sumpah jabatan dengan mengangkat al-quran. foto: kemenag

Dalam acara pelantikan pejabat pemerintah, biasanya terdapat prosesi pengambilan sumpah jabatan. Pengambilan sumpah jabatan ini lazim dibarengi tradisi pengangkatan mushaf al-Quran yang diletakkan di atas kepala pejabat yang hendak dilantik dan diambil sumpah jabatannya. Lantas, bagaimana sih sebenarnya hukum mengangkat mushaf al-Quran ketika pengambilan sumpah jabatan bagi pejabat pemerintah dalam tinjauan syariat Islam?

Sebelum kita bahas secara mendalam tentang hukum mengangkat mushaf al-Quran ketika prosesi pengambilan sumpah jabatan, kita perlu memahami bahwa memang fenomena demikian ini seolah telah menjadi tradisi di berbagai negara, termasuk di negara kita Indonesia.

Setiap kali ada acara pelantikan pejabat pemerintah, baik di tingkat daerah maupun nasional, tradisi mengangkat mushaf al-Quran ketika prosesi pengambilan sumpah jabatan telah menjadi agenda wajib dan tak tertinggalkan.

Sebagai seorang muslim yang cerdas, menjadi hal yang wajar bila kita bertanya mengenai hukum atas tradisi tersebut. Sebab, ketika membaca dan menelaah sirah nabawiyyah (sejarah kenabian), kita mendapati bahwa tradisi semacam ini belum ada pada masa Nabi. Demikian pula halnya pada masa khulafaur rasyidin. Karena, pada masa Nabi dan para sahabat, pejabat pemerintah dilantik dengan prosesi baiat, bukan sumpah yang dibarengi pengangkatan mushaf al-Quran di atas kepala.

Kemudian, kalau kita pahami dengan seksama, tradisi mengangkat mushaf al-Quran dalam prosesi pengambilan sumpah jabatan bagi pejabat pemerintah sebenarnya bertujuan untuk menegaskan sumpah yang diambil. Maksudnya, al-Quran sebagai kalamullah sekaligus kitab suci bagi umat Islam dihadirkan untuk menjadi simbol penegas bahwa sumpah yang diambil oleh pejabat pemerintah tidak sekadar sumpah biasa.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Adapun menegaskan (memberatkan) sumpah menggunakan al-Quran merupakan perkara yang diperbolehkan, bahkan justru dianjurkan dalam kondisi tertentu. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Sayyid Abi Bakr Muhammad Syatho ad-Dimyathi dalam kitab I’anah ath-Thalibin (4/363-364) berikut:

ومن التغليظ أن يوضع المصحف في حجره ويطلع له سورة براءة، ويقال له ضع يدك على ذلك ويقرأ قوله تعالى: إن الذين يشترون… الآية.

Artinya: “Dan termasuk memberatkan (menegaskan) sumpah ialah dengan meletakkan mushaf Al-Quran dalam pangkuannya (orang yang bersumpah) dan diperlihatkan (pula) Surah Bara’ah (At-Taubah) kepadanya. Kemudian, dikatakan kepadanya: ‘taruhlah tanganmu di atas ini (mushaf)’ dan dibacakan ayat “innalladzina yasytarun… (QS: Ali Imran ayat 77; hingga akhir ayat)” kepadanya.”

Dari keterangan di atas, kita dapat mengambil simpulan bahwa tradisi mengangkat mushaf al-Quran ketika prosesi pengambilan sumpah jabatan adalah hal yang boleh dilakukan. Sebab, tradisi demikian dinilai dapat mendatangkan kebermanfaatan dan kebaikan, yakni menegaskan kepada para pejabat yang dilantik agar menjadi sosok pemimpin yang benar-benar serius dan bertanggung jawab terhadap mandat jabatan yang diamanahkan.

Di samping itu, tradisi mengangkat mushaf al-Quran ketika prosesi pengambilan sumpah jabatan juga menjadi simbol bahwa kehadiran al-Quran dijadikan sebagai pengikat hati para pejabat agar senantiasa konsisten dalam jalan kebaikan dan kebenaran (sebagaimana pedoman hidup yang terkandung dalam al-Quran) selama menjabat sebagai pemimpin rakyat.

Kehadiran tradisi qur’ani demikian ini juga diharapkan mampu menjaga hati para pejabat agar tidak berbuat curang dan menyalahi janji atau sumpah yang telah diucapkan. Sehingga, para pejabat yang dilantik diharapkan benar-benar menjadi sosok pemimpin yang bersih, amanah, dan bertanggung jawab dalam menjalankan roda kepemimpinan, serta berjuang keras untuk menunaikan apa-apa yang menjadi kewajibannya sebagai pemimpin sekaligus pejabat pemerintah.

Memang sudah semestinya, sebagai pemimpin rakyat, para pejabat pemerintah yang dilantik wajib menepati janji dan tidak mengingkari sumpahnya. Karena, perbuatan tidak menepati janji dan mengingkari sumpah sejatinya telah dilarang keras oleh Allah SWT dalam firman-Nya berikut:

إِنَّ الَّذِينَ يَشْتَرُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَأَيْمَانِهِمْ ثَمَنًا قَلِيلًا أُولَٰئِكَ لَا خَلَاقَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ وَلَا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ وَلَا يَنظُرُ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat bahagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat dan tidak (pula) akan mensucikan mereka. Dan bagi merekalah azab yang pedih.” (QS. Ali Imran [3]: 77).

Demikian ulasan mengenai hukum mengangkat mushaf Al-Quran ketika prosesi pengambilan sumpah jabatan dalam acara pelantikan para pejabat pemerintah. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

Baca Juga: Hukum Menyentuh Mushaf Al-Quran saat Berhadas


Penulis: Dhonni Dwi Prasetyo