Sumber gambar: http://esqtours.com/tawaf-3/

Oleh: Silmi Adawiya*

Haji merupakan kewajiban yang hanya satu kali seumur hidup seseorang, ketika pertama kali ia memiliki kemampuan untuk menunaikannya, yaitu sehat badannya, mampu berangkat ke sana, dan aman perjalanannya.

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِين

Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) siapa yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam (Ali Imran [3]:97)

Dalam ayat ini Allah SWT mewajibkan kepada manusia untuk mengunjungi Baitullah manakala mereka memiliki kemudahan untuk menunaikannya. Tetapi jika mereka tidak mau, maka itu adalah sikap kufur. Ayat ini menyatakan masalah kewajiban haji secara umum kepada semua manusia. Menurut Sayyid Quthb, hal ini mengisyaratkan dua hal:

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Pertama, haji ini sudah diwajibkan atas kaum Yahudi, meskipun mereka mendebat kaum muslimin dalam hal shalat menghadap kiblat, padahal mereka sendiri sebenarnya telah dituntut oleh Allah SWT untuk menunaikan haji ke rumah ini dan menghadap kepadanya. Karena, Baitullah ini merupakan rumah pertama yang dibangun untuk ibadah bagi manusia. Dengan demikian, kaum Yahudi telah menyimpang, mengabaikan perintah Allah dan telah melanggar.

Kedua, ayat ini mengisyaratkan bahwa semua manusia dituntut untuk mengakui (memeluk) Islam, menunaikan kewajiban dan syiar-syiarnya, serta menghadap dan berhaji ke Baitullah yang menjadi tempat kiblatnya kaum mukminin. Jika tidak mengakui kewajiban haji ini, maka hal itu berarti kufur, bagaimanapun dia mengaku beragama, sedang Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari alam semesta. Maka Allah SWT tidak membutuhkan keimanan dan haji mereka. Tetapi iman dan ibadah itu hanyalah untuk kemaslahatan dan keuntungan mereka sendiri.

Pelaksanaan haji hanya pada bulan tertentu. Sebagaimana dipaparkan dalam Al Quran surat al-Baqarah ayat 197:

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ

(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklum.”

Akan tetapi, Allah dan rasulNya tidak menentukan jumlah dan nama bulan tersebut. Berdasarkan pada tradisi Arab sebelumnya, para ulama sepakat untuk menetapkan bahwa bulan-bulan tersebut adalah Syawal, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah sebagai mawaqitu zamaniyah. Meski begitu, para ulama berbeda pendapat tentang bulan Dzulhijjah, apakah hanya pada sepuluh hari pertama pada bulan tersebut, ataukah satu bulan sepenuhnya.

Para ulama berbeda pendapat mengenai kapan waktu pertama kali difardhukannya haji itu.  Orang-orang yang berpegang pada riwayat bahwa ayat ini turun pada tahun kehadiran utusan Najran, yaitu pada tahun kesembilan kenabian, berpendapat bahwa haji difardhukan pada tahun ini. Pendapat ini mereka dasarkan pada kenyataan bahwa Rasulullah SAW melakukan haji sesudah tahun itu.

Akan tetapi, terlambatnya pelaksanaan haji oleh Rasulullah SAW tidak menunjukkan bahwa haji itu difardhukan belakangan. Keterlambatan Rasulullah SAW melaksanakan haji karena dipengaruhi oleh situasi dan kondisi tertentu antara lain dengan keadaan bahwa kaum musyrikin biasa menunaikan thawaf di Baitullah dengan telanjang bulat.

Maka Rasulullah tidak suka bercampur baur dengan mereka hingga turun surat Bara’ah pada tahun kesembilan dan mengharamkan kaum musyrikin melakukan thawaf di Baitullah. Barulah Rasulullah SAW menunaikan haji pada tahun berikutnya. Karena itu, boleh jadi haji telah difardhukan sebelum tahun itu, dan turunnya ayat ini adalah pada masa-masa awal setelah hijrah sesudah perang Uhud.


*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, alumnus Pondok Pesantren Putri Walisongo Jombang.