Santri saat mengikuti kelas Jurnalistik di Pesantren Tebuireng.

Oleh: Dimas Setyawan*

Budaya tulis menulis di lingkungan pesantren cukup familiar. Bagi santri, menulis bukan hanya sebatas berkarya atau hanya sebatas mengejar suatu prestasi untuk mendapatkan sebuah legitimasi dari sebuah instansi. Lebih dari itu, kegiatan menulis acap kali menjadi sebuah ajang dakwah dan meneruskan tradisi keilmuan para ulama-ulama terdahulu.

Seiring berjalannya waktu, tidak sedikit ditemui para santri yang justru terjebak pada ketidakmampuan menulis. Hemat saya, hal ini berlandaskan ketidakmampuan seorang santri mentransfer keilmuan ketika di pesantren dalam bentuk sebuah tulisan atau sekadar catatan. Istilah “santri menulis, santri juara” seringkali menjadi sebuah slogan tanpa makna yang pada akhirnya berujung pada kekosongan produktifitas.

Sepengalaman penulis ketika menjadi santri, kurikulum pendidikan di pesantren seringkali hanya berpaku pada kekuatan tajamnya hafalan kitab-kitab atau kosa-kata bahasa Arab/Inggris dan kekuatan penguasaan santri dalam membaca kitab kuning. Barangkali ini menjadi salah satu faktor merosotnya santri tidak memiliki ruang untuk belajar yang tersistematis dan mandiri.

Menanggapi kekuatan hafalan di kalangan santri yang menjadi faktor keberhasilan santri, penulis mendapati kisah menarik bagaimana bangsa Arab di masa silam yang sangat mengagungkan kekuatan hafalannya. Bagi bangsa Arab di masa silam, kekuatan hafalan adalah prestasi di atas segala-galanya. Maka menulis bagi masyarakat Arab secara ekstrem bagaikan aib tersendiri atas lemahnya hafalan seorang pelajar.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Terdapat juga sebuah cerita menarik dan telah mashyur dalam sebuah proses kekuatan hafalan di kalangan ulama. Ceritanya begini: berabad-abad lalu, dalam perjalanan mencari ilmu, Imam Al-Ghazali bersama rombongan kecilnya di hadang oleh sekelompok perampok. Semua harta, catatan dan buku semasa belajar Imam Al-Ghazali selama bertahun-tahun habis dirampas tak tersisa.

Imam Al-Ghazali sangat menyadari bahwa buku dan cacatan adalah harta yang tak ternilai, Al-Ghazali memohon kepada pimpinan perampok agar dikembalikan catatan dan buku-bukunya. Hanya catatan dan buku-buku yang diminta oleh Al-Ghazali,  tidak lainnya. Sang pimpinan perampok mengabulkan permohonannya sembari mengejek Al-Ghazali.

Ia mengatakan bahwa bukan namanya ilmu bila sesuatu masih tersimpan di catatan atau di buku. Sejak saat itulah, Al-Ghazali menghafal semua materi pelajarannya di luar kepala. Bahkan Al-Ghazali di tahun-tahun selanjutnya merasa sangat berterima kasih kepada perampok tersebut atas nasihatnya.

Namun memang kisah di atas tidak dapat dijadikan sebuah landasan bahwa kekuatan hafalan merupakan segala-galanya. Justru dalam tradisi orang Arab, ada sebuah julukan yang terkenal ‘Al-Kamil’ kepada seseorang yang memiliki tiga potensi, yakni memanah, berenang dan menulis. Entah landasan apa yang menjadi tiga kriteria tersebut menyandang status kesempurnaan bagi masyarakat Arab. Boleh jadi, tiga-tiganya adalah profesi yang sangat langka di lingkungan jazirah Arab saat itu. Mengayunkan pedang mungkin untuk sebagian lelaki Arab adalah hal yang lumrah. Tidak dengan memanah, berenang bahkan menulis.

Kembali pada topik pembahasan ketika santri menulis. Hal yang terbayang kelak dalam benak penulis ketika membayangkan bagaimana hebatnya seorang santri dapat mentransfer keilmuan semasa mondok di sebuah pesantren, akan menjadi butiran mutiara penyejuk ditengah gersangnya budaya literasi menulis dan membaca di masyarakat kita.

Menulis juga akan menjadi sebuah ladang dakwah yang tak ternilai besarnya,  saat santri mampu menggerakkan tinta-tinta penanya pada sebuah karya tulisan. Bahkan sebagaimana sebuah pepatah, “satu peluru dapat menembus satu kepala, sedangkan satu tulisan dapat menembus seratus kepala”, tetapi hal ini tidak menafikan betapa penting menghafal dan juga membaca. Jika bisa dilakukan semua dengan baik, maka alangkah lebih baik dan efektif.

Dalam tulisan ini, penulis ingin mengutip maqolah dari Prof. KH. Ali Musthfa Yaqub, yang dapat memberikan motivasi menulis di kalangan para santri.

وَلَاتَمُوْتُنَ إِلَّا وَأَنْتُمْ كَاتِبُوْنَ

“Janganlah mati sebelum menjadi seorang penulis.”

*Mahasantri Mahad Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.