Ilustrasi urinoar

Perihal hukum kencing berdiri, masyhur di telinga kita kalau kesunnahan ketika buang air kencing (buang hajat) ialah dengan posisi duduk (yang dimaksud kencing dengan duduk dalam pembahasan ini adalah kencing dengan posisi jongkok). Hal ini sudah banyak yang membahasnya baik dari kitab-kitab fikih ataupun yang lainnya karena ada riwayat hadis dari Aisyah kalau Rasulullah SAW tidak pernah kencing kecuali dengan posisi duduk, tapi ternyata ada hadis yang memberitakan kalau Rasulullah SAW pernah kencing dengan posisi berdiri di sebuah tempat pembuangan sampah suatu kaum, berikut teks hadisnya,  

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَرْعَرَةَ قَالَ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ، عَنْ مَنْصُورٍ ، عَنْ أَبِي وَائِلٍ قَالَ : كَانَ أَبُو مُوسَى الْأَشْعَرِيُّ يُشَدِّدُ فِي الْبَوْلِ وَيَقُولُ: إِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَ إِذَا أَصَابَ ثَوْبَ أَحَدِهِمْ قَرَضَهُ . فَقَالَ حُذَيْفَةُ: لَيْتَهُ أَمْسَكَ ، أَتَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُبَاطَةَ قَوْمٍ ، فَبَالَ قَائِمًا .

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Ar’arah berkata, telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Manshur dari Abu Wa’il ia berkata, Abu Musa al-Asy’ari sangat berlebihan dalam urusan kencing, ia berkata, “Jika Bani Israil kencing lalu mengenai pakaiannya, maka mereka memotong pakaiannya.” Maka Hudzaifah pun berkata, “Aku tidak setuju! Sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah kencing sambil berdiri di tempat pembuangan sampah.”

Fiqhul Hadis Kencing Berdiri

Hadis di atas diriwayatkan oleh Hudzaifah yang menyatakan kalau nabi pernah kencing dalam kondisi berdiri di sebuah tempat pembuangan sampah suatu kaum, derajat hadis tersebut sahih dan banyak memiliki tawabi’. Tetapi ternyata ada hadis yang lain yang  bertentangan mengenai hal itu, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah,

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: «مَنْ حَدَّثَكُمْ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَالَ قَائِمًا فَلَا تُصَدِّقُوهُ؛ مَا كَانَ يَبُولُ إِلَّا جَالِسًا»[1]

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dari Aisyah dia berkata, “Barang siapa mengabarkan kepadamu bahwa Rasulullah buang air kecil sambil berdiri, jangan kamu mempercayainya, karena Rasulullah tidak buang air kecil kecuali sambil duduk.”

Lalu bagaimana sejatinya kita dalam memahami dua hadis yang saling kontradisksi ini?. Para ulama merumuskan beberapa metodologi dalam menyikapi dua hadis yang dhohir/lafadz saling kontadiksi, dalam ilmu hadis permasalahan ini disebut sebagai ta’arudl al-Hadis, ulama membagi tahapan dalam menyikapi hal ini, yang pertama jam’u, kedua tarjih, ketiga nasakh mansukh, keempat tawaqquf,  yang terakhir adalah ta’wil.[2]

Ulama berpendapat kalau dua hadis di atas bisa di-jam’u (kompromi), bahwa hadis yang berasal dari Aisyah semata-mata berasal dari pengetahuannya sendiri kalau Nabi Muhammad SAW tidak pernah kencing dalam kondisi berdiri, tapi bukan berarti ketika seseorang tidak mengetahui suatu hal lantas hal itu tidak pernah terjadi, dalam hal ini Ibnu Hajar pernah berkomentar,

وَالصَّوَابُ أَنَّهُ غَيْرُ مَنْسُوخٍ وَالْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ عَائِشَةَ أَنَّهُ مُسْتَنَدٌ إِلَى عِلْمِهَا فَيُحْمَلُ عَلَى مَا وَقَعَ مِنْهُ فِي الْبُيُوتِ وَأَمَّا فِي غَيْرِ الْبُيُوتِ فَلَمْ تَطَّلِعْ هِيَ عَلَيْهِ

Dan yang benar adalah hadis tadi (yang diriwayatkan Hudzaifah tidak di Nasakh, untuk menjawab hadis yang diriwayatkan Aisyah bahwa sesungguhnya hal itu adalah berkaitan dengan apa yang ia ketahui ketika (nabi) di dalam rumah, dan apabila di luar rumah ia tidak mengetahui hal tersebut.[3]

Kemudian ada juga komentar dari Ibnu Qutaibah dalam kitabnya Ta’wil Mukhtalaf al-Hadis menyebutkan kalau sebenarnya dua hadis ini tidaklah bertentangan, karena memang Rasulullah SAW tidak pernah kencing dalam keadaan berdiri di rumah, dan hal ini diketahui oleh Aisyah, lalu memang pernah beliau kencing dengan kondisi berdiri, tapi itu semata-mata karena beliau tidak memungkinkan untuk buang hajat dalam kondisi duduk, karena pada waktu itu beliau ada di sebuah pembuangan sampah suatu kaum, dan di situ tidak memungkinkan untuk duduk dalam buang hajat/kencing.[4]

Mengenai alasan mengapa Rasulullah SAW kencing dengan keadaan berdiri, ada beberapa pendapat yang menyatakan alasan-alasan kenapa Rasulullah kencing dengan berdiri yaitu,

  1. Diriwaratkan dari imam as-Syafi’i bahwasannya kebiasaan orang Arab ketika mengobati tulang sulbi-nya (tulang punggung), mereka melakukan kencing dengan posisi berdiri. Pendapat ini dikutip oleh imam Nawawi[5], Zakaria al-Anshori[6], dan Ahmad Khatib as-Syirbini[7].
  2. Pendapat kedua yang mengatakan alasan mengapa Rasulullah SAW kencing dengan berdiri ialah karena pada waktu itu beliau punya masalah dengan lututnya sehingga tidak memungkinkan untuk duduk[8].
  3. Alasan ketiga mengapa Rasulullah SAW kencing dalan keadaan berdiri ialah karena letak geografis dari tempat pembuangan sampah tersebut tidak memungkinkan untuk digunakan buang hajat dalam keadaan duduk. Dalam hal ini imam Nawawi berpendapat kalau kencing dengan kondisi berdiri sifatnya jawaz/boleh dengan syarat ketika buang hajat ada sebuah bangunan di sisinya yang tinggi[9]. Kemudian ada alasan lain yaitu tempat pembuangan sampah tersebut kemungkinan ada najisnya yang basah di tanah yang lembek dan kemungkinan akan terciprat jika kencing dengan posisi duduk, ini merupakan pendapat al-Mundziri[10].

Hukum Kencing di Urinoar

Kemudian di zaman modern ini kita dihadapkan dengan berkembangnya teknologi yang menyasar semua sektor, salahsatunya adalah desain bangunan (konstruksi), dalam sebuah inovasi modern kita ditawarkan sebuah prototype yang biasanya ada di kamar mandi hotel, bioskop, mall, dan tempat-tempat yang kesannya modern. Prototype itu adalah Urinoar, sebuah alat yang seakan-akan memaksa para pria khusunya untuk kencing dengan berdiri tanpa adanya udzur syar’i. Lantas bagaimana hukum kencing di alat tersebut tanpa adanya udzur syar’i?.

Untuk menjawab permasalahan tersebut sebenarnya uraian di atas sudah bisa menjawab, karena menurut Imam Nawawi hukum kencing berdiri adalah jawaz, dan juga ada statement dari Umar bin Khattab kalau kencing dalam keadaan berdiri (bagi laki-laki) itu lebih aman bagi duburnya[11], tetapi ada juga ulama lain yang berpendapat kalau hukum dari kencing berdiri adalah makruh kecuali tanpa adanya udzur, ulama yang berpendapat seperti ini di antaranya adalah Syekh Sulaiman bin Muhammad bin Umar al-Bujairomi[12] dan Taqi al-Din al-Syafi’i[13], tetapi kemakruhannya hanya sebatas tanzih tidak sampai tahrim.[14]

Dalam hal ini sebaiknya memang kita lebih baik ketika kencing (bagi laki-laki khusunya) dalam keadaan duduk, jika memang kita tidak menemukan toilet yang mengharuskan untuk kencing dengan berdiri maka boleh-boleh saja kencing dengan posisi berdiri dengan syarat dia harus mampu sempurna dalam bersuci setelah kencing tetapi hukumnya makruh, karena suatu waktu Rasulullah SAW pernah bersabda juga tentang seorang yang disiksa di dalam kubur dikarenakan ia tidak bersuci dengan sempurna setelah kencing (buang hajat).

Kesimpulan

  • Hadis yang diriwayatkan oleh Hudzaifah hukumnya sahih.
  • Walaupun ada kontradiksi dengan hadis riwayat Aisyah yang sama-sama sahihnya, tapi kedua hadis tersebut bisa dikompromikan.
  • Kencing dengan berdiri tanpa adanya udzur syar’i hukumnya makruh.
  • kencing dengan berdiri disunnahkan jika di lakukan di tempat yang sekiranya jika dilakukan dengan duduk akan khawatir terkena cipratannya.
  • Hukum kencing di Uniroar adalah makruh.
  • Kemakruhan tersebut hilang dan menjadi jawaz/mubah jika memang tidak ada tempat lain untuk kencing dengan duduk (jongkok) dan ia lebih merasa nyaman kencing dengan berdiri dan dianggap lebih efisien untuk menghindari tercipratnya air seni ke baju.

[1] An-Nasa’i, Sunan an-Nasai, Maktabah al-Matbu’ah al-Islami, cet ke-2, 1986, hal 26, juz 1, no hadis 29

[2] Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’ani Hadits, (Yogyakarta, Idea Press cet 2 thn 2016), hal 87

[3] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, (Beirut, Dar al-Ma’rifah), hal 330, juz 1

[4] Ibnu Qutaibah ad-Dinawari, Ta’wil Mukhtalaf al-Hadis, (Maktabah al-Islami), cet ke-2 1999, hal 152

[5] an-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhaddzab, (Dar al-Fikr), hal 84 juz 2

[6] Zakaria al-Anshori, Asna al-Matholib, (Dar al-Kitab al-Islami), hal 49 juz 1

[7] Ahmad Khatib as-Syirbini, Mughni Muhtaj Ila Ma’rifati Ma’ani Alfadzi Minhaj, (Dar al-Kutub al-Ilmiyah), cet ke-1, hal 158 juz 1

[8] an-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhaddzab, (Dar al-Fikr), hal 84 juz 2

[9] Ibid

[10] Badru ad-Din al-Aini, Umdatul Qari Syarah Sahih bukhari, (Beirut Dar Ihya’ Turats al-Arabi), hal 136 juz 3

[11] Abu al-A’la Muhammad Abd al-Rahman bin Abd al-Rahim al-Mubarakpur, Tuhfatul Ahwadi Syarah Jami’ Tirmidzi, (Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiyah), hal 60 juz 1

[12] Syekh Sulaiman bin Muhammad bin Umar al-Bujairomi, Hasyiah Bujairomi ala al-khotib, (Dar al-Fikr), thn 1995, hal 196 juz 1

[13] Taqi al-Din al-Syafi’i, Kifayah al-Akhyar, (Damaskus, Dar al-Khair), cet ke-1 1994, hal 35 juz 1

[14] An-Nawawi, al-Minhaj Syarah Sohih Muslim bin al-Hajjaj, (Beirut, Dar Turats Ihya’ al-Arobi), cet ke-2, hal 166 juz 3


Nurdiansyah, Santri Tebuireng