Oleh: M. Rizki Syahrul Ramadhan*

Islam dibawa oleh Nabi Muhammad SAW dengan titik permulaan di Makkah, Timur Tengah. Bahasa yang digunakan sebagai media penyebaran menganut bahasa lokasi tersebut, Bahasa Arab. Kemudian hari, Islam terus menyebar, terutama esensi Islam yang termuat dalam keilmuan khasnya, keilmuan Islam. Penyebaran tersebut akhirnya sampai ke Indonesia lewat para muballigh. Maka, keilmuan Islam di Indonesia telah mengalami mobilisasi tempat, dari Timur Tengah ke Indonesia.

Mobilisasi tempat tersebut sedikit banyak tentu berdampak pada coraknya. Keilmuan Islam berhadapan dengan tradisi lokasi terkait. Oleh karenanya tidak jarang mengalami akulturasi. Sebagai contoh, mari kita lihat bagaimana dampak mobilisasi tersebut dalam keilmuan hukum kekeluargaan Islam, yang dewasa ini telah menjadi sebuah progam studi dalam perguruan tinggi Islam dengan nama Hukum Keluarga atau al Akhwal al Syakhsiyyah (AS).

Al Akhwal as Syakhsiyyah Timur Tengah

Sebagaimana yang ditulis oleh Wahbah az Zuhaily, di Timur Tengah, AS dideskripsikan sebagai hukum-hukum yang berkaitan dengan hubungan antara seseorang dengan keluarganya, mulai dari penikahan hingga masalah waris. Walaupun istilah AS sendiri merupakan adopsi, namun AS telah menjadi keilmuan yang independen dalam Islam karena, sebagaimana yang ditulis oleh al Jundiy, syariat Islam telah mengatur urusan kekeluargaan dengan rinci. Aturan tersebut kemudian dikodifikasi sedimikian rupa sehingga membentuk keilmuan yang bernama al Ahwal al Syakhshiyyah (AS), yang dalam penamaan istilah mengadopsi dari Barat.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Cakupan pembahasan AS di Timur Tengah dapat dilihat dari karangan Wahbah al-Zuhaily, Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, yakni mengenai tiga hal, yaitu kewenangan, kekeluargaan, dan harta keluarga. Kewenangan meliputi perwalian dan pengasuhan atas anak kecil. Kekeluargaan meliputi pelamaran, pernikahan, hak-hak suami-istri, hak-hak anak, putusnya pernikahan, baik atas inisiasi suami, keputusan pengadilan, atau hal-hal lain. Sedangkan harta keluarga meliputi warisan, wasiat, wakaf, dan hal-hal lain yang mungkin berdampak setelah kematian seseorang.

Abu Nasir al Jundiy sebenarnya juga menuliskan beberapa hal yang bisa disebut sebagai jangkauan bahasan dari pokok tema AS, hanya saja tidak sesistematis Wahbah az Zuhaily. Di antara jangkauan bahasan tersebut adalah masalah pernikahan dan hal-hal yang berhubungan dengannya, putusnya pernikahan dan hal-hal yang berkaitan dengannya, Nasab dan dampaknya, dan Wasiat dan waris.

Dari sini, menjadi jelas bagaimana esensi keilmuan Islam Timur Tengah yang bernama al Akhwal al Syakhsiyyah (AS). Rincian keilmuan tersebut dapat dilihat dalam jangkauan bahasan yang telah disampaikan oleh dua ulama di atas yang secara umum berbicara tentang “masalah kekeluargaan”.

Al Akhwal as Syakhsiyyah Indonesia

Sebagaimana dijelaskan di awal tulisan ini, bahwa mobilisasi tempat pasti akan berdampak pada corak keilmuan Islam, AS Timur Tengah pun tentu terkena konsekuensi tersebut ketika dibawa di Indonesia, terutama setelah mapannya manajemen hukum di negara ini. Cara termudah mengetahui dampak tersebut adalah dengan membandingkan bagaimana keilmuan tersebut dipelajari dalam kurikulum perkuliahan di Indonesia. Sebagai contoh, mari kita tinjau salah satu perguruan tinggi Islam yang cukup besar di Jombang, Universitas Hasyim Asy’ari (Unhasy) Tebuireng.

