Analis Kebijakan Madya Bidang Penmas Divhumas Polri, Kombes Pol. Sulistyo Pudjo Hartono “Dinamika Hubungan Agama dan Politik dalam Perspektif Keamanan” dalam semianr “Mencari Kesepakatan tentang Makna Politisasi Agama” di Pesantren Tebuireng pada Ahad (04/03/2018). (Foto: Kopiireng)

Tebuireng.online— Politik merupakan cara, proses, manajemen untuk mencapai kekuasaan. Sementara politisasi adalah politik manipulasi pengetahuan keagamaan dengan cara propaganda. Propaganda paling efektif yang digunakan saat ini adalah media sosial dengan melakukan indoktrinasi dan kampanye yang disebarluaskan dan disosialisasikan di ruang publik agar terjadi perubahan pemahaman permasalahan seolah-olah merupakan pembuktian kebenaran.

Hal itu disampaikan oleh Kombes  Pol. Sulistyo Pudjo Hartono, sebagai salah satu narasumber pada acara Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Pemikiran Hasyim Asy’ari Tebuireng di Gedung KH. M. Yusuf Hasyim dengan tema “Mencari Kesepakatan Tentang Makna Politisasi Agama” pada Ahad (04/03/2018). Pada kesempatan tersebut, Pudjo, sapaan akrabnya membahas tentang “Dinamika Hubungan Agama dan Politik dalam Perspektif Keamanan”.

“Seolah-olah ini masih banyak yang memperdebatkannya tanpa tahu kebenarannya,” papar Analis Kebijakan Madya Bidang Penmas Divhumas Polri itu. Setelah itu, lanjutnya, dilakukan tekanan untuk mengalihkan konsensus dalam kepentingan sebuah agenda politik untuk memanipulasi masyarakat dan kebijakan publik.

“Dalam hal ini, hal pertama yang muncul adalah perubahan dan pembengkokan pemahaman yang tujuannya adalah kekuasaan,” tambah mantan Kabidhumas Polda Jawa Barat itu melanjutkan.

Menyinggung soal politik agama, Pudjo memberikan pernyataan bahwa Indonesia bukanlah negara sekuler. Indonesia adalah negara berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa, sehingga merupakan negara yang memposisikan agama menjadi inspirasi dan jiwa bangsa Indonesia. Baginya, negara ini dilandasi oleh nilai-nilai agama, kemudian peraturan agama sebagai landasan filsafat pembentukan aturan legislasi negara.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Selain itu, tambahnya Indonesia juga bukan negara komunis melainkan negara simbiosis yang tak memisahkan negara dari agama, sebab keduanya saling terikat erat dan saling membutuhkan. “Negara membutuhkan agama untuk dijadikan landasan dan dasar hidup bernegara. Sedangkan agama membutuhkan negara jika terdapat permasalahan-permasalahan antar agama,” tambahnya.

Ia menegaskan, Bangsa Indonesia harus yakin bahwa tujuan negara itu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Sementara itu, Pudjo menyebut beberapa peran polisi dalam menjaga stabilitas negara, yaitu sebagai pilar keamanan yang netral dalam ranah politik, sebagai sebagai aparat kamtibnas yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, dan sebagai penjaga peradaban dan kehidupan.

“Semua manusia di Indonesia, semua agama yang ada, semua orang yang tinggal di Indonesia harus dilindungi dan selamat” tutur perwira polisi yang pernah bertugas di Papua bertahun-tahun tersebut.

Lebih jauh lagi Pudjo mengulas relasi antara agama, politik dan keamanan. Ada dua elemen politik yang bisa berimbas bagi keamana nasional, yaitu elemen yang ada pada manusia. “Elemen pertama adalah elemen positif yang berupa sikap toleran, moderat, lemah lembut, kejujuran, nilai kebenaran dan keadilan, sedangkan elemen yang kedua adalah elemen negatif yang berupa fanatisme berlebihan. Jika elemen manusia tidak terkontrol dengan benar maka akan terjadi kegaduhan politik,” pungkasnya.

Selain mengundang Kombes Pol. Sulistyo Pudjo Hartono, beberapa tokoh juga didaulat menjadi narasumber, di antararanya Dewan Kehormatan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Fuad Amsyari, Guru Besar Sosiologi UIN Sunan Ampel Surabaya, Masdar Hilmy, dan dosen Pascasarjana Universitas Hasyim Asy’ari (Unhasy) Tebuireng sekaligus pakar tafsir, KH. A. Musta’in Syafi’i.


Pewarta:            Luluk

Editor/Publisher: M. Abror Rosyidin