Oleh: Muhammad Abid Muaffan*

حَدَّثَنَا زِيَادُ بْنُ الرَّبِيعِ قَالَ حَدَّثَنَا عَبَّادُ بْنُ كَثِيرٍ الشَّامِيُّ مِنْ أَهْلِ فِلَسْطِينَ عَنِ امْرَأَةٍ مِنْهُمْ يُقَالُ لَهَا فَسِيلَةُ أَنَّهَا قَالَتْ سَمِعْتُ أَبِي يَقُولُ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَمِنَ الْعَصَبِيَّةِ أَنْ يُحِبَّ الرَّجُلُ قَوْمَهُ قَالَ لَا وَلَكِنْ مِنْ الْعَصَبِيَّةِ أَنْ يَنْصُرَ الرَّجُلُ قَوْمَهُ عَلَى الظُّلْمِ

Telah menceritakan kepada kami [Ziyad bin Rabi’] berkata; telah menceritakan kepada kami [‘Abbad bin Katsir Asy Syami] dari seorang penduduk Palestina dari salah seorang dari mereka, yang bernama [Fasilah] sesungguhnya dia berkata; saya telah mendengar [bapakku] berkata; saya telah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam, lalu saya berkata; “Wahai Rasulullah, apakah termasuk dari fanatik golongan, jika seseorang menyukai kaumnya?” Beliau bersabda: “Tidak, tapi yang termasuk fanatik adalah seorang laki-laki menolong kaumnya padahal dia melakukan penganiayaan.”

Hadist di atas kami nukil dari Kitab al-Arbaun al-Buldaniyah Arba’una Hadits ‘an Arba’ina Syaikhan fi Arba’ina Baladan yang disusun oleh Musnid Dunya Syaikh Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani al-Makki (1335-1410H/1915-1990 M) yang meriwayatkan langsung dari Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari (1287-1366) Pendiri Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’. Kitab di atas diterbitkan oleh Daar ar-Raudhah al-Islamiyyah, Tebet, Jakarta Selatan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Instisari dari hadist ini adalah setiap kaum pasti punya sifat fanatisme. Di masa Rasulullah SAW masyarakat Arab terdiri dari bersuku-suku dan berbangsa-bangsa. Fanatisme di atas bisa bernilai positif jika dimaknai dengan semangat gotong royong antar sesama kaum. Namun juga bermakna negatif jika digunakan untuk menebar kebencian dengan kaum lain. Fanatisme di Arab begitu kuat sehingga hanya perkara sepele saja mereka bisa berperang.

Hadist ini diriwayatkan oleh Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari dari Syaikh Muhammad Mahfudz bin Abdullah bin Abdul Mannan Dipomenggolo at-Turmusi al-Makki (1258-1338), pengarang Hasyiyah Turmusi ala Manhajil Qowim. KH Hasyim Asy’ari juga banyak meriwayatkan hadist dari gurunya tersebut termasuk sanad Kitab Shohih Bukhari, Shohih Muslim yang terangkum dalam Tsabat Syaikh Mahfudz bin Abdullah at-Tremasi yakni Kifayatul Mustafid lima ala minal Asanid.

Syaikh Mahfudz meriwayatkan hadist di atas dari Syaikh Abu Bakar bin Muhammad Syatha ad-Dimyathi (1226-1310), pengarang kitab I’anatut Thalibin Syarah Fathul Mu’in dari Sayyid Ahmad Zaini Dahlan (Pengarang Mutammimah Syarah Jurumiyah) yang juga menjadi Guru Besar Ulama Nusantara lainnya seperti Syaikhona Kholil Bangkalan (1235-1343), Tubagus Muhammad Falak Bogor (1258-1392), Syaikh Nawawi bin Umar al-Bantani (1230-1314) Sayyid Usman bin Yahya al-Batawi (1238-1331), dan lain-lain

Syaikh Ahmad Zaini Dahlan (1231-1304), Mufti Syafi’iyyah Makkah Al-Mukarramah meriwayatkan dari gurunya Syaikh Usman bin Hasan ad-Dimyati, (1196-1265) ulama dari Mesir yang hijrah ke Makkah. Syaikh Usman meriwayatkan dari gurunya Syaikh Abdullah Hijazi bin Ibrahim asy-Syarqawi (1150-1227), Syaikh al-Azhar yang terkenal dengan sikapnya menentang penjajahan Perancis di Mesir yang dipimpin oleh Napoleon Bonaparte.

