Oleh : Nurul Fajriyah*

Menjadi Isu Hangat

Hukuman mati sedang hangat-hangatnya dibicarakan oleh semua elemen masyarakat di negara ini. Eksekusi mati ini mulai menuai pro dan kontra. Pro-kontra hukuman mati ini  tidak hanya sebatas isu Nasional, melainkan juga telah menjadi isu dunia, setelah pemerintah Indonesia secara tegas menyatakan dan melaksanakan eksekusi hukuman mati terhadap beberapa narapidana kasus narkoba jaringan internasional.

Mulai dari pujian, dukungan, hingga cacian dan hujatan menimpa pemerintah Indonesua. Keramaian ini juga mendapat beberapa tanggapan serius dari berbagai tokoh. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Kalimantan Timur, KH Hamri Haz mengatakan hukuman mati itu diperbolehkan dalam Islam. Karena itu hukuman mati terhadap pengedar narkoba itu tidak bertentangan dengan Syariat Islam. Menurut Hamri, hukuman mati dalam Syariat Islam telah diterapkan sejak dulu, bahkan sejak zaman Nabi, yakni qishash. Hukuman qishash diterapkan sesuai dengan kejahatan yang dilakukan oleh pelaku, yakni dalam rangka menegakkan keadilan. Narkoba merupakan barang terlarang, sehingga siapa saja yang mengedarkan harus mendapatkan hukuman setimpal. Apalagi dampak penyalahgunaan narkoba sangat parah karena bisa melemahkan syaraf dan mengganggu aktivitas, termasuk mengganggu lingkungan masyarakat.

Alasan HAM, Terlalu Sepihak

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Ada hal lain yang menjadi perdebatan dalam kasus ini, argumen beberapa tokoh muslim dan tokoh HAM mengenai hukuman mati berbeda. Para insan HAM tetap mengambil sikap awal dengan menentang keputusan itu. Sementara Islam seolah mendukung hukuman mati. Dalam HAM, penerapan hukuman mati digolongkan sebagai bentuk hukuman yang kejam dan tidak manusiawi. Selain itu HAM juga menganggap hukuman mati sebagai bentuk pelanggaran Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights).

Pada Pasal 3 Deklarasi Universal: “Setiap orang mempunyai hak atas penghidupan, kemerdekaan dan keselamatan seseorang”. Salah satu tokoh NU, KH Nuril Arifin atau yang akrab disapa Gus Nuril meminta kepada Presiden Jokowi untuk tidak lagi memberlakukan hukuman mati di Indonesia. Karena sama saja merampas hak seseorang bertobat. Menurutnya Indonesia telah terjebak dalam peraturan hukum di Arab Saudi. Tidak benar jika hukuman mati itu dianjurkan dalam Islam. Islam selalu mengajarkan cinta kasih terhadap umat manusia. Oleh karena itu dirinya melihat aneh jika Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam malah memberlakukan hukuman mati.

Dalam Islam

Sementara dalam hukum Islam, sanksi pidana yang dapat menyebabkan pelakunya dihukum mati terjadi pada tiga kasus.

لا يحلّ دم امرئ مسلم إلاّ بإحدى ثلاث : كفر بعد إيمان ووزن بعد إحصان وقتل نفس بغير نفس

“Tidak halal darah seseorang muslim kecuali sebab salah satu dari tiga hal: orang yang meninggalkan agamanya yang memisahkan diri dari jamaah, seorang janda/duda berzina dan karena membunuh jiwa.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Terfokus soal menghilangkan nyawa, dalam Islam membunuh satu orang saja sudah dianggap layak mendapatkan hukuman mati dalam hal ini adalah Qisash Nafs, hukuman mati sebagai ganti nyawa melayang karena pembunuhan. Bahkan luka kehilangan anggota badan saja diatur sedemikian rupa supaya adil. Apalagi pengedaran narkotika yang bisa saja membunuh manusia lebih dari satu orang bahkan ribuan orang. Soal pencegahan bertaubat, Tuhan jauh lebih berhak menerima atau menolak. Pertaubatan seseorang, tidak bisa menjadi alasan sebuah hukum.

Di sisi lain, Ulama kenamaan Aceh Ahmad Rifai yang menjabat sebagai  Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Barat mendukung hukuman mati terhadap terpidana kasus narkoba beberapa waktu lalu. Dia menganggap hukuman itu pantas karena kejahatan narkoba mengancam keselamatan umat.

