Ilustrasi khitan perempuan. Sumber: rumahsunatan.com

Salah satu hal yang paling ditakuti oleh hampir seluruh kaum pria di masa kecilnya adalah sunat. Bukan apa-apa, zaman dulu sunat tidak secanggih sekarang. Dewasa ini, praktik-praktik sunat modern telah banyak menawarkan berbagai pelayanan berkualitas, fasilitas canggih, serta banyak keunggulan lainnya, agaknya menghadapi sunat tidak seseram-seram dulu.

Saya ingat sekali, bagaimana sunat atau khitan ini sangat-sangat sarat akan dongeng penderitaan di luar nalar. Dulu, ketika senior sunat (teman-teman yang sudah disunat duluan) ditanya tentang bagaimana rasanya, jawaban mereka pasti mengarah ke hewan-hewan buas yang menerkam dan mencabik begitu kejamnya. Ada juga yang awalnya menengangkan, namun berujung maut. “Santai, rasanya kayak digigit semut aja kok!, tapi ya itu, semutnya semut api.”

Maka dari itu, anak laki-laki yang berhasil disunat, mereka dalam masa pemulihan luka bekas jahitannya akan me-‘raja’, semua permintaannya dilayani, bahkan tak sedikit pula yang dimeriahkan dengan ragam acara setempat. Bagi saya ini merupakan apresiasi reward, baik itu oleh orang tua atau adat-istiadat, terhadap kebenariannya menghadapi ujian hidup pertama.

Itu yang barangkali hampir dialami oleh tiap anak laki-laki. Sunat atau khitan pada laki-laki dalam Islam juga tidak menjadi perdebatan, karena sangat jelas nash dan dalil perhujahannya. Namun kerap kali yang menjadi perbincangan menarik ialah bagaimana khitan itu sendiri terhadap kaum wanita. Apakah sama halnya seperti laki-laki yang jelas diwajibkan? Atau seperti apa?

Mengenal Lebih Dekat Dunia Sunat Pada Perempuan

Sebelum masuk lebih dalam ke serba-serbi dunia persunatan, mari kita simak bagaimana penjelasan para ahli mengenai khitan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Kata sunat itu dalam bahasa Arab berubah menjadi khitan, yang berasal dari خَتنَ (khatana) yang berarti memotong sesuatu; potongan sesuatu. Dalam dunia medis istilah sunat itu lebih dikenal dengan sebutan sirkumsisi yang berasal dari bahasa Inggris (circumcision).

Badan kesehatan dunia atau World Health Organization (WHO) mendefinisikan sunat sebagai pemotongan alat kelamin atau praktik kuno yang dipraktikkan oeh berbagai masyarakat di seluruh dunia untuk alasan-alasan sosio-kulturan yang hingga saat ini masih terus berlangsung. WHO mengistilahkan sunat ini dengan genital cutting.

Ibn Hajr Al-‘Asqolani juga memberi pengertian tentang sunat dalam kitabnya Fath Al-Bari. Menurutnya sunat itu adalah memotong kulit yang menutupi khasyfah (kepala penis), sedangkan bagi perempuan dilakukan dengan cara memotong organ bagian atas dari vagina yang terletak di atas lobang senggama, berbentuk seperti biji kurma atau jengger ayam.[1]

Sejarah Sunat Perempuan

Jauh sebelum Islam datang, dunia persunatan bagi kaum wanita ternyata sudah lama dikenal oleh umat manusia. Dari bukti yang ada, praktik sunat perempuan ini diduga telah dimulai sejak 4000 tahun silam, sebelum kemunculan agama yang terorganisasi. Praktik tersebut ditemukan pada Mummi Mesir yang berstatus kaya raya dan berkuasa. Para antropolog menduga, dipraktikkannya sirkumsisi pada jaman Mesir Kuno sebagai bentuk pencegahan masuknya roh-roh jahat melalui vagina. Demikian tulis sejarawan Jerman dalam bukunya Christian Egypt: Faith and Life.[2]

Sunat Perempuan Dalam Dunia Kesehatan

Khitan pada wanita termasuk ke dalam mutilasi genital wanita atau female genital mutilation (FGM). FGM yang dimaksud mencakup prosedur yang dengan sengaja mengubah atau menyebabkan cedera pada organ genital wanita karena alasan non-medis. Menurut WHO, khitan pada anak perempuan tidak memiliki manfaat kesehatan dan berisiko menimbulkan perdarahan hebat dan masalah buang air kecil.

Praktik pelaksanaan sunat pada perempuan, berdasarkan varian jenisnya, WHO membagi sunat pada perempuan menjadi empat tipe;

  • Pertama, dengan cara mengangkat sebagian atau seluruh klitoris perempuan, termasuk pengangkatan preputium (kulit di sekitar klitoris).
  • Kedua, pengangkatan sebagian atau seluruh klitoris dan labia minora (kulit tipis seperti lidah yang berada di sekelilling vagina).
  • Ketiga, infibulation menjahit laia menjadi satu dengan tujuan membuat lubang vagina menjadi lebih kecil.
  • Keempat, semua tindakan yang dilakukan pada bagian luar alat kelamin perempuan dengan tujuan non-medis baik dengan cara menusuk, melubangi, menggores, atau pemotongan daerah genital.

Lantas bagaimana pelaksanaannya di Indonesia, apakah masih diperbolehkan?

Dalam Permenkes No. 1636 tahun 2010 yang mengatur urusan sunat bagi perempuan. Dalam peraturan tersebut bukan melarang praktik sunat pada perempuan, tetapi  justru untuk melindungi perempuan dari praktik sunat yang tidak sehat. 

