Tebuireng.online- Dalam rangkaian acara Konferwil XVIII PWNU Jawa Timur panitia juga menyelenggarakan acara kiswah (Kajian Islam Ahlusunnah wal Jamaah) yang digelar di masjid Ulul Albab (03/08/2024). Salah satu narasumber, Dr. KH. M. Wafiyul Ahdi, S.H., M.Pd.I. menjelaskan tema kaderisasi ulama melalui kurikulum pesantren.
Kiai Wafiyul Ahdi, wakil bendahara PWNU Jatim, menjelaskan bahwa menjadi ulama itu bisa dilihat dari dua aspek.
“Seorang alim ulama itu bisa kita lihat dari dua aspek; yakni kepribadian/ketakwaan orang tersebut, juga dari segi khazanah keilmuannya,” jelasnya.
Lebih lanjut, menurut hasil risetnya mengenai kurikulum pesantren yang ada di Indonesia, bahwasanya ada sekitar 50% dari hasil data nya di tahun 2021 yang menyatakan pesantren tersebut juga memiliki sekolah sendiri yang mengampu ilmu formal.
“Saya itu sudah menulis sebuah riset yang berhubungan dengan pesantren, dan dari sekian banyak pesantren yang saya teliti yang mempunyai sekolah sendiri itu ada 50% mulai SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA. Sedangkan yang fokus di turos ada 13.000 pesantren, ini data tahun 2021 dan jumlah santri yang belajar di pesantren ada 3 juta jiwa,” ujarnya.
Ia menambahkan, kebanyakan pesantren menjadi harapan banyak masyarakat akan mencetak kader ulama yang bermutu. Oleh karna itu, pesantren kini harus bisa mengikuti persaingan zaman, mulai dari perubahan kurikulum di setiap tahunnya.
“Kurikulum itu sebenarnya kepentingan pasar, ketika pesantren itu diharapkan oleh masyarakat bisa melahirkan ulama, berarti di pesantren harus ada seperti ini (ilmu formal), lulusan-lulusan pesantren harus bisa menjadi penengah hukum yang kuat, hingga bisa menjawab semua pertanyaan yang ada di masyarakat,” tegasnya.
Ia juga menegaskan, pesantren juga harus mau untuk mengubah gaya belajarnya tanpa meninggalkan budaya kepesantrenan seperti ngaji kitab kuning dan sebagainya.
“Harus bisa memodifikasi kurikulumnya, dan harus ada kultur yang dipertahankan, karena itu yang akan membentuk dan membangun kepribadian santri, madrasah di pesantren harus memberikan kecakapan sosial. Contohnya, pengabdian pada masyarakat tujuannya untuk membangun jiwa spritual para santri kepada masyarakat,” pungkasnya.
Untuk diketahui, seperti sekarang di Tebuireng contohnya, pondok pesantren yang berdiri sudah lama ini memiliki madrasah formal sendiri, mulai dari jenjang SLTP , SLTA, hingga perguruan tinggi.
Baca Juga: Semarak Konferwil XVIII, Kajian Aswaja Bersama Santri Tebuireng
Pewarta: Albi