KH. Habib Ahmad membacakan kitab Shahih Bukhori dan Muslim setiap Bulan Ramadan.

Menurut ahli-ahli hadis, kritik hadis adalah menyeleksi hadis-hadis antara yang sahih dengan yang dlaif dan meneliti para rawinya apakah dapat dipercaya dan kuat ingatannya (tsiqah) atau tidak. Menurut Azami, krtitik hadis sudah dimulai sejak Nabi masih hidup, namun lingkupnya masih sangat terbatas dan motivasinya juga berbeda dengan kritik hadis pada masa-masa belakangan.

Untuk menentukan sahih tidaknya sebuah hadis, para hali hadis umumnya mensyaratkan bahwa hadis dinilai sahih (otentik) apabila diriwayatkan dengan sanad yang bersambung kepada Nabi oleh rawi-rawi yang adil (jujur dan takwa) dan dhabit (kuat ingatannya), tidak ada ‘illah (cacat) dan syadz (kejanggalan).

Dalam menentukan “sanad yang bersambung kepada Nabi” para ahli hadis mensyaratkan bahwa antara rawi pertama dengan rawi kedua –dan begitu seterusnya- ada kemungkinan bertemu dimana keduanya hidu pada satu masa. Apabila antara murid dengan guru ada kemungkinan bertemu, para ahli hadis menilai sanad itu bersambung, meskipun keduanya tidak pernah bertemu sama sekali.

Dalam ilmu hadis dikenal ada delapan metode penyebaran hadis (tahamu al-‘ilm) yaitu:

1 . Sama’ (mendengarkan)

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Yaitu cara penyebaran hadis dimana murid mendengarkan kata-kata gurunya. Hal itu, baik berupa pengajaran biasa ataupun guru sekedar mendiktekan hadisnya kepada muridnya, dan pengajaran itu mungkin berdasarkan hafalan atau guru berpegang kepada sebuah kitab hadis.  

2 . Qiraah (membacakan)

Yaitu cara penyebaran hadis dimana murid-murid membacakan kitab atau hafalan hadis kepada gurunya. Cara ini juga disebut ‘ardh (memperlihatkan).

3 . Ijazah (mengizinkan)

Yaitu cara penyebaran hadis dimana guru mengizinkan muridnya untuk mengajarkan suatu kitab hadis.

4. Munawalah (memberikan)

Yaitu cara penyebaran hadis dimana guru memberikan kitabnya kepada muridnya.

5 . Kitabah (menuliskan)

Yaitu cara penyebaran hadis dimana guru menuliskan hadisnya kepada muridnya baik yang hadir maupun tidak.

6 . I’lam (memberitahukan)

Yaitu cara penyebaran hadis dimana guru memberitahukan muridnya bahwa suatu hadis atau kitab hadis pernah didengarnya dari salah seorang gurunya.

7 . Wasiyah (pesan, wasiat)

Yaitu cara penyebaran hadis dimana guru berwasiat atau berpesan agar kitabnya diberikan kepada muridnya.

8 . Wijadah (menemukan)

Yaitu cara penyebaran hadis dimana murid menemukan catatan atau kitab hadis milik seseorang yang belum pernah di riwayatkan.

Dari delapan metode ini, dua di antaranya ditolah dalam ilmu hadis, yaitu metode “wasiyah” dan “wijadah”. Artinya, hadis yang diriwayatkan dengan kedua metode ini tidak sahih karena sanadnya tidak bersambung (munqathi’). Tiga metode yang lain yaitu “sama’, ‘ardh, dan munawalah” dinilai kuat dalam periwayatan hadis sebab murid dan guru benar-benar bertemu.

Sedang tiga metode lainnya yaitu “ijazah, kitabah, dan i’lam” diterima juga oleh ahli-ahli hadis sehingga hadis yang diriwayatkan dengan ketiga metode ini dinilai sahih, karena sanadnya dianggap bersambung. Padahal ketiga metode yang akhir ini memungkinkan seorang murid (rawi kedua) tidak pernah bertemu dengan gurunya (rawi pertama).

Imam Bukhari tampaknya tidak puas dengan persyaratan “bersambung” seperti yang ditentukan oleh ahli-ahli hadis. Dan meskipun ilmu hadis yang menentukan persyaratan itu baru pertama kali ditulis oleh al-Ramahurmuzi (w. 360H) dalam bukunya al-Muhaddits al-Fashil baina al-Rawi wa al-Wa’I, namun ketentuan-ketentuan umum dalam periwayatan hadis sudah diketahui dan dijadikan patokan oleh ahli-ahli hadis sebelumnya.

Ketidakpuasan Imam Bukhari itulah atau barangkali sikap hati-hati beliau mengingat kitabnya kelak akan menjadi rujukan umat yang mendorong beliau untuk membuat persyaratan sendiri dalam menentukan bersambungnya sanad, dimana hal itu kemudian dikenal dengan istilah “syart al-Bukhari”.

Menurut Imam Bukhari, sanad disebut bersambung apabila antara murid dengan guru atau antara rawi kedua dengan rawi pertama betul-betul pernah bertemu meskipun hanya satu kali. ‘Sekedar kemungkinan bertemu’ bagi Imam Bukhari tidak dianggap sebagai sanad yang muttasil (bersambung), berbeda dengan persyaratan ahli-ahli hadis yang lain. Dan ternyata persyaratan Imam Bukhari inilah antara lain yang menyebabkan kitabnya berada pada peringkat kedua teratas di bawah al-Quran.

Persyaratan ini sebenarnya pernah beliau terapkan dalam menyusun buku tarikh­-nya terdahulu, sehingga dapat dikatakan bahwa metode Imam Bukhari dalam pengambilan sumber-sumber hadis diwarnai oleh metodenya dalam menyusun kitab tarikh-nya.

Kritik terhadap Hadis-hadis Bukhari

Dalam ilmu hadis, kritik ditujukan kepada dua aspek, yaitu sanad dan matan hadis. Kritik sanad (naqd al-sanad/naqd al-rijal) diperlukan untuk mengetahui apakah rawi-rawi itu jujur, takwa, kuat hafalannya dan apakah sanad itu bersambung atau tidak. Sedang kritik matan (naqd al-matn) diperlukan untuk mengetahui apakah hadis itu mempunyai cacat (‘illah) atau janggal (syadz). Dari sini kemudian timbul istilah ahli hadis “hadza al-hadits shahih al-isnad” (hadis inii sahih sanadnya) dan “hadza al-hadits shahih al-Matn” (hadis ini sahih matannya).

Para orientalis seperti Ignaz Goldzhiher (1850-1921), Arent Jan Wensinck (1882-1939), Joseph Schacht (1902-1969), dan lain-lain berpendapat bahwa dalam meneliti hadis, para ahli hadis hanya menggunakan metode kritik sanad saja tanpa memakai metode kritik matan. Sehingga, menurut mereka, banyak ditemukan di belakang hari hadis-hadis yang semula dianggap sahih ternyata palsu, termasuk hadis yang terdapat dalam Sahih al-Bukhari.


*dikutip dari tulisan Prof. Ali Mustafa Yaqub