tebuireng.online – Bangsa Indonesia masih mewarisi  mental dendam dalam menjalankan amanat kebangsaannya mirip dengan hikayat Ken Arok. Demikian tercerminkan pada kasus rekonsiliasi kasus pelanggaran HAM 30 September 1965.

“Kita kok mewarisi dendam Ken Arok, kok tidak seperti Nelson Mandela yang berjiwa besar,” kata Kiai Muhaimin, pengasuh Pesantren Nurul Ummahat Kotagede Yogyakarta saat ditemui dikediamannya.

Menurut Kiai Muhaimin, Indonesia sejak dahulu masih mempunyai tradisi arogansi yang berujung dendam antar golongan. “Peralihan kekuasaan setelah masa penjajahan dilakukan dengan “paksa”, Bung Karno digulingkan, dan kemudian lawan politiknya yang menaiki tampuk kekuasaan, Soeharto. Kemudian Soeharto pun juga demikian, ditumbangkan, BJ Habibie dan presiden selanjutnya naik dan tumbang dengan cara yang “keras”. Lantas sampai kapan bangsa kita akan terus saling merobohkan seperti ini,” ujarnya menggebu-gebu.

Mengapa tidak seperti kasus apartheid di Afrika Selatan yang berahir dengan saling menghormati kedua belah pihak seteru. Lebih lanjut Kiai Muhaimin mengatakan bahwa salah satu cara untuk memperbaiki situasi itu adalah dengan sering diadakan dialog kebangsaan.

“Dahulu, Gus Dur saat menjadi presiden sudah memohon maaf secara terbuka kepada para korban dan keluarganya,” kata Kiai yang melakukan eksperimen politik pada Pemilu 2014 sebagai calon anggota DPR RI Dapil DIY ini.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Kiai Muhaimin menganggap itu sebagai persoalan demografis, yang artinya PKI dan NU keduanya berstatus korban adu domba.

Terkait sikap Kiai Yusuf Hasyim, Pengasuh Pesantren Tebuireng saat itu yang anti PKI, Kiai Muhaimin berpemdapat begini: “Kalo bahasa saya, saya bisa memahami kalau pak Ud (panggilan akrab Kiai Yusuf Hasyim) tidak bisa memaafkan PKI, karena beliau terlibat fisik, berhadap-hadapan dengan arogansi masa waktu itu.” (auL/tbi.org)