Oleh: Rara Zarary*
Tiba-tiba Tuhan memberiku waktu datang ke kota di mana kamu tinggal. Aku tidak pernah tahu apa yang menjadi alasanNya, kita dipertemukan dalam suatu suasana yang begitu indah dan mengesankan. Pertama kali berpapas muka, kita hanya saling melempar tawa. Aku juga lupa mengapa pada saat itu kita tertawa. Lalu lama-kelamaan kita duduk lanjut dengan beberapa potongan cerita.
Kau bercerita tentang banyak hal, yang paling aku ingat adalah tentang hujan dan senja di pulau kelahiranmu yang selalu kau rindukan dan akhirnya segenap kenangan kau bawa ke tanah Jawa. Saat yang sama pula, aku bercerita tentang banyak hal padamu, termasuk tentang sesuatu yang mungkin secara tak sadar sama-sama kita suka. Hujan dan senja yang kupetik dari langit pulau kelahiranku yang kubawa pergi merantau ke tanah Jawa. Iya, Tuhan mempertemukan kita dalam satu kisah yang sama. Diantara Hujan dan Senja kita selipkan ribuan doa pengharapan dan rindu yang terus berilalang mencari seorang tuan.
Penuh hati-hati kita memperkenalkan diri lebih jauh dan dalam lagi, hingga aku memahamimu dan kamu memahamiku. Kita saling menangkap cerita meski tak seluas semesta. Lalu perlahan-lahan kamu membuka sebuah rahasia tentang bahasa, rima, diksi, bait, puisi yang sudah hidup dalam-dalam di tubuhmu, kau rawat sendiri lantas sesekali kau tengok untuk kau nikmati, lagi-lagi sendiri.
Aku memahami sangat dalam apapun yang telah kau kisahkan di sini. Diam-diam kau menyimpan jutaan puisi ditubuhmu yang mencoba selalu menjauh dari sepi. Tanpa aku berpikir panjang; malam itu kuceritakan diriku dan apa yag telah beku pada tubuhku. Mungkin aku masih tersenyum malu mengakuinya, bahwa dari setiap ceritamu adalah seperti kau menceritakan diriku. Sama sepertimu. Entah kapan dan bagaimana bahasa, diksi, bait, puisi itu melebur pada tubuhku – jiwa ragaku. Bahkan setiap langkah aku seperti sedang mengayunnya sambil menyanyikannya dengan suara pelan, lebih tepatnya aku berbisik pada hatiku sendiri tentang puisi yang kupungut dari setiap jalan yang kulewati atau setiap udara yang aku nikmati dari pagi hingga pagi lagi.
Sudah tahu begitu, aku terus ingin bercerita padamu dan ingin mendengarkan cerita panjang-pendekmu. Meski sesekali kau lebih banyak diam lalu memilih tidak menjawab semua pesanku yang sangat panjang lebar hanya untuk memastikan kau baik dan dalam keadaan tak kekurangan. Diantara riak kubertanya dan sunyi pada jawabanmu, aku berpikir lagi mungkin kau sudah lelah dan jenuh pada porsi cerita kita yang masih saja sama dari dulu hingga saat ini. Masih tentang gaduh hujan dan mirisnya senja yang tiba kita nikmati bersama. Namun nyatanya akhirnya kau membuka mata dan memilih menjawab segala tanya yang kau gadaikan beberapa hari setelah aku berhenti mencari, aku hanya ingin diam. Entah aku tidak pernah tahu alasannya. Aku hanya ingin menikmatinya sendiri. Tentang rindu-rindu pada pulauku yang semakin sunyi, pada ayah ibu yang semakin hari membuatku berkeinginan untuk segera kembali. Sekali lagi, aku hanya ingin diam sendiri.
Aku tidak berekspresi, membaca tulisanmu yang cukup sederhana untuk kupahami. Setelah itu, aku hanya merasa ingin membiarkanmu sendiri. Tanpa aku datang lagi membawa cerita yang pada dasarnya sudah kita pahami. Meski diantara bertahan dan menyerahku akhirnya kau mengatakan, bahwa aku tak pernah mengganggu keberadaanmu, dan kau bilang maaf telah diam cukup lama dari ke khawatiranmu. Aku tersenyum lagi, sambil membaca pesanmu berkali-kali.
Aku menulis lagi, berharap sehebat apapun badai menghantam tubuhmu, kau tak akan pernah membiarkan segala bahasa dan puisi hilang, lekang menjauh dan gugur dari dirimu. Hingga akhirnya kau tidak mencintai puisi lagi. Atau membiarkannya pergi tanpa arti. Aku menuliskannya lagi, agar kau tetap membiarkan puisi dalam tubuhmu mencari-cari puisi lagi.
Kita saling mencari-cari pada diam banyak orang yang tidak mengerti. Pada riak banyak kawan yang tidak benar-benar mengenali, antara puisiku-puisimu yang lebih jauh dan lebih dalam saling memberi arti. Pada puisiku-puisimu yang lebih lama saling memahami. Pada puisiku-puisimu yang tidak akan pernah saling mengkhianati. Sekali lagi, terima kasih telah diam-diam memberi inspirasi.
*Dalam sebuah buku antologi Hujan & Senja Tanah Rantau.