ilustrasi: tebuirengonline/lutfan

Oleh: M. Minahul Asna*

Awal Mondok

Muhammad Hasyim Asy’ari merupakan sosok yang memiliki keinginan menambahkan ilmu pengetahuan dan meluaskan pandangan serta pengalaman hidup besar sekali yang sangat besar. Pemuda ini, yang sejak kecil sudah menunjukkan semangat progresif ingin mengetahui dunia di luar kampung dan di luar pesantrennya, ingin melihat keadaan dan perbedaan antar pondok yang terdapat di Jawa.

Perjalanan di Jawa pada waktu itu tidak semudah sekarang ini. Semuanya masih sederhana.  Sebagian besar dari hubungan lalu lintas, harus ditempuh dengan berjalan kaki, sehingga seseorang yang kurang kuat kemauannya dan keberanian, tidak akan mengerjakan perjalanan yang berat ini, ditambah cinta daerah dan kampung halaman pada waktu itu masih sangat besar.

Hal ini berlainan dengan Hasyim muda yang bersifat ingin tahu dan oleh karena itu ia ingin merantau.  Ia meminta izin kepada orangtuanya pergi menuntut ilmu pengetahuan ke tempat lain.  Orangtuanya tidak dapat menahan kehendak anaknya, begitu juga sanak saudara dan handai tolannya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Pada suatu pagi, berangkatlah Kiai Hasyim meninggalkan kampung halamannya.  Tujuannya yang tertentu sebenarnya belum ada.  Belum ia tetapkan di pesantren mana ia akan belajar.  Ia akan memilih dahulu, mana di antara pesantren itu yang sesuai dengan kehendaknya.  Oleh karena itu, dikunjungilah pesantren-pesantren yang terkenal pada waktu itu di Jawa Timur sebagai pusat perkembangan ilmu pengetahuan agama.

Mula-mula sekali dikunjunginya Pondok Pesantren Wonokojo, Probolinggo, kemudian ke Pelangitan, Terenggilis, dan tempat-tempat yang lain.  Rupanya belum menarik perhatiannya.  Lalu ia berangkat pula ke Madura, menyeberangi lautan untuk yang pertama kali.

Pada waktu itu umurnya baru 15 tahun.  Akhirnya, sampailah ia ke Pondok Siwalan Panji Sidoardjo, salah satu pesantren yang terkenal dekat Surabaya.  Apa karena letaknyakah, apa karena kecakapan guru-gurunya, apa karena di sana banyak sahabat mengenai ilmu pengetahuannyakah, alasan yang pasti tidak diketahui.  Namun yang jelas bahwa ia dapat menetap di sana lebih lama untuk meneruskan pelajarannya.

Memang seperti kata Arif Budiman, kejadian sesuatu itu tidak terletak dalam kehendak dan tangan manusia, terutama satu dari empat perkara yang selalu bertemu dalam kehidupan manusia, yaitu langkah, rezeki, pertemuan, dan maut. Keempat hal tersebut adalah dalam kehendak Allah semata-mata.

Bagaimanapun rancangan manusia, jika tidak dengan kehendak Tuhan, tidak akan terjadi.  Orang yang singkat pikirannya setiap kali menamakan kejadian yang tiba-tiba, itu kebetulan, tetapi orang yang beragama mengembalikan sebabnya itu kepada Tuhan yang telah menentukan pada sesuatu kejadian dalam kehidupan manusia.  Siapa dapat menyangka terlebih dahulu, bahwa Pondok Siwalan itu menjadi salah satu bagian yang penting dan bersejarah dalam kehidupan pemuda Hasyim.

Menikah untuk Pertama Kali

Pondok Siwalan ini dipimpin oleh Kiai Ya’kub, terkenal dengan nama Kiai Ya’kub Siwalan, salah seorang kiai yang terkenal luas ilmu pengetahuannya dan manis budi bahasanya.  Tatkala Kiai Hasyim datang di Siwalan dalam tahun 1307/1308 H (1891/1892 M) Kiai Ya’kub sudah memperoleh kesan bahwa santri baru itu adalah seorang anak luar biasa.  Laku dan perbuatannya menarik perhatian gurunya, ditambah pula dengan kecerdasan otaknya dalam menerima segala pelajaran.

Dengan takdir Tuhan datanglah cita-cita dalam hati gurunya, hendak mengawinkan anaknya, Khadijah, dengan dia.  Penawaran gurunya ini tidak ditolaknya, tidak saja karena dalam dunia pondok, penawaran itu adalah suatu kehormatan dan penghargaan besar terhadap santri, tetapi juga karena ia taat kepada keputusan gurunya, yang dianggap sebagai orangtuanya sendiri.

Memang pada waktu tawaran itu dikemukakan, hatinya agak ragu-ragu hendak memikul tanggung jawab berat itu, karena sebagai seorang pemuda progresif ia belum berniat hendak mengikat dirinya dengan kehidupan rumah tangga, karena hasratnya masih menyala-nyala hendak mengejar ilmu pengetahuan lebih dahulu.  Tetapi tatkala orangtuanya yang diminta nasihat dalam hal ini menyetujui kehendak Kiai Ya’kub, ia pun tunduk kepada keputusan kedua orangtuanya itu, orangtua ruhani dan orangtua jasmani, orangtua yang melahirkannya dan orangtua yang mendidiknya.

Pendapatnya lalu berubah: pernikahan tidak dapat mengubah cita-citanya, bahkan mungkin akan memberi bantuan batin dalam mencapai cita-citanya itu. Pernikahan dan usia tua bukanlah sebab-sebab yang dapat mematahkan cita-cita untuk belajar, apalagi sebagai seorang mahasiswa.

Bukankah Imam Mawardi pernah berkata bahwa ilmu itu tidak ada batasnya. Ia laksana lautan besar yang makin direnangi bukan bertambah sempit bahkan makin bertambah luas dan dalam.  Tidak ada tepinya dan tidak ada jangka lebar dan dalamnya? Bukankah Nabi kita pernah menyuruh mempelajari ilmu itu walau sampai ke liang kubur sekalipun?

Bahan pengajian ini menjadi sebab bagi Kiai Hasyim untuk tidak menolak kehormatan yang diberikan orangtua kepadanya.  Maka terjadilah pernikahan yang berbahagia itu dalam tahun 1308 H/1892 M. Pernikahan ini membawa berkah pula kepadanya, karena tidak berapa lama sesudah kawin itu, Kiai Hasyim dengan istrinya dan mertuanya pergi ke Makkah. Pada waktu pernikahan ini terjadi, Kiai Hasyim baru berumur 21 tahun.  Namanya sudah mulai terkenal sebagai kiai.

*Mahasantri Tebuireng.