Syaikh Abdullah Syarqawi meriwayatkan Hadist ini dari Syaikhul-Azhar ke-8 Syaikh Muhammad Salim al-Hifni (w. 1181) dari Syaikh Abu Hamid Muhammad al-Budairi (w. 1140), Syaikh Ali bin Ali as-Syibramalisi (997-1087) dari Syaikh Ali bin Ibrahim al-Halabi (w. 1044 H), dari Syaikh ‘Ali bin Yahya al-Ziyadi (w. 1024), dari Syaikh Ahmad Ibn Hajar al-Haitami (909-973), dari Sayyid Yusuf bin Abdullah al-Armiyuni (w. 958), dari Imam Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar al-Suyuthi (w. 911).

Imam Jalaluddin asy-Suyuthi meriwayatkan dari  Abdurrahim Ibn al-Furat  (735-807) dari Syaikh Ahmad bin Muhammad al-Jukhi dari Syaikhan Zainab al-Harraniyyah (w. 688) dari Syaikh Abu Ali Hanbal al-Rashafi (510-604) dari Syaikh Hibatullah bin Muhammad al-Syaibani (432-525) dari Abu Ali bin Hasan Ibn al-Mazhab (355-444) dari Syaikh Abu Bakar bin Ahmad al-Qathi’i (273 – 368) dari Syaikh Abdullah Hanbali (213-290) dari ayahnya Imam Ahmad Ibn Hanbal (164-241), Pendiri Madzhab Hanbali dan murid Imam Syafi’i (150-204).

Imam Ahmad bin bin Hanbal meriwayatkan hadist ini dari Ziyad ibn al-Rabi’ al-Bashri (w 185) dari  Abbad Ibn Katsir (w. 171) dari seorang tabi’in perempuan yang tinggal di Damaskus bernama Fusailah. Beliau pernah mendapat cerita dari ayahnya yang bernama Watsilah ibn al-Asqa’ tentang sebuah kenangan indah saat ayahnya tinggal di Madinah berjumpa Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam-. Hadist di atas sampai kepada Syaikh Yasin al-Fadani melalui 27 rawi.

Menurut KH. Ahmad Marwazie al-Makki al-Batawi, Khadim Syaikh Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani, pertemuan kedua ulama besar itu terjadi saat beliau berdua berada di Makkah. Tidak diketahui persis kapan tahunnya, namun saling bertukar ijazah Hadist musalsal sudah menjadi tradisi yang dilakukan ulama-ulama kita di masa lampau hingga saat ini.

Dalam riwayat yang lain, Syaikh Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani pernah meminta tolong kepada menantu KH. Hasyim Asy’ari yang juga menjadi gurunya di Madrasah Darul Ulum, Syaikh Muhaimin bin Abdul Aziz al-Lasemi untuk memintakan sanad kepada KH. Hasyim Asy’ari lewat sebuat surat yang dikirimkan ketika beliau hendak pulang ke Nusantara.  Kelak di kemudian hari Syaikh Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani akan menggantikan posisi Syaikh Muhaimin Lasem sebagai Pimpinan Madrasah Darul Ulum yang didirikan oleh Ulama Nusantara.

Pada pertemuan tersebut dikisahkan bahwa keduanya bukan bertukar sanad Keilmuan, namun juga memikirkan perjuangan bangsa Indonesia yang saat sedang dalam masa penjajahan Belanda. Hal itu membuktikan, meski berada di jauh dari tanah kelahiran namun semangat nasionalisme mereka tetap membara. Syaikh Nawawi bin Umar al-Bantani meski mukim dan wafat di Haramain, beliau juga mengobarkan semangat perjuangan kemerdekaan kepada murid-muridnya yang belajar di Makkah.

Meski Syaikh Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani dilahirkan di Makkah al-Mukarramah tetapi dalam diri beliau mengalir darah Minang dari ayahandanya Syaikh Isa bin Udik yang berasal dari Desa Kayutanam, Padang Pariaman, Provinsi Sumatera Barat yang bersama saudaranya Syaikh Mahmud bin Udik hijrah ke Tanah Suci dan wafat disana. Semasa hidupnya Syaikh Yasin juga beberapa kali mengunjungi ke beberapa pesantren di Indonesia.

Dalam kitab di atas yang berisikan 40 Hadist dari 40 Ulama di 40 daerah ini juga memuat Hadist musalsal lain yang Syaikh Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani riwayatkan dari beberapa ulama Nusantara lainnya seperti KH. Hasan bin Syamsuddin Genggong Probolinggo, KH. Shiddiq bin Abdullah Jember, Sayyid Umar bin Thaha bin Yahya, Surabaya, KH. Ma’shum bin Ahmad Lasem, Sayyid Husain bin Muhammad Semarang, KH. Muhsin bin Raden Muhammad Serang Banten, KH. Jam’an bin Samun Tangerang, KH. Ahmad Marzuqi Mirshad Jakarta, Syaikh Abdullah bin Azhari Palembang.

Dan kitab ini akan dihadiahkan oleh KH. Ahmad Marwazie untuk Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng, Jombang pimpinan H. Ahmad Roziqi, Lc., M.H.I.. Rencana kitab ini akan kami serahkan dalam rangka Seminar Sanad Al-Qur’an Masyayikh Tebuireng dan Nusantara yang Insya Allah akan diselenggarakan pada 25 Agustus 2022 mendatang

Jalinan sanad keilmuan antara Syaikh Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani dengan KH. Hasyim Asy’ari juga berlanjut sampai kepada KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Cucu KH. Hasyim Asy’ari yang juga Presiden Republik Indonesia keempat ini juga dekat Syaikh Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani.

Dikutip dari laman tebuireng.online  Pasca terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) hasil Muktamar Situbondo, Gus Dur diundang oleh Kerajaan Arab Saudi, bersama lima orang pengurus. Termasuk di antaranya KH. Sahal Mahfudz dan KH Abdullah Syarwani.

Usai berdiskusi dengan pihak Kerajaan Arab Saudi dan Syaikh Abdullah bin Baz, Gus Dur mengajak rombongan untuk mengunjungi kediaman Syaikh Muhammad Yasin bin Isa Al-Fadani. Tetapi Mbah Sahal yang pernah berkunjung, lupa di mana persisnya kediaman Syaikh Yasin.

“Sudah, ke sana saja.” Gus Dur menunjuk sebuah arah. Mereka menyewa taksi menuju lokasi.

Di perjalanan, Gus Dur yang duduk di belakang, ternyata malah tidur. Praktis sopir taksi dan Mbah Sahal bingung. Ke mana lagi arah yang musti dituju.

Begitu dibangunkan, Gus Dur berujar, “Nanti di depan sana berhenti, ya.”

“Kok tahu, Gus?”

“Tadi saya mimpi ketemu Syaikh Yasin,” jawab Gus Dur santai.

Benar saja, begitu taksi berhenti dan bertanya pada seseorang di pinggir jalan, rumah Syaikh Muhammad Yasin al-Fadani ternyata hanya naik sedikit dari tempat mereka berhenti.

Dan begitu sampai, Syaikh Muhammad Yasin al-Fadani sudah siap menyambut mereka dengan pakaian yang rapi dan wangi. Lengkap dengan menu kurma yang berjumlah lima porsi, persis sesuai dengan jumlah rombongan Gus Dur. Subhanallah.

Semoga dengan berkah kitab, semakin dapat merajut kembali jalinan sanad keilmuan dan persahabatan yang sudah dijalin oleh ulama-ulama kita di masa silam agar keberkahan ilmu tersebut terus bersambung sampai kepada kita semua. Dan memuliakan, mengagungkan serta memenuhi hak ulama adalah perintah Nabi Muhammad SAW sebagaimana beliau pernah bersabda

أَكْرِمُوا الْعُلَمَاءَ، فَإِنَّهُمْ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، فَمَنْ أَكْرَمَهُمْ فَقَدْ أَكْرَمَ اللهَ وَرَسُوْلَهُ (رَوَاهُ الْخَطِيْبُ عَنْ جَابِرِ)

Muliakanlah para ulama, karena mereka adalah pewaris para Nabi; barang siapa memuliakan mereka berarti ia memuliakan Allah dan Rasul-Nya. (HR. Al-Khotib dari Jabir)

Jakarta, 16 Muharram 1444 H/ 14 Agustus 2022 M


*Khadim Sanad Al-Qur’an Nusantara