Kebiasaan para santri saat usai mengaji kitab, di Pesantren Tebuireng. (Foto: Kopiireng)

Sudah menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia berdiri untuk menghormati orang lain, terutama berdiri kepada orang-orang penting dan terhormat seperti kiai, guru, pejabat, dan figur public. Budaya berdiri untuk menghormati orang lain di masyarakat kita bukan hanya terjadi ketika kunjungan dari orang-orang yang dimuliakan saja (menyambut tamu), tetapi paling sering ditemukan di ruang-ruang pendidikan, terutama pesantren. Murid atau santri terbiasa berdiri kepada guru dan kiai saat mereka tiba di ruang kelas. Bahkan, dalam budaya sebagian pesantren yang anti-mainstream, hanya sekedar lewat di hadapan mereka kendaraan pribadi kiai, santri-santri tersebut sudah mengambil sikap berdiri takzim, hormat kepada kiai.

Terhadap persoalan di atas, terdapat satu hadis sahih yang diriwayatkan dalam kitab Sunan Abi Dawud:

حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ ، حَدَّثَنَا حَمَّادٌ ، عَنْ حَبِيبِ بْنِ الشَّهِيدِ ، عَنْ أَبِي مِجْلَزٍ قَالَ : خَرَجَ مُعَاوِيَةُ عَلَى ابْنِ الزُّبَيْرِ وَابْنِ عَامِرٍ، فَقَامَ ابْنُ عَامِرٍ وَجَلَسَ ابْنُ الزُّبَيْرِ، فَقَالَ مُعَاوِيَةُ لِابْنِ عَامِرٍ : اجْلِسْ ؛ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ :  مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَمْثُلَ لَهُ الرِّجَالُ قِيَامًا ؛ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ.

Dari Abi Mijlaz yang berkata: suatu hari Mu’awiyah datang kepada Ibn Zubair dan Ibn ‘Amir, kemudian Ibn Amir berdiri tegak dan Ibn Zubair tetap duduk. Lalu Muawiyah berkata kepada Ibn Amir, “Duduklah, sesungguhnya aku mendengar Rasulullah Saw Bersabda: Barang siapa yang suka orang lain berdiri untuknya, maka sediakanlah baginya tempat di neraka.” (HR. Abu Daud no. 5229)

Hadis di atas selain diriwayatkan oleh Imam Abu Daud juga disebutkan oleh Imam Ahmad dalam kitab musnadnya. Imam Ahmad juga meriwayatkan hadis ini dari sahabat Mu’awiyah dengan nomor hadis 16830 dan 16845. Para ulama hadis menghukumi hadis ini sebagai hadis sahih, artinya sah untuk dijadikan hujah atau wajib diamalkan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Lantas apakah budaya yang selama ini mendarah daging di masyrakat Indonesia, khususnya kaum pesantren, kemudian salah?

Dalam memahami suatu hadis, sangat penting memperhatikan keterangan dari para ulama terhadap hadis tersebut. Mengenai hadis di atas, Imam Ibn Hajar al-‘Asqolani dalam kitabnya fathul bari menerangkan bahwa Imam an-Nawawi berkomentar mengenai hadis tersebut.

إن الأصح والأولى بل الذي لا حاجة إلى ما سواه أن معناه زجر المكلف أن يحب قيام الناس له، قال: وليس فيه تعرض للقيام بنهي ولا غيره وهذا متفق عليه[1]

Pemahaman yang paling benar dan utama, bahkan tidak perlu pendapat yang lain, bahwa hadis tersebut merupakan hinaan/celaan kepada seorang mukalaf yang suka orang-orang berdiri untuknya. Hadis ini tidak melarang sikap berdiri kepada orang lain. Demikian yang disepakati oleh jumhur ulama.

قال والمنهي عنه محبة القيام فلو لم يخطر بباله فقاموا له أو لم يقوموا فلا لوم عليه فإن أحب ارتكب التحريم سواء قاموا أو لم يقوموا

Adapun sesuatu yang dilarang dalam hadis ini adalah perasaan senang ketika orang lain berdiri untuknya. Ketika tidak terlintas dalam pikirannya perasaan “senang” tersebut, baik orang-orang berdiri ataupun tidak, maka tidak ada masalah. Namun, ketika ia “senang”, maka di situlah letak keharamannya.

قال فلا يصح الاحتجاج به لترك القيام فإن قيل فالقيام سبب للوقوع في المنهي عنه قلنا هذا فاسد لأنا قدمنا أن الوقوع في المنهي عنه يتعلق بالمحبة خاصة انتهى

Imam an-Nawawi berpendapat bahwa tidak benar berdalih menggunakan hadis di atas untuk meninggalkan sikap berdiri. Ketika ada yang berdalil bahwa sikap “berdiri menjadi sebab terjadinya suatu larangan.” Maka kami jawab, ini adalah pendangan yang rusak. Telah dipaparkan dahulu bahwa sebab terjadinya suatu larangan adalah orang yang senang orang lain berdiri untuknya saja.

Kesimpulannya ialah sikap berdiri untuk orang lain yang ada dalam budaya masyarakat Indonesia itu tidak menjadi masalah, terlebih dalam dunia pendidikan pesantren. Sikap berdiri menyambut kiai itu bukan tanpa alasan. Imam an-Nawawi dalam kitabnya al-adzkar bahkan menyebutkan,

وأما إكرام الداخل بالقيام، فالذي نختاره أنه مستحبّ لمن كان فيه فضيلة ظاهرة من علم أو صلاح أو شرف أو ولاية مصحوبة بصيانة، أوله ولادة أو رحم مع سنّ ونحو ذلك، ويكون هذا القيام للبِرّ والإِكرام والاحترام، لا للرياء والإِعظام، وعلى هذا الذي اخترناه استمرّ عمل السلف والخلف[2]

Memuliakan orang yang datang dengan berdiri adalah perbuatan yang dianjurkan terutama kepada orang yang memiliki kemuliaan (Kyai, guru, pemimpin, dll). Sikap berdiri yang dilakukan dalam rangka kebaikan, memuliakan, dan penghormatan, bukan dalam bentuk riya dan pengagungan kepada mereka. Hal demikian ini merupakan adab yang dilakukan oleh para ulama sejak zaman dahulu hingga sekarang.

Terakhir, Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari dalam kitab adabu al-‘alim wa al-muta’allim juga menuliskan,

أربعة لا يأنف الشريف منهن وإن كان أميرا، قيامه من مجلسه لأبيه، وخدمته لعالم  يتعلم منه، والسؤال عما لا يعلم، وخدمته لضيفه.

Ada 4 hal yang tidak pernah bosan dilakukan oleh syarif Ja’far ash-Shadiq meskipun sudah menjadi raja. Pertama, berdiri dari majelis karena ayahnya. Kedua, khidmah kepada orang berilmu yang mengajarkannya. Ketiga, bertanya terhadap sesuatu yang tidak diketahui. Keempat, khidmah kepada tamu.


[1] Fathul Bari, 11, 53.

[2] Al-Adzkar an-Nawawi, 439


Alfahrizal, Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari