(ket: dua dari kanan) KH. Abdul Malik Madani hadiri halaqah ke-10 di Pondok Pesantren Ali Maksum Krapyak Yogyakarta, Rabu (14/8/19). (Foto: Aros)

Tebuireng.online– Melihat perjuangan Komitte Khittah NU 1926 yang semakin masif, KH Abdul Malik Madani tergerak hadir untuk menyampaikan pandangan umum terkait Khittah NU pada Halaqah ke-10 di Pesantren Ali Maksum Krapyak Yogyakarta pada Rabu (14/8/19).

Kiai Malik kembali menekankan soal cara NU dalam berpolitik. “Komite ini sebenarnya tujuannya untuk menimbang diri sebelum ditimbang oleh yang lain termasuk ditimbang oleh Allah SWT,” ungkapnya saat memberikan pandangan umum tentang Khittah NU.

Menurut mantan Khatib Aam Syuriah PBNU itu mengatakan bahwa halaqah ini pada hakikatnya muhasabtun nafs (mengoreksi diri) mengenai Nahdliyin dan NU bukan untuk membenturkan antar pihak.

“Bahagialah orang yang sibuk dengan memperbincangkan kekurangan diri. Kekurangan ormas sendiri sebelum membicarakan ormas lain,” tambahnya.

Berangkat dari niat baik itu, lanjut kiai asal Madura itu, Komite ini sudah melaksanakan halaqah sampai 10 kali. Gerakan ini merupakan langkah evaluasi diri diajak kembali kepada syakhsiyahnya atau kepada jati diri NU, supaya tidak kehilangan jati diri.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Jati diri yang dimaksud Kiai Malik adalah identitas NU sebagai Jamiyah Diniyah Ijtimaiyyah (organisasi keagamaan dan kemasyarakatan).

“Jamiyah itu mengumpulkan menghimpun, akhirnya berhenti pada sifatnya pada perkumpulan. Padahal harusnya Bukan jamiyah saja tapi munadhomah (termanag) Tanpa tandhim (manajemen), NU tidak punya makna apa-apa walau anggotanya banyak di seluruh Indonesia. Menurutnya NU sekarang dikelola dengan managemen asal-asalan.

“Kalau NU ingin maju sebagai organisasi ubah dari jamiyah saja menjadi jamiyah yang munadhomah, ” terangnya.

Mengulang pidato khittahnya di Halaqah ke-8 di Banten, Kiai Malik menyampaikan pengarahan dari KH M. A. Sahal Mahfudz saat membuka rapat pleno di Universitas Studi Ilmu al Quran Wonosobo (Unsiq), bahwa NU tidak anti politik tetapi memiliki politik yang tinggi.

Politik itu ada dua, yaitu politik tingkat rendah Siyayah safilah, politik tingkat tinggi siyasah aliyah samiyah. Khittah NU tidak berputar pada politik rendahan alias politik kekuasaan, karena urusan itu sudah diserahkan ke parpol.

“NU terlalu agung untuk mengurusi politik murahan. NU mengurus siyasah aliyah samiyah high politic. Kalau NU mengurus keduanya NU akan benturan di kalangan internal sendiri,” ungkapnya.

Untuk itu, tambah Kiai Malik, perlu untuk diketahui 3 jenis politik yang dianut oleh NU yaitu Politik Kebangsaan, Politik Kerakyatan, dan Etika Politik.

Pewarta: Abror Rosyidin

Publisher:RZ