Ahmad Rifa’I menarik garis pertemuan masalah melalui kacamata agama Islam,. Hukuman mati dalam Islam telah diatur menurut kriteria kejahatannya. Bahaya Narkoba tidak kalah sadisnya seperti membunuh dan mengancam keselamatan generasi muda bangsa. Hal ini diperkuat dengan data yang dikeluarkan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) yang mencatat dalam seharinya telah terjadi 50 kasus kematian karena narkoba.  BNN juga mencatat pengguna narkoba di negeri ini mencapai jumlah yang tidak tanggung-tanggung, 4 juta orang dari usia 10 hingga 59 tahun. Selain meninggalnya korban manusia, narkoba juga mengorbankan kekayaan Negara yang rugi hingga 63,1 triluin rupiah.

Tentunya dengan mengaca pada dasyatnya dampak narkoba tidak bisa diganti dengan nyawa satu orang pelaku yang berpotensi membunuh ribuan orang rakyat. Betapapun dianggap keji, penulis tidak membayangkan, bagaimana bisa tangisan beberapa orang saja bisa mengganti 63,1 triliun kerugian Indonesia dan terbunuhnya putra-putri bangsa dengan jumlah yang bisa saja melampauhi bencana alam. Slamet Pribadi, Humas BNN, menguatkan akibat narkoba dengan mengatakan bahwa generasi muda penkonsumsi narkoba cenderung tidak berprestasi, bertindak kriminal, apatis, dan pemicu perkelahian antar kelompok pemuda. Jika Pro-HAM membela beberapa gelintir manusia pengedar tersebut, hanya karena kejam, kiranya juga melihat pada sisi lain akibat perbuatan mereka yang justru lebih kejam, bahkan bisa dikatakan sebagai pembantaian.

Ancaman Dunia Internasional, Hanya Soal Emosional

Para pimpinan Negara yang warga negaranya dieksekusi karena narkoba di Indonesia melakukan protes keras dan menuduh Indonesia bertindak tidak manusiawi. Membayangkan tuduhan tersebut, rasanya bisa dikatakan adalah tuduhan bodong. Kekejaman yang dimaksud adalah kekejaman terhadap warganya saja. Australia yang menyingkirkan suku aborigin sebagai pemilik sah tanah benua di selatan dunia itu, apa kemudian dilupakan sebagai kekejaman. Contoh lain, Kekejaman Belanda dan Prancis menjajah beberapa bangsa di dunia, selama ratusan tahun apakah akan menjadi khazanah sejarah saja, dengan alasan itu sudah terjadi di masa lalu. Jika dibalikkan, apakah tidak bisa dikatakan apa yang terjadi hari ini suatu saat di masa depan tidak dianggap sebagai sejarah masa lalu?

Tuduhan itu, hanyalah emosional suatu bangsa yang ingin melindungi warganya. Namun sikap tersebut tidak bisa menjadi acuan dalam menentukan sikap Pemerintah Indonesia untuk mengubah haluan undang-undang. Karena akibat dari perbuatan tersebut, mempertaruhkan harkat dan martabat bangsa, proses pematangan generasi muda, dan masa depan Indonesia, penulis kira tidak patut disesali dan diputarbalikkan lagi. Apakah hukuman mati hanya di Indonesia? Apa pada titik alasan berat tertentu sebuah negara tidak bisa membunuh orang ?

Dengan adanya hukuman mati itu akan menjadi pembelajaran bagi kita semua, menjadi hal yang sangat ditakuti. Sehingga masyarakat tidak akan berani melakukan penyimpangan baik dari aturan agama maupun negara. Tindakan hukuman mati untuk para bandar ulung memang harus ditegakkan untuk menjaga reputasi hukum di Indonesia. Mencegah kemadharatan untuk menghambat kemadharatan yang lain yang lebih besar. Untuk menegakkan itu, memang tidak semulus tangan bidadari surga, melainkan bisa sekasar tangan petani di sawah memainkan pacul untuk mensukseskan hasil taninya. Anggaplah Indonesia Sedang bertani, yang suatu saat memanen hasilnya. Allahu a’lam bi al-shawab.

 

 * Penulis adalah Mahasiswi Universitas Hasyim Asy’ari (UNHASY) dan aktif di komunitas penulis muda Tebuireng, Sanggar Kepoedang.