sumber gambar: www.google.com

Oleh: Jailani*

Di dalam berbangsa dan bernegara, keberadaan seorang pemimpin merupakan suatu hal yang sangat fundamental. Tanpa adanya pemimpin, sebuah negara tidak mungkin berjalan sesuai apa yang diharapkan, baik dalam aspek agama, sosial, dan budaya. Islam sebagai agama universal mengatur semua aspek kebutuhan manusia.

Suatu  hal yang sangat kecil pun seperti ke luar masuk kamar mandi diatur dalam agama Islam, apalagi dalam urusan bernegara yang lingkupnya sangat besar dan menjadi kebutuhan pokok umat manusia. Oleh karena itu, di dalam agama Islam pemeluknya diwajibkan agar taat dan menghormati peminpin, serta dilarang menghinanya.

Hal ini sebagaiman  termaktub dalam sabda Nabi Muhammad SAW sebagaimana berikut:

عَنْ أَبِي بَكَرَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ “مَنْ أَكْرَمَ سُلْطَانَ اللَّهِ فِي الدُّنْيَا، أَكْرَمَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللَّهِ فِي الدُّنْيَا، أَهَانَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Diriwayatkan dari Abu Bakrah ia berkata, saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: “barangsiapa memuliakan pemimpin di dunia, maka Allah akan memuliakannya di akhirat. Namun barang siapa merendahkan (menghina) pemimpin  di dunia, maka Allah akan merendahkannya di akhirat. (HR. Al-Turmidzi No. 2224)

Secara garis besar, dalam hadis di atas terkandung dua hal pokok dalam urusan kepemimpinan. Pertama menjelaskan sebuah gambaran bahwa Nabi Muhammad SAW, memerintahkan kepada umatnya agar selalu mematuhi serta memuliakan pemimpinnya. Karena pemimpin merupakan faktor utama berjalannya tata kelola sistem dalam keberlangsungan kehidupan masyarakat. Baik dalam hal yang cakupannya kecil seperti pemimpin rumah tangga, hingga hal yang cakupannya besar yaitu pemimpin negara. Oleh karena itu Islam memerintahkan umatnya agar senantiasa taat dan patuh kepada pemimpin.

Kewajiban taat serta menghormati pemimpin dalam hadis di atas, diperkuat dengan firman Allah dalam Al-Qur’an:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. Al-Nisa’ ayat 59)

Imam Ibn Katsir dalama kitab Al-Tafsir li Ibn Katsir, mengatakan bahwa selain mangandung kewajiban patuh kepada Allah dan Rasul, ayat ini juga menjelaskan kewajiban seorang muslim agar patuh kepada pemimpin selagi perintahnya bukan dalam hal-hal yang diharamkan serta hal-hal yang menimbulkan mafsadah.[1] Oleh karena itu, yang harus digarisbawahi adalah ketaatan kepada pemimpin ialah bukan dalam rangka untuk bermaksiat kepada Allah SWT, karena ketaatan kepada Allah harus lebih didahulukan daripada ketaatan kepada mereka.

Terkait dengan hal ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِيْ مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ إِنَّمَا الطَّاعَةَ فِي الْمَعْرُوْف

“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu dalam kebaikan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu).

Hal pokok kedua tentang kepemimpinan yang terkandung dalam hadis di atas ialah larangan menghina serta memberontak kepada pemimpin. karena  merendahkan atau menghina merupakan suatu  hal yang tidak sesuai dengan moral kemanusiaan. Oleh karena itu Islam melarang kepada umatnya untuk menghina sesama apalagi kepada pemimpinnya. Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad SAW bersabda:

بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ

“Cukuplah seseorang berbuat keburukan jika dia merendahkan saudaranya sesama muslim.” (HR. Muslim).

Sedangkan hadis yang secara eksplisit melarang seorang muslim untuk menghina kepada pemimpinnya, dapat tergambarkan dalam potongan sabda Nabi di atas sebagaimana berikut.

مَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللَّهِ فِي الدُّنْيَا، أَهَانَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barang siapa merendahkan (menghina) pemimpin di dunia, maka Allah akan merendahkannya di akhirat.” (HR. Al-Turmidzi No. 2224)

Selain melarang menghina pemimpin, Nabi Muhammad SAW sangat melaranng umatnya memberontak kepada pemimpin, walaupun pemimpin tersebut zalim. Memberontak dengan cara memerangi pemimpin yang zalim, walaupun dengan tujuan amar ma’ruf nahi mungkar, sangat tidak diperbolehkan. Karena hal itu akan menimbulkan perpecahan bahkan pertumpahan darah, sehingga menimbulkan mafsadah yang lebih besar.

Atas dasar itulah, jika kita sebagai pihak yang dipimpin kemudian berpaling dari kepemimpinan mereka, dengan cara menampakkan penolakan, atau dengan cara menghina mereka, maka hal tersebut merupakan suatu hal yang diharamkan dalam agama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda.

مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ، فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

“Barangsiapa membenci tindakan (kebijakan) yang ada pada penguasanya, hendaklah dia bersabar. Karena siapa saja yang keluar dari (ketaatan) terhadap penguasa (seakan-akan) sejengkal saja, maka dia akan mati sebagaimana matinya orang-orang jahiliyyah.” (HR. Bukhari no. 7053 dan Muslim no. 1849. Lafadz hadits ini milik Bukhari.)

Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah sepakat untuk melarang kaum muslimin ke luar untuk memberontak terhadap seorang pemimpin apabila mereka melakukan hal-hal yang menyimpang, selama hal tersebut tidak termasuk amalan kufur[2]. Hal ini sesuai dengan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang wajibnya taat kepada mereka dalam hal-hal yang bukan maksiat dan selama belum tampak pada mereka kekafiran yang nyata. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari sahabat ‘Ubadah bin Shamit, ia berkata:

دَعَانَا رَسُوْلُ اللهِ فَبَايَعْنَاهُ، فَكَانَ فِيْمَا أَخَذَ عَلَيْنَا، أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةٍ عَلَيْنَا وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ اْلأَمْرَ أَهْلَهُ قَالَ: إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْراً بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَانٌ

“Rasulullah memanggil kami, lalu kami berbai’at kepada beliau. Di antara yang beliau tekankan kepada kami adalah agar kami selalu mendengar dan taat (kepada penguasa) dalam keadaan suka maupun tidak suka dalam kesulitan atau pun kemudahan, bahkan dalam keadaan penguasa mengurus kepentingannya mengalahkan kepentingan kami sekalipun (tetap wajib taat). Dan tidak boleh kami mempersoalkan suatu perkara yang berada di tangan ahlinya (penguasa). Selanjutnya beliau bersabda: ‘Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang jelas dan kalian memiliki bukti yang nyata dari Allah dalam hal itu.” (HR. Al-Bukhari (no. 7055-7056) dan Muslim (no. 1709 (42))

Walaupun demikian, bukan berarti agama Islam pro dengan kepemimnan yang otoriter, tentunya agama Islam sangat mengecam seorang pemimpin yang sewenang-wenang dan tidak memenuhi kewajibannya serta berbuat zalim. Kewajiban rakyat agar sabar serta tidak memberontak kepada pemimpin yang zalim, semata-mata untuk menghindari adanya perpecahan yang dapat menyebabkan pertumpahan darah, serta mafsadah yang lebih besar lainnya.


*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.

[1] Tafsiir Ibn Katsiir (2/ 345)
[2] Fat-hul Baari (13/124-125), Syarah Muslim (12/229).