Saat itu menjelang jama’ah shubuh akan berlangsung, Kyai tidak bisa memimpin shalat berjama’ah karena sedang pergi ke Jakarta. Maka seperti biasa jika kyai berhalangan maka ketua pondok menggantikan beliau. Namun yang ditunggu-tunggu tak kunjung tiba. Para jama’ahpun mulai gelisah. Akhirnya datang seorang santri yang diutus melaporkan bahwa ketua pondok sedang sakit. Mendengar hal itu maka para jama’ahpun bertambah bingung dan saling adu pandang. Karena di antara jama’ah yang paling senior adalah Cak Jahlun maka disepakati Cak Jahlun untuk mengimami shalat berjama’ah kali ini.
“Allahu Akbar,” dengan mantap mulailah Cak Jahlun mengomandani shalat. Di tengah kekhusu’annya ngimami, tiba-tiba perutnya mlilit bukan main. “Pasti ini akibat sambal yang tadi sore” pikirnya. Semakin lama semakin sakit. Puncaknya, ketika sujud, perutnya sudah tidak bisa diajak kompromi lagi. “Wusshh” keluarlah angin yang selama ini bertahan di dalam perutnya. Karena sudah batal dan tak tahan lagi buru-buru ke toilet maka tanpa pikir panjang lagi ia berlari ke toilet tidak ingat kalau ia sedang ngimami shalat. Para ma’mum yang sedang sujudpun mulai bertanya-tanya. “Ada apa ini, kok imamnya nggak naik-naik” pikir mereka. Salah seorang dari mereka menaikkan kepalanya memastikan yang terjadi. Ternyata mimbar pengimaman sudah kosong. Ia pun berteriak “Imamnya hilang…imamnya hilang….” . Jamaahpun kacau gara-gara imamnya Jahlun. []