Jika kita mengamati kurikulum Prodi Hukum Keluarga di Unhasy contohnya, di tempat penulis belajar, dapat diketahui bahwa perkuliahan di sini telah memuat semua jangkauan bahasan AS Timur Tengah sebagaimana tertulis dalam kitab Fiqh al-Islam wa Adillatuhu karya Wahbah az Zuhaily dan kitab al Ahwal al Syakhshiyyah fi al-Islam karya Abu Nasir al-Jundiy. Bahkan, Kurikulum Prodi Hukum Keluarga di Unhasy juga memuat mata kuliah penunjang pemahaman atasnya, seperti Ushul Fiqh.

Hanya saja, tidak semua poin pembahasan AS Timur Tengah dijadikan mata kuliah secara khusus. Seperti tidak adanya mata kuliah khusus yang membahas putusnya pernikahan, padahal bahasan tersebut merupakan poin tersendiri AS Timur Tengah. Melainkan, bahasan tersebut dimasukkan dalam mata kuliah yang lebih umum, seperti Fiqh Munakahat atau Hukum Perkawinan Islam di Indonesia.

Selain itu, kurikulum Prodi Hukum Keluarga di Unhasy juga memuat beberapa mata kuliah yang sebenarnya tidak sama dengan AS di Timur Tengah, tetapi berhubungan dengannya. Seperti Hukum Perdata dan Teknik Membuat UU. Mata kuliah seperti itulah yang menunjukkan imbas mobilisasi tempat AS sebagai keilmuan Islam Timur Tengah ke Indonesia.

Dampak Mobilisasi dari Timur Tengah ke Indonesia

Inti dari semua pembahasan di atas adalah untuk mencari tahu bagaimana corak keilmuan Islam yang dikaji di Indonesia. Memang terlalu gegabah jika kita mengeneralisir semua keilmuan Islam dengan menggunakan satu contoh. Namun setidaknya usaha tersebut telah memberikan gambaran awal bagaimana corak salah satu keilmuan Islam ketika telah dibawa ke Indonesia.

Al Akhwal al Syakhsiyyah yang telah dijadikan contoh ternyata tidak mengalami reduksi bahasan, bahkan mengalami penambahan. Hal itu membuktikan bahwa keilmuan Indonesia masih mempunyai sakralitas yang akan menjadi tidak sopan jika direduksi bahasannya. Walaupun kita tahu bahwa beberapa praktik al Akhwal as Syakhsiyyah di Indonesia sangat berbeda dengan praktik di Timur Tengah.

Dhihar contohnya. Masyarakat Indonesia tentu tidak mempunyai budaya menyamakan punggung istri dengan ibunya. Jika orang Indonesia memanggil istri dengan panggilan “ibu”, maka yang dimaksud adalah ibu dari anaknya. Maka sangat berbeda tradisi Indonesia dan Timur Tengah. Perbedaan tersebut ternyata tidak menyebabkan reduksi bahasan dhihar dalam keilmuan al-Akhwal al-Syakhsiyyah di Indonesia.

Bukan berarti mobilisasi tempat dari Timur Tengah ke Indonesia tidak mempunyai dampak. Hanya saja dampak yang terlihat bukanlah dampak reduksi, melainkan dampak penambahan. Seperti yang telah dibahas dalam kurikulum Unhasy di atas, bahwa perguruan tinggi Islam menambah beberapa mata kuliah untuk menunjang pemahaman mahasiswa. Hal itu setidaknya menunjukkan bahwa keilmuan Islam Timur Tengah tidak dikaji secara mentah di Indonesia. Melainkan diberi pelengkap berupa bahasan penunjang. Bagaimanapun, ketika budaya telah berbeda, kebutuhan manusia dalam memahami suatu ilmu tentu akan berbeda pula.


*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Pesantren Tebuireng