Sumber: renunganislam.com

Oleh: Yayan Musthofa*

Dalam pandangan Kanjeng Nabi Muhammad saw, yang disebut kaya itu bukanlah simpanan harta sebanyak-banyaknya, rumah semewah-mewahnya, dan pakaian yang gelamor. Orang kaya adalah seseorang yang sudah mentransaksikan seluruh harta, jiwa raga, dan ilmu yang dititipkan kepadanya oleh Allah SWT di jalan-Nya.

Wajahadu fi sabilillah biamwalihim wa anfusihim. Berjuang dengan harta dan raga itu a’dhamu darajatan indallah, derajatnya sangat tinggi di sisi Allah SWT.

Pernah suatu ketika Kanjeng Rasul menyembelih kambing lalu meminta Bunda Aisyah membagikan dagingnya. Sekembali dari bepergian, Kanjeng Rasul menanyakan daging kambing sembelihan. “Sudah habis, Ya Rasul, sisa ini”, jawab Bunda Aisyah.

Hadraturrasul kemudian menimpali, “Bukan, justru ini yang akan habis kita makan, sedangkan yang telah kau bagi-bagikan itulah yang tersisa”. Ungkapan ini senada dengan sabda beliau kepada Abu Talhah yang membagikan kebun kurma Bairuha’ miliknya, “itu adalah investasi yang sangat besar”.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Ada titik tekan bahwa kehidupan yang sesungguhnya nan abadi adalah fase setelah kematian. Sedangkan bekal yang menjadi simpanan untuk diunduh di kehidupan akhirat adalah apa yang ditransaksikan di jalan Allah SWT hari ini.

Maka logis jika mengikuti Baginda Rasul. Kalau mau menabung, bukan di bank, investor, asuransi, dan semisalnya. Kalau mau menabung, santuni yatim piatu, bangun gedung pendidikan beserta fasilitasnya, mem-back up kehidupan lansia, mencerdaskan generasi bangsa (waladun shalih yad’u lah), dan semisalnya. Inilah bekal kebahagiaan yang sesungguhnya akan dimiliki oleh seorang hamba di kehidupan yang abadi.

Berbicara tentang kebahagiaan, setidaknya ada tiga poin untuk mengukur perangkat seorang hamba dalam menggapai kebahagiaan sejati, kata Imam Al-Ghazali. Pertama, denganmelihat al-fadhail an-nafsiyah, keutamaan jiwa yang meliputi ilmu dan akhlak. Kedua, dari sisi al-fadhail al-badaniyah, terkait bentuk fisik seseorang, cantik, ganteng, dan cacat tidaknya. Ketiga, dari al-fadhail al-kharijah, tentang kekayaan, status sosial, dan semisalnya.

Ketiga fadhail ini adalah piranti yang mempunyai kemungkinan untuk membimbing manusia menjadi baik atau menjerumuskan mereka pada jurang kehinaan. Menjadi baik karena mendekatkan hamba kepada Tuhan, dan menjadi hina sebab berpotensi menjadikan hamba lalai pada Pencipta piranti tersebut.

Pada an-nafsiyah, orang yang bergelimang ilmu bisa bertambah dekat kepada Allah SWT dan bisa hina karena terlena dan sombong dengan ilmu itu sendiri. Pada al-badaniyah, orang yang berfisik sehat bisa semakin giat beribadah baik vertikal maupun horizontal, bisa juga menyalahgunakan kesehatan dan kecakepan fisik misalnya. Pun juga yang al-kharijah, bisa semakin serakah dan tamak, dan bisa semakin dermawan.

Yang ideal, ketika tiga perangkat pokok itu diputar saling berkaitan. Tetap mencari piranti al-kharijah guna menambah wawasan sehingga an-nafsiyah semakin dekat kepada Allah SWT, pun juga menggandeng sesama hamba Allah dengan kharijah yang dimiliki. Dengan semakin luhurnya an-nafsiyah pula, al-kharijah akan mendekat dengan sendirinya. Sehingga untuk al-badaniyah juga bisa terkontrol dan mendapatkan haknya secara proporsional.

*Penulis adalah Tim Pustaka Tebuireng.