Seorang loper koran bertopi merah berjalan menuju sebuah rumah tua arsitektur belanda, sambil bersuara tangannya mengambil koran kemudian melemparkannya di lantai depan pintu. Pemilik rumah mendangar suaranya namun tidak segera keluar dan si loper koran harus pergi meninggalkan rumah yang halamannya cukup luas itu.

Sekitar dua menit, seorang wanita berpakaian dress hitam berjalan dari dalam rumah membuka pintu dan mengambil koran yang tergeletak di lantai. Setelah membaca halaman pertama, dia meletakkan koran itu di atas meja kemudian masuk lagi dan menutup pintu. Lalu seorang pria keluar dengan kemeja biru langit dengan setelan dasi warna hijau tosca. Dia duduk di kursi yang menghadap ke halaman rumah sambil membaca koran yang sudah tersedia di atas meja. Di halaman 27,  dia sempat membaca dua orang nenek menjemur nasi basi. Foto keduanya sedang memakai kain kutang warna hitam. Mata mereka tampak nanar di antara kulit-kulit mukanya yang keriput.

Wanita berpakaian dress hitam datang membawa secangkir kopi, dia melihat sekilas pria yang sedang duduk membaca koran di depannya yang tak lain adalah suami si wanita sendiri.

“Saya gembira membaca halaman pertama koran pagi ini,” kata si wanita sambil meletakkan kopi di atas meja. Si pria hanya diam.

“Akhirnya kedua lembaga negara itu akur,” lanjutnya, tapi si pria hanya melirik kemudian membaca korannya kembali. Si wanita ikut duduk disitu dan diam. Setelah beberapa lama, dia masuk kembali ke dalam rumah ketika si pria hampir meletakkan koran dan meminum kopi yang berada di atas meja. Wanita berpakaian dress hitam itu keluar lagi, kali ini dia membawa tas hitam milik si pria.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Di sore yang jingga, seekor kucing berjalan menuju rumah tua arsitektur belanda itu. Ia berjalan megandap-ngendap kemudian masuk ke halaman rumah melalui lubang pagar seukuran tubuhnya dan meringkuk di bawah pohon cemara. Wanita pemilik rumah datang membawa kontong plastik berisi makanan sisa. Kantong plastik itu dibuang di tong sampah di dekat pohon cemara, tempat si kucing semula meringkuk kemudian terjaga. Setelah wanita itu pergi, mata si kucing terlihat mengkilat, menekuk kaki belakangnya lalu melompat ke dalam tong sampah. Kanyanglah dia di dalam sana sebab tak satupun kawanan kucing yang tahu tumpukan makanan itu kecuali dia sendiri, dia, si kucing hitam yang dahinya terbelah menjadi dua warna.

Di dalam rumah, wanita yang baru saja membuang kantong plastik itu duduk di sofa sambil menonton TV. Di depannya sudah tersedia secangkir teh hangat yang mengeluarkan aroma melati. Dia meminum teh hangat itu sambil sesekali melirik ke arah jam dinding yang berada di atas lukisan para petani karya Van Gogh. Setiap sore dia menunggu suaminya pulang kerja dengan duduk di sofa sambil melihat jam dinding dan lukisan itu. “Besok akan kubersihkan lukisan itu agar terlihat lebih terang,” pikirnya sambil beranjak mendekati lukisan  “Hiasan ini telah berumur lima tahun, mungkin lebih bagus kalau aku ganti dengan jenis rajutan motif bunga.” tiba-tiba dia punya pikiran kesana. “Atau kubiarkan saja lukisannya disini, aku tinggal mengecat dinding ruang tengah dengan warna lebih cerah.” Pikirannya terus menerawang di depan lukisan sampai tersadar tiba-tiba suaminya sudah berada dan berdiri di depan pintu.

“Ada apa dengan lukisan itu?” Tanya suami si wanita.

“Kita harus mengganti atau memindahkannya. Lukisan ini sudah lima tahun berada di sini.”

“Kamu selalu merasa risih dengan hal-hal kecil, cobalah menerima yang semestinya tak perlu kamu risihkan.” Tegur si suami yang sudah hampir empat tahun bekerja sebagai staf di kantor kabupaten itu. Sambil menaruh tas kerjanya di atas meja, dia duduk dan rebah di atas sofa. Si wanita mendekat mengambil tas itu kemudian pergi.

Malam hari, lampu kamar tidur mereka tidak dimatikan. Suara-suara terdengar dari dalam kamar. Meskipun tertutup kelambu, para tetangga yang kebetulan belum tidur bisa melihat bayangan mereka dalam malam. Bayangan dua orang sedang cek cok terpantul dari jendela rumah yang lampunya lupa dimatikan. terkadang sampai terdengar pecahan gelas atau kaca. Tidak sekali duakali mereka berselisih dan lupa mematikan lampu ketika malam. Para tetangga tidak pernah mau tahu dan tak mau ikut campur urusan mereka, meskipun ikut mendengar suara-suara pertengkaran itu.  

