Khutbah Ketawadhu’an Rasulullah saat Mi’raj
Oleh: KH. A. Musta’in Syafi’i*
إِنَّ الْحَمْدَلِلهِ، نَحْمَدُهُ وَ نَسْتَعِيْنُهُ وَ نَسْتَغْفِرُهُ، وَ نَعُوْذُ بِهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَ اَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا، أَمَّابَعْدُ
فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، اِتَّقُوْ اللهَ، اِتَّقُوْ اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ، أَعُوْذُبِالله مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
Salah satu yang menjadi ketertarikan dunia akademik terhadap agama Islam disebabkan oleh ajaran agamanya yang bisa dibuktikan. Sampai saat ini ada sekitar 400 ajaran Islam baik Al-Quran maupun hadis bisa dibuktikan secara ilmiah. Seperti yang terjadi dalam surah Al-Isra’ yang menerangkan perjalanan suci Hadraturrasul Muhammad SAW. Meskipun secara dasar al-Isra’ disebut di dalam surah Al-Isra’ dan Mi’raj disebut dalam surah terpisah yakni Al-Najm. Padahal itu satu rangkaian perjalanan. Surah Al-Isra’ ini diawali dengan tasbih,
سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ
Dan ditutup dengan tahmid,
وَقُلِ الْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ لَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَّلَمْ يَكُنْ لَّهٗ شَرِيْكٌ فِى الْمُلْكِ وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ وَلِيٌّ مِّنَ الذُّلِّ وَكَبِّرْهُ تَكْبِيْرًا
Keseimbangan redaksi ini ideal dengan surah sesudahnya, kalau al-Isra’ diawali dengan tasbih diakhiri dengan tahmid, surah setelahnya (Al-Kahfi) itu diawali dengan tahmid. Ada kesinambungan yang hebat.
Dalam surat Al-Isra, Allah menyebut Hadraturrasul Muhammad SAW dengan kedudukan alamiahnya sebagai ‘abd (hamba). Untuk itu, kita bisa memetik apa yang dapat mengantarkan Hadraturrasul sampai beraudiensi dengan Allah. Yang menembus perjalanan luar angkasa hingga melintasi 7 langit dan sidratul muntaha. Kalau dihitung matematis, perjalanan terjauh ke galaksi itu sekitat 35 juta tahun cahaya. Berarti butuh 245 juta tahun cahaya. Pulang-pergi membutuhkan waktu 490 tahun cahaya. Andaikata perjalanan itu dilakukan dengan kecepatan cahaya, maka perjalanan itu belum selesai.
Bahasa yang dipakai pada surah Isra’ itu memakai bahasa tasbih dan bentuknya masdar (subhan). Al-Quran menunjuk beberapa surah yang diawali dengan tasbih, semuanya adalah suprarasional. Entah itu memakai bentuk fi’il madhi (sabbaha lillah), fiil mudhori’ (yusabbihu lillahi) atau fill amr (sabbih al-mas robbika). Namun di surah Al-Isra’ memakai bentuk masdar yang ditambah Alif Nun (سُبْحٰنَ).
Perbedaannya, kalau tasbih menggunakan fi’il, maka unsur pemujaan itu harus ada makhluk. Ada keterkaitan pelaku tasbih. Tapi jika tasbih itu menggunakan bentuk masdar, maka pemujaan itu terlepas dari unsur kemakhlukan. Tidak peduli apakah ada makhluk atau tidak yang bertasbih kepada Allah, sama saja. Diri Tuhan tetap Maha Suci.
Kita bandingkan penggunaan kalimat tasbih di dalam Al-Quran. Pertama, Nabi Musa AS. Allah menyebut namanya ketika ada audiensi dengan Allah.
وَلَمَّا جَاۤءَ مُوسَىٰ لِمِیقَـٰتِنَا وَكَلَّمَهُۥ رَبُّهُۥ قَالَ رَبِّ أَرِنِیۤ أَنظُرۡ إِلَیۡكَۚ قَالَ لَن تَرَىٰنِی وَلَـٰكِنِ ٱنظُرۡ إِلَى ٱلۡجَبَلِ فَإِنِ ٱسۡتَقَرَّ مَكَانَهُۥ فَسَوۡفَ تَرَىٰنِیۚ فَلَمَّا تَجَلَّىٰ رَبُّهُۥ لِلۡجَبَلِ جَعَلَهُۥ دَكࣰّا وَخَرَّ مُوسَىٰ صَعِقࣰاۚ فَلَمَّاۤ أَفَاقَ قَالَ سُبۡحَـٰنَكَ تُبۡتُ إِلَیۡكَ وَأَنَا۠ أَوَّلُ ٱلۡمُؤۡمِنِینَ
Dan ketika Musa datang untuk (munajat) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, (Musa) berkata, “Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat Engkau.” (Allah) berfirman, “Engkau tidak akan (sanggup) melihat-Ku, namun lihatlah ke gunung itu, jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya engkau dapat melihat-Ku.” Maka ketika Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu,gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Setelah Musa sadar, dia berkata, “Mahasuci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku adalah orang yang pertama-tama beriman.” (Surat Al-A’raf: 143)
Di situ tertera bahwa audisi Allah dengan Musa ada campur tangan permohonan Musa agar Allah bertajalli di hadapannya. قَالَ رَبِّ أَرِنِیۤ أَنظُرۡ إِلَیۡكَۚ. Namun apa yang terjadi?. Musa jatuh pingsan tergeletak tak sadarkan diri. Kalau bahasa sekarang, Jangan coba-coba mendekati Tuhan dengan cara Musa, kalau tidak mau hardisk-mu jebol.
Bandingkan dengan peristiwa Mi’raj. Nabi Muhammad berdekat-dekat dengan Allah. Dan beliau berdialog, menerima intruksi, berbicara. Mengapa? Karena Hadraturrasul tidak karena permohonan. Nabi Muhammad sukses berdialog dengan Allah tidak dengan dirinya, tapi merupakan karunia Allah. Dirinya hilang, jabatan hilang, yang ada adalah sifat kehambaannya saja. Artinya orang yang punya ketawaduan tinggi, justru merekalah yang akan sukses nantinya.
بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي اْلقُرْآنِ الْعَظِيْم،وَنَفَعَنابه وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلأٓيَةِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْم،فتقَبَّلَ اللهُ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ إِنَّهُ تعالى جَوَّادٌ كَرِيْمٌ.البَرُّ الرَّؤُوْفُ الرَّحِيْمُ، و الحمد للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
*Mudir I Madrasatul Quran Tebuireng
Pentranskip: Yuniar Indra Yahya