau bagi orang orang yang ingin mengerti makna dasar dari ayat Al-Qur’an. Orang-orang yang sudah menghafalkan Al-Qur’an akan tahu letak surat-surat didalamnya. Sehingga ketika membaca tafsir ini akan tersambung hafalannya dengan surat yang lain saat ayat yang dicarinya memiliki tafsir dari ayat-ayat yang lain.
“Inilah yang saya harapkan secara pribadi, yakni menjadi tafsir pertama yang mengikat perjalanan tafsir-tafsir saya berikutnya.”
Pewarta: Helfi