Dan di pagi harinya, loper koran bertopi merah sudah berdiri dan bersuara di depan rumah lalu melemparkan korannya di lantai depan pintu. Tiba-tiba seorang wanita keluar dari dalam rumah membawa tas ukuran besar dengan keadaan muka memar dan matanya tampak lebih sipit dibanding sebelumnya. Dia lewat di depan loper koran itu tanpa sepatah katapun dan si loper koran hanya melihat si wanita tanpa sepatah katapun. Kucing hitam yang dahinya terbelah dua warna juga melihat wanita itu berjalan lewat di depan matanya. Dari tadi dia meringkuk di bawah pohon cemara. Si kucing memperhatikan si wanita berjalan keluar halaman membawa tas ukuran besar. Dia mengeong satu kali kemudian diam ketika melihat si wanita hilang ke arah selatan.

Si kucing masih memandang lekat arah hilang si wanita. Nanti sore tidak ada wanita yang akan membuang kantong plastik berisi sisa makanan di tong sampah. Si kucing mengusap-usapkan kaki kanannya ke kepala kemudian membersihkan kaki itu dengan ludah lidahnya. kembali setelah itu mengeong satu kali dan memandang lagi ke arah pergi si wanita.  

Maka setiap pagi, setelah minggatnya wanita pemilik rumah itu. Si loper koran masih saja bersuara dan melempar koran di depan pintu meskipun dia melihat koran sisa kemarin masih tergeletak di lantai dan sebagian lagi di atas meja. Dia tidak mau berpikir lebih jauh mengenai keadaan rumah yang terlihat sepi dan di beberapa sudut rumah mulai tampak buram. Dia hanya mau berpikir tentang kewajibannya mengantar koran dan menagih biaya langganan di akhir bulan. Ketika dia akan kembali dan telah sampai di pagar halaman, dia melihat si pria pemilik rumah keluar mengambil koran di lantai dan duduk di kursi. Pria itu terlihat lusuh dengan kaos oblong dan celana pendeknya, dia membaca koran dalam keadaan muka kusut. Bahkan sebelum pergi, si loper koran sempat melihat si pria ongkang kaki di atas meja dan merokok. Itu yang menyebabkan si loper saat berada di atas sepeda bertanya dalam kepalanya “Kenapa dia belum bersiap-siap berangkat kerja hari ini?” pertanyaan yang seharusnya bukan urusannya, namun terpaksa muncul secara alamiyah di kepala si loper tanpa menyadari bahwa dirinya sebatas pengantar koran.

Maka setiap sore, setelah minggatnya wanita pemilik rumah. Si kucing yang kepalanya terbelah menjadi dua warna itu masih meringkuk di bawah pohon cemara. Berhari-hari bahkan berminggu-minggu dia tetap rutin datang dan meringkuk disitu. Dia masih berharap akan datang seorang wanita membawa kontong plastik berisi makanan sisa dan membuangnya di tong sampah di dekat pohon cemara, namun dia sudah berulang kali melompat ke dalam tong sampah itu dan disana tidak menemukan apapun yang bisa dia makan kecuali koran-koran yang dibuang oleh si pria. Dia tidak mungkin memakan koran-koran itu.

Namun pada suatu sore yang jingga, si kucing hitam datang dengan membawa tubuh kurus. Matanya telah rabun ditutupi tahi matanya. Dia meringkuk lunglai di bawah pohon cemara, menunggu si wanita itu datang, namun semua persetan. Sebelum matahari terbenam, kucing hitam yang lapar itu melompat masuk ke dalam tong sampah dan mengamuk disana. Dia bertengkar dengan koran-koran yang bergerak karena ulahnya sendiri. Dia memakan koran-koran itu kemudian memuntahkannya lagi. Amukannya membuat tong sampah terguling tumpah. Koran-koran berhambur keluar terburai dan si kucing hitam melompat ke luar lalu melihat seluruh isi tong sampah itu telah tercerai berai. Si kucing hitam duduk dan mengeong beberapa kali. Matanya melihat kearah matahari akan tenggelam.

Sebelum matahari benar-benar tenggelam, samar-samar si kucing hitam melihat si pria pemilik rumah berpakaian rapi keluar ke halaman. Si pria memandang jauh ke ujung jalan. Di ujung jalan, di pagar rumah arsitektur Belanda itu, seorang wanita berpakaian dress hitam telah berdiri tersenyum menunggu suaminya itu datang.[]

Cerpen ini pernah dimuat di Radar Mojokerto (Jawa Pos Group) pada Ahad (17/05/15)

 

*) Zen Sugendal, Pimred Majalah Tebuireng