Pernikahan dalam perspektif Islam memiliki kedudukan yang sangat penting dan sakral. Dalam ungkapan lain, pernikahan merupakan sebuah ikatan suci sehingga pasangan suami istri harus menjunjung tinggi ikatan tersebut serta teguh mempertahankan dan menjaganya. Tidak heran ketika seseorang mengarungi rumah tangga terjadi perbedaan bahkan perselisihan antara suami dan istri karena sejatinya mereka memang berbeda latar belakang, karakter dan budaya. Maka, tujuan dari pernikahan bukanlah untuk merubah salah satu menjadi seperti lainnya, akan tetapi masing-masing dituntut untuk bisa memahami dan menerima perbedaan yang ada di antara keduanya sehingga tercipta keluarga yang sakinah.
Akan tetapi, penulis ingin mengangkat beberapa tema mengenai pernikahan. Membahas beberapa tema yang berkaitan dengan pernikahan dirasa perlu dan penting, karena seperti yang dijelaskan di atas bahwa pernikahan merupakan sesuatu yang sakral dan merupakan ikatan yang suci. Dalam rangka menjaga kesucian dan kesakralan pernikahan, maka mari kita pelajari bersama perihal pernikahan.
Hukum Pernikahan
Mungkin selama ini, banyak dari kita beranggapan bahwa hukum nikah adalah sunnah, berdasarkan hadis Nabi Saw., “annikahu sunnati, faman roghiba ‘an sunnati falaisa minni”. Tidak sedikit dari kita memahami hadis tersebut menjadi dalil akan kesunnahan menikah. Namun, dalam salah satu referensi yakni Hasyiyah al-Bajuri ‘ala fatkhul al-Qorib disebutkan bahwa hukum asal dari nikah adalah mubah (boleh). Hukum mubah ini bisa berubah menjadi sunnah jika ada tujuan menjaga diri dari perbuatan buruk, memiliki anak atau sesamanya.
(قَولُهُ مُستَحَبٌّ) اى اِستِحبَابًا عَارِضًا لِأَنَّ اَصلَهُ الإِبَاحَةُ لَكِن اِن قَصَدَ بِهِ العِفَّةَ اَوحُصُولَ وَلَدٍ اونحو ذلك صَارَ طَاعَةً
“(Ungkapan: hukumnya sunnah) yakni dengan hukum sunnah yang baru. Sebab hukum asalnya adalah mubah. Namun jika dengan menikah ada tujuan menjaga diri, menghasilkan anak atau semisalnya, maka menjadi ibadah”.
Berdasarkan keterangan tersebut sudah jelas bahwa hukum asal dari nikah adalah mubah. Hukum tersebut bisa berubah menjadi sunnah jika memang diniatkan untuk menjaga diri, menjaga nasab atau semisalnya.
Nikah Tidak Memiliki Biaya, Puasa Tidak Mampu, Namun Syahwat Memuncak
Hal tersebut mungkin menjadi dilema bagi kalangan muda saat ini. Diri sendiri menginginkan menikah akan tetapi tidak memiliki biaya nikah; mengikuti “arahan” dari nabi untuk berpuasa tetapi tetap saja tidak mampu mengalahkan syahwatnya, lalu bagaimana sikap yang harus diambil?
Berdasarkan Hasyiyah Qutu al-Habib al-Ghorib Tausyekh ‘ala Fatkhul Qorib disebutkan bahwa langkah yang selayaknya diambil adalah hendaknya menikah dan tawakkal.
(فَاِن فَقَدَ الأُهبَةَ) مَعَ تَوقَانِهِ لِلوَطءِ (لَم يُستَحَبُّ لَهُ النِّكَاحُ) بَل يُستَحَبُّ لَهُ تَركُهُ وَيَكسِرُ شَهوَتَه بِالصَّومِ فَإِن لَم تَنكَسِر بِالصَّومِ يتَزَوَّجُ وَيُتَوَكَّلُ عَلَى اللهِ فَاِنَّ اللهَ تَكَفَّلَ بِالرِّزقِ لِلمُتَزَوِّج بِقَصدِ العَفَافِ
“(Maka bila tidak punya biaya) disertai kondisi sangat berhasrat terhadap jimak (maka tidak disunnahkan baginya menikah) melainkan sunnah baginya untuk menjauhi nikah dan menghancurkan syahwatnya dengan puasa. Jika tidak hancur dengan puasa, maka hendaknya ia menikah dan bertawakkal. Karena Allah Ta’ala akan menanggung rizki orang yang menikah dengan tujuan menjaga dari keharaman”.
