Oleh : KH. Fawaid Abdullah*
Hakikatnya, manusia itu ingin selalu berbuat baik. Setiap manusia pasti demikian. Tidak ada manusia itu yang tidak ingin baik. Tetapi, yang menyebabkan manusia itu berubah buruk atau jelek itu sebab karena nafsu yang lebih dominan di dalam dirinya.
Contoh sederhana misalnya, kenapa manusia itu suka atau ingin mencuri sesuatu yang bukan haknya. Atau kenapa ada seseorang yang sampai merampok, membunuh, atau enjoy dengan segala kerusakan-kerusakan. Watak rakus yang ada dalam diri manusia antara lain yang menyebabkan itu semua terjadi. Nafsu hewani yang mendominasi dalam diri seseorang, sehingga semakin tampak kerusakan-kerusakan.
Munculnya bencana alam yang belakangan banyak terjadi itu bisa jadi akibat dari ulah manusia itu sendiri. Banjir dan longsor misalnya, itu akibat manusia yang rakus dengan dirinya. Munculnya banjir karena manusia tidak disiplin dengan kebersihan, membuang sampah sembarangan dan sebagainya. Begitu juga terjadi longsor dimana-mana akibat menggunduli hutan seharusnya menjadi resapan air, tapi manusia rakus dengan menebangi pohon dan membabat habis hutan lindung, akibatnya kerusakan ekologi semakin nampak.
Dari Abu Bakar al-Shiddiq r.a., tentang firman Allah Swt. :
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ
“Telah nampak kerusakan di daratan dan lautan…”
Sahabat Abu Bakar menafsirkan ayat di atas adalah, bahwa kalimat al-Barri yang dimaksud adalah al-Lisan, sedangkan kalimat al-Bahri yang dimaksud adalah al-Qolbu. Jadi, ketika lisan atau mulut manusia itu rusak, maka rusak pula lah hatinya.
Misalnya, ketika seseorang itu suka berkata-kata kotor, mengumpat, teriak-teriak sambil menuding orang lain itu begini begitu, maka rusak pulalah hatinya. Hampir pasti, orang yang sering mengumpat itu hakekatnya, hatinya itu menangis, dan jiwanya kering.
Ketika hati seseorang itu rusak, misalnya disebabkan ada unsur riya’ atau suka pamer dan penyakit hati lain yang ada dalam dirinya, maka malaikat pun sejatinya menangisi orang tersebut.
Siapapun, kalau seseorang itu sudah suka mencela, mencaci, berkata-kata kotor, mengumpat, dan lain-lain. Kalau melihat tafsir ayat di atas, pendapat sahabat Abu Bakar al-Shiddiq ini, sangat tampak sekali disebabkan karena rusaknya lisan atau mulut, dan rusaknya qalbun atau hati yang ada dalam setiap diri manusia.
Kebutuhan pokok yang ada dalam diri manusia itu terhadap pengelihatan dan pendengaran itu jauh lebih banyak dibandingkan dengan perkataannya. Seharusnya manusia itu harus lebih banyak melihat dan mendengarkan, dari pada berbicara. Maka bisa disimpulkan, semakin seseorang itu banyak bicaranya, maka akan semakin sedikit rasa melihat dan mendengarnya. Begitu juga sebaliknya.
Perbanyaklah, diri kita ini untuk melihat dan mendengar. Melihat sekeliling kita, melihat ke-dha’if-an (lemah) dalam dirinya, melihat orang lain lebih baik dari dirinya. Mendengar keluh kesah orang lain, mendengar masukan atau saran orang lain, mendengar kritik dan nasehat dari orang lain dan seterusnya. Itu semua adalah salah satu dari upaya menjauhi kerusakan- kerusakan yang dimaksud diatas. Wallahu A’lam
*Khadim Pesantren AL-AULA Kombangan Bangkalan Madura