Oleh: Muhammad As’ad*

Untuk menjadi penganut agama kita harus mengikuti peraturan pasti yang telah ditentukan yang mana tidak boleh dilanggar. Misalnya, sebagai muslim kami percaya bahwa Allah satu-satunya Tuhan dan Nabi Muhammad Saw adalah utusan-Nya; kami harus menjalankan shalat lima waktu secara berurutan, membayar zakat, berpuasa selama bulan Ramadhan dan menunaikan ibadah haji paling sedikit sekali dalam seumur hidup—ini semua adalah lima rukun dalam Islam. Sebagai muslim kami tidak boleh meninggalkan kelima rukun itu kecuali bagi pengecualin yang dikhususkan.

Tahapan terpenting lainnya adalah menjadikan agama sebagai bagian dari hidup kita. Mayoritas umat muslim di negeri ini luar biasa (taat beribadah). Lalu bagaimana saya katakana bahwa kita tidak beragama?

Bagaimanapun, sebuah laporan Internasional 2012 tentang indeks tingkat korupsi menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat ke-118 dari 176 negara, lebih buruk daripada 2011 ketika Indonesia menempati peringkat ke-100. Padahal MUI pernah mengeluarkan fatwa pada tahun 2000, menyatakan bahwa suap, korupsi dan gratifikasi adalah haram.

Namun, aturan tersebut gagal untuk mencegah korupsi. Contohnya bendahara MUI, Chairunnisa, yang juga pembuat Undang-Undang dari Praksi Golkar tertangkap oleh KPK berhubungan baik dengan ketua MK Akil Mochtar. Mungkin kita semua memang memiliki kesalehan ritual yang baik tetapi kita tentunya belum memiliki kesalehan sosial.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dalam bidang keagamaan, kita semua luar biasa. Kita lihat banyak masyarakat Indonesia merayakan kegiatan agama, ritual dan peringatan har-hari besar. Akan tetapi, keberagamaan ini tidak tampak pengaruhnya dalam kehidupan kita.

Baru-baru ini saya diajak oleh Japan Foundation mengikuti program pertukaran pelajar (intellectual exchange). Jepang menyerupai negeri yang banyak orang mengira dan membayangkan sebagai negeri yang beragama. Segalanya terlihat tertib, jalanan bersih seperti di Fudai sebuah desa di wilayah Iwate yang saya kunjungi. Kita dapat mengatakan orang-orang Jepang sangat beragama, melebihi ketaaan mereka terhadap kode moral dari perilaku dalam kehidupan sehari-hari.

Namun World Values Survey pada tahun 2010 menunjukkan  banyak masyarakat Jepang berpikir bahwa agama tidaklah penting. Hanya 9,9 % yang mengatakan agama itu penting. Intinya bagian ini temasuk mengurangi waktu.

Rupanya ritual keagamaan bukan factor penting dalam menentukan baik dan progressifnya sebuah kondisi negara di Jepang.

Sebagai perbandingan, salah satunya merujuk pada sebuah artikel yang diterbitkan oleh Jurnal Berkeley Pusat Ekonomi Global pada 2010 berjudul “Bagaimana Islam menjadi Negara yang Islami”. Laporan itu mengukur tingkatan Islam di beberapa negara khususnya dalam aspek ekonomi, pendidikan, korupsi, system finansial dan HAM.

Intinya, banyak negara Islam memasukkan Indonesia sebagai peringkat rendah. Peringkat tertinggi banyak dinduduki oleh negara non muslim seperti New Zealand sebagai peringkat pertama, diikuti oleh Luxembourg. Fakta ini sekali lagi menunjukkan bahwa banyak negara berkembang yang sudah siap beragama lebih dahulu padahal mereka negara yang tidak beragama.

Saya tidak mengatakan bahwa kita harus meniru dari negara-negara itu, meninggalkan background keberagamaan mereka dan fokus kerja sosial. Sesungguhnya kita bisa melakukan lebih baik dari pada mereka yang beranggapan bahwa agama tidaklah penting. []

*Penulis adalah Direktur LSPT (Lembaga Sosial Pesantren Tebuireng) dan peserta Pertukaran Intrlektual muda muslim di Asia Tenggara. Artikel ini dimuat The Jakarta Post pada 27 Desember 2013 dengan judul “Religious Without Religion”, diterjemahkan oleh @atunk_oman siswa HEC 1 Pare Kediri.