Mengutip dari laman kemkes.go.id yang menyebutkan bahwa secara tradisi sunat perempuan masih sering dilakukan di Indonesia, Kementerian Kesehatan mengimbau agar khitan pada perempuan harus memperhatikan keselamatan dan kesehatan objek yang disunat, serta tidak melakukan mutilasi alat kelamin perempuan.

Dalam melaksanakan sunat perempuan, tenaga kesehatan harus mengikuti prosedur tindakan antara lain cuci tangan pakai sabun, menggunakan sarung tangan, melakukan goresan pada kulit yang menutupi bagian depan klitoris (frenulum klitoris) dengan menggunakan ujung jarum steril sekali pakai dari sisi mukosa ke arah kulit, tanpa melukai klitoris.[3]

Sunat dalam Islam

Dalam ajaran Islam, sunat diyakini merupakan merupakan buah tuntunan ajaran Hanif, atau ajaran Nabi Ibrahim a.s. Nabi Muhammad diperintahkan untuk mengikuti millah-nya (syariat) Nabi Ibrahim. Hal ini jelas sekali, terpampang banyak ayat dalam al-Quran tentang ikut millah Ibrahim. Misalnya di surat An-Nahl ayat 123:

ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا ۖ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ  

Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif” dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.

Mengenai Nabi Ibrahim sebagai pelaksana ajaran sunat perdana, ini dapat ditemukan dalam beberapa riwayat hadis. Salah satunya hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari di hadis no. 3356 berikut:

عن أبي هريرة رضي الله عنه، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «اختتن إبراهيم عليه السلام وهو ابن ثمانين سنة بالقدوم»

Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda, “Nabi Ibrahim As berkhitan itu setelah lewat umur 80 tahun, dengan menggunakan kampak.”

Sunat Perempuan dalam Islam

Ayat dan hadis di atas mengarah pada praktik sunat bagi kaum laki-laki. Dalam Islam, praktik sunat bagi perempuan mengacu pada hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Ummu Athiyyah Al-Anshoriyyah, sebagai berikut:

أَنَّ امْرَأَةً كَانَتْ تَخْتِنُ بِالْمَدِينَةِ، فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” لَا  تَنْهَكِي  ؛ فَإِنَّ ذَلِكِ أَحْظَى لِلْمَرْأَةِ وَأَحَبُّ إِلَى الْبَعْلِ

Ada seorang juru khitan para wanita di Madinah yang ditegur oleh Nabi Saw. Nabi kemudian bersabda, “Jangan berlebihan, karena hal itu adalah bagian kenikmatan bagi perempuan dan kecintaan suami.” (H.R. Abu Daud).

Hadis lain mengenai khitan pada perempuan juga dapat dicek dalam riwayat At-Thabrani dalam kitabnya Al-Mu’jam Al-Ausath no. 2274.

Dari tinjauan sejarah Islam yang mengacu pada zaman Rasulullah, kajian tentang khitan perempuan agak sulit pembuktian tentang adanya kebiasaan ini pada masa Rasulullah, kecuali hadis tentang Ummu Athiyyah ini. Berbeda dengan laki-laki yang riwayat dan ceritanya begitu lengkap dan jelas. Demikian yang disampaikan Muhammad Sauki dalam skripsinya yang  membahas khitan perempuan.[4]

Hukum Khitan Perempuan Menurut Para Ulama

Seorang ulama fiqh abad ke-20, Syaikh Wahbah Az-Zuhayli dalam karya babonnya Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuhu telah menghimpun pandangan-pandangan Imam mazhab dahulu mengenai hukum sunat pada perempuan.

Imam Maliki menyatakan bahwa sunat perempuan hanya sebagai tindakan kemuliaan, asalkan tidak berlebihan dalam hal menyayat atau memotong organ kelaminnya. Imam Hambali menyatakan sirkumsisi bagi perempuan adalah satu kemuliaan bagi perempuan. Imam Hanafi mengkategorikannya sebagai kemuliaan saja, sedangkan Imam Syafi’i, yang dianut mayoritas Muslim di Indonesia, mewajibkan sunat bagi perempuan[5]

Simpulan Akhir

Setelah dibawa terombang-ambing dengan penjelasan panjang mengenai serba-serbi dunia khitan perempuan, tulisan ini berkesimpulan bahwa khitan bagi perempuan itu boleh-boleh saja selagi memperhatikan aturan medis yang berlaku. Yang tidak boleh itu, ketika khitan dilakukan bukan oleh ahlinya atau tidak memperhatikan aturan medis, ini berbahaya. Itulah yang disebut WHO banyak menyebabkan penyakit di kemudian hari. Karena lagi-lagi hadisnya jelas, “jangan berlebihan.” Wallahu’alam.


[1] Ibn Hajar Al-‘Asqolanim, Fath Al-Bari fi Syarh Shahih Al-Bukhari, hal. 530

[2] Otto Meinardus, Christian Egypt: Faith and Life, (Kairo: The American University Press, 1970)

[3] https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-media/20110701/051251/untuk-menjamin-keamanan-dan-keselamatan-perempuan-yang-disunat/, diakses pada (13/10/2023)

[4] Muhammad Sauki, Khitan Perempuan Persprektif Hadis dan Sirkumsisi Perempuan menurut WHO, Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2010.

[5] Wahbah az-zuhaily, al-fiqh al-islam wa adillatuhu, (Damaskus: Dar Al-Fikr Al-Islami, Juz. 3, Hal. 642.


Ditulis oleh Al Fahrizal, alumni Ma’had Aly Hasyim Asy’ari