Kriteria “Manfaat” yang Sah Dijadikan Sebagai Mahar
Mahar merupakan sesuatu yang sangat penting dalam pernikahan, maka dari itu mahar hukumnya wajib. Bahkan ada ulama yang berpendapat bahwa mahar hukumnya wajib, meskipun kedua belah pihak rela tidak adanya mahar. Lantas, kriterianya bagaimana mahar dikatakan sah? Maka, dalam hal ini di dalam kitab Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Fatkhul al-Qorib disebutkan bahwa kriterianya adalah manfaat yang legal untuk dikontrak sewakan, seperti misalnya manfaat berupa mengajar yang terdapat unsur beban di dalamnya.
(قولُه ويجُوزُ أَن يَّتَزَوَّجَهَا على مَنفَعَةٍ مَعلُومَةٍ) أي لِلمُتَعَاقِدَينِ وَلَا بُدَّ أَن تَكُونَ مِمَّا يَجُوزُ الإِستِئجَارُ لَهَا كَتَعلِيمٍ فِيهِ كُلفَةٌ حَتَّى لَو أَصدَقَ الكِتَابِيَّةِ تَعلِيمَ الشَّهَادَتَينِ فَإِن كَانَ فِيهِ كُلفَةٌ صَحَّ وَإِلَّا فَلَا
“(Ungkapan: boleh calon suami menikahinya dengan mahar berupa manfaat yang diketahui) yakni oleh dua pihak. Dan wajib manfaat tersebut termasuk dari manfaat yang sah disewakan. Seperti mengajar, yang terdapat kesulitan di dalamnya. Hingga andaikan memberi mahar kepada Wanita kitabiyah berupa mengajari dua kalimat syahadat, maka bila di dalamnya terdapat segi sulit maka sah, jika tidak ada maka tidak sah”.
Mahar Nikah Berupa Mengajarkan Al-Quran
Sebelum membahas mengenai mahar nikah berupa mengajarkan al-Quran, perlu kita pahami batasan minimum dan maksimum dalam memberikan mahar. Dalam kitab Fatkhul al-Qorib sudah jelas bahwa tidak ada batasan tertentu dalam ukuran mas kawin dan juga tidak ada batasan tertentu di dalam ukuran maksimal mas kawin.
(وَلَيسَ لِاَقَلِّ الصَّدَاقِ) حَدٌّ مُعَيَّنٌ فِي قِلَّةٍ (وَلَا اَكثَرِهِ حَدٌّ) مُعَيَّنٌ فِي الكَثرَةِ
“Tidak ada batasan tertentu di dalam ukuran minimal mas kawin. Dan juga tidak ada batasan tertentu di dalam ukuran maksimal mas kawin”.
Kemudian, setelah kita mengetahui batasan minimum dan maksimum dalam memberikan mahar, kita akan membahas mengenai seseorang yang mahar nikah berupa mengajarkan al-Quran. Bolehkah mahar nikah berupa mengajarkan al-Quran? Seperti pada penjelasan di atas (kriteria “manfaat” yang sah dijadikan sebagai mahar) bahwasanya boleh mengajarkan al-Quran sebagai mahar. Lebih lanjut dijelaskan, mengajarkan al-Quran boleh dijadikan sebagai mahar baik mengajarkan seluruh al-Quran atau hanya surat-surat tertentu atau seperempatnya saja. Mari kita simak penjelasan di bawah ini:
وَلَا فَرقَ فِي تَعلِيمِ القرآنِ بَينَ أَن يَكُونَ لِكُلِّهِ كَمَا هُوَ ظَاهِرُهُ أَولِسُورَةٍ مُعَيَّنَةٍ مِنهُ كَالفَاتِحَةِ وَغَيرِهَا أَولِقَدرٍ مُعَيَّنٍ مِن سُورَةٍ مُعَيَّنَةٍ كَرُبُعٍ مِن سُورَةِ يس وَإِن كَانَت تَعرِفُهُ وَلَو بِقِرَاءَتِهِ عَلَيهَا
“Dan tidak terdapat perbedaan mengenai mengajarkan al-Quran antara mengajari seluruh al-Quran atau mengajarkan surat-surat tertentu seperti surat al-Fatihah atau surat lainnya, atau mengajarkannya pada batasan tertentu dari sebuah surat yang telah ditentukan seperti seperempat dari surat Yaasiin, meskipun Wanita tersebut telah mengetahuinya. Dan walaupun dengan cara membacakan al-Quran tersebut pada si dia”.
Sunnah Menyebutkan Mahar Saat Akad Nikah
Mungkin dari kita masih beranggapan bahwa menyebutkan mahar saat akad nikah adalah sesuatu yang menentukan sah tidaknya pernikahan. Padahal, berdasarkan referensi-referensi yang ada bahwa menyebutkan mahar saat akad nikah disunnahkan. Lantas, mengapa dalam pernikahan kenapa disunnahkan menyebutkan mahar?
(قَولُهُ وَيُستَحَبُّ تَسمِيَّةُ المَهرِ الخ) أي وَيُسَنُّ لِلعَاقِدِ ذِكرُ المَهرِ الخ لِأَنَّهُ صلّى الله عليه وسلّم لَم يَخِل نِكَاحًا عَنهُ وَلِأَنَّهُ أَدفَعَ لِلخُصُومَةِ بَينَ الزَّوجَينِ وَلِئَلاَّ يُشبِهَ نِكَاحَ الوَاهِبَةِ نَفسَهَا لَهُ صلى الله عليه وسلم.
“(Ungkapan: dan disunnahkan menyebutkan mahar …..) maksudnya disunnahkan bagi calon suami yang melakukan akad untuk menyebutkan mahar ….., dikarenakan Nabi Saw. tidak pernah mengkosongkan akad pernikahan dari penyebutan mahar. Dan juga karena dengan menyebutkan mahar bisa menolak adanya perselisihan antara dua mempelai. Dan juga supaya tidak menyerupai pernikahan wanita yang merelakan dirinya kepada Nabi Saw.”.
Wali Mewakilkan Kepada Orang Lain Tapi Wali Ikut Hadir
Tidak sedikit orang menikah tidak dinikahkan langsung oleh walinya, tetapi diwakilkan. Ada beberapa alasan mengapa wali nikah diwakilkan, di antara alasannya adalah walinya merasa tidak mampu menjadi wali sehingga diwakilkan. Jika seorang santri, sudah menjadi hal yang sangat umum bahwa gurunya yang menikahkan. Alasan terkuat mengapa wali nikah diwakilkan gurunya yakni ingin mengambil berkah gurunya. Lantas, bagaimana hukumnya mewakilkan wali nikah kepada orang lain, sedangkan walinya sendiri hadir di majelis akad? Mari kita simak penjelasan di Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Fatkhul al-Qorib berikut ini:
فَلَو وَكَلَّ الأَبُ أَوِ الأَخُ المُنفَرِدُ فِي العَقدِ وَحَضَرَ مَعَ أَخَرَ لِيَكُونَا شَاهِدَينِ لَم يَصِحَّ لِأَنَّهُ مُتَعَيَّنٌ لِلعَقدِ فَلاَ يَكُونُ شَاهِدًا
“Seandainya seorang ayah atau saudara mewakilkan pada orang lain dalam melaksanakan akad (nikah), dan ia hadir bersama orang lain untuk menjadi saksi (rangkap fungsi: sebagai orang yang mewakilkan sekaligus juga sebagai saksi) maka akadnya tidak sah karena ia ditentukan sebagai (pelaku) akad bukan sebagai saksi”.
Berdasarkan pemaparan di atas, kehadiran wali nikah setelah tawkil (mewakilkan pada orang lain) dan tidak menjadi saksi dalam pernikahan tersebut maka tidak masalah (baca: sah), tetapi jika kehadiran wali nikah sekaligus menjadi saksi pernikahan setelah dia tawkil maka bisa mengakibatkan akad pernikahan tersebut tidak sah.
Baca Juga: Sahabat Nabi Menikah dengan Mahar Al-Quran
Penulis: Muhammad Luthfi Anam